Caci, Tari Latihan Perang yang Masih Bertahan di NTT
Empat pria itu bergerak dan menari mengikuti irama sambil tetap mempertahankan ritme lonceng yang terdengar semarak.
Penulis: Agung Ismiyanto | Editor: oda
Laporan Reporter Tribun Jogja, Agung Ismiyanto
TRIBUNJOGJA.COM, MANGGARAI - Empat pria menggunakan pakaian tari tradisional menyambut wisatawan yang berkunjung ke Dusun Melo, Desa Liangdara, Kecamatan Mbeliling, Kabupaten Manggarai, NTT, awal bulan lalu.
Mereka nampak berjingkat-jingkat, dan memainkan lonceng yang dipasang di bagian belakang tubuh mereka.
Sementara, sejumlah ibu menabuh alat musik tradisional yang berupa bambu dan kendang. Empat pria itu bergerak dan menari mengikuti irama sambil tetap mempertahankan ritme lonceng yang terdengar semarak.
Sesaat setelah para wisatawan berada di sebuah tanah lapang sekira 8 x 12 meter, para pria tersebut lalu bersiap untuk melaksanakan tarian.
Sementara itu, para wisatawan juga disambut dengan tuak dan ayam putih, salah satu tradisi dari NTT untuk menyambut tamu.
Pria tersebut merupakan penari caci. Tarian caci merupakan tari perang sekaligus permainan rakyat antara sepasang penari laki-laki yang bertarung dengan cambuk dan perisai di Nusa Tenggara Timur.
Dalam tarian tersebut, ada penari yang bersenjatakan cambuk (pecut) bertindak sebagai penyerang dan seorang lainnya bertahan dengan menggunakan perisai (tameng).
Primus Sata, Koordinator Sanggar Seni Budaya Nipu Tae Dusun Melo, tari ini dimainkan saat syukuran musim panen (hang woja) dan ritual tahun baru (penti), upacara pembukaan lahan atau upacara adat besar lainnya, serta dipentaskan untuk menyambut tamu penting.
“Dulunya, tari ini ditujukan untuk latihan perang. Caci itu berasal dari kata, Ca itu artinya satu, sementara ci adalah uji. Jadi, Caci itu adalah artinya uji atau tarung satu per satu,” jelas Primus kepada Tribun Jogja.
Tarian ini menggunakan beberapa properti seperti tameng dari kulit kerbau dan cambuk dari rotan. Dalam tari ini, diawali dengan dua orang penari yang berjoget terlebih dahulu dan kemudian para penari ini dalam posisi siap menyerang.
“Setiap penari harus mencambuk dan menahan dengan perisai. Jangan sampai kena dengan tubuh penari,” ujarnya.
Asyiknya saat melihat tarian ini, adrenalin penonton sedikit terpacu dengan melihat aksi serang dengan cambuk ini. Bahkan, wisatawan pun ikut berteriak mengikuti semangat para penari ini.
Primus menjelaskan, bagi warga di ketinggian 450 meter dari permukaan laut ini, tari ini masih terus dilestarikan untuk menjaga identitas kebudayaan warga setempat.
Maka dari itu, sanggar yang didirikannya itu juga ditujukan untuk melestarikan tradisi dan adat di wilayah setempat.
Selain caci, warga Melo juga menampilkan tari kumpul padi. Tarian ini merupakan ungkapan syukur atas panen berupa kopi, kemiri, kakao, salak, dan durian.
Tarian ini ditarikan oleh pasangan muda mudi. Juga terdapat tari rangkuk alu yang berupa tarian dalam rangka cari jodoh.(tribunjogja.com)