Wisata Kuliner Keraton

Ada wisata minat khusus yang selama ini belum digarap serius oleh petinggi kota Yogyakarta, yakni wisata kuliner keraton.

zoom-inlihat foto Wisata Kuliner Keraton
dok pri
Heri Priyatmoko (Dosen Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma)

RITUAL jelang akhir tahun, biasanya pemerintah daerah bersama masyarakat menggelar evaluasi sekaligus merancang kegiatan tahun depan.

Lembaga pelat merah menjaring aspirasi warga guna memajukan kotanya, termasuk sektor pariwisata.

Tampaknya, ada wisata minat khusus yang selama ini belum digarap serius oleh petinggi kota Yogyakarta, yakni wisata kuliner keraton.

Tak banyak orang tahu bahwa Istana Kasultanan dan Paku Alaman melestarikan bermacam nasi yang sudah ada sejak Mataram kuno abad IX, yang namanya asing di telinga kita.

Para abdi dalem di dapur Keraton Kasultanan menghasilkan sega kresna (nasi hitam), sega londoh, sega precita, sega wuduk punar (nasi kuning gurih), sekul lemeng, sekul bucu, sekul kepyar, sekul bodhag, sekul biru kendhit, sekul loyang, sekul blowong, dan lainnya.

Pustaka bertajuk Keraton Jogja (2008) mendokumentasikan, sekul blowong dihidangkan dengan lauk pauk komplet di acara tingalan dalem Sultan Hamengku Buwana X yang dilaksanakan saban Selasa wage.

Srundeng, kedelai hitam, lombok gethok, gudhangan asrep, daging, dan ulam sapitan rutin mendampingi sekul blowong.

Peristiwa budaya yang dilengkapi makanan tradisional ini secara historis membungkus kearifan tradisi masyarakat kejawen agar kita senantiasa bersyukur kepada Gusti Kang Akarya Jagad.

Kekayaan kuliner menyapa lidah penghuni istana digarap di ruangan dapur yang penuh abu dan bergelantungan sawang (jelaga).

Keraton Kasultanan sewaktu dinahkodai Hamengku Buwana VIII (1921-1939) punya beberapa jenis pawon dengan fungsi berlainan.

Hasil penelurusan Pusat Kajian Makanan Tradisional UGM (2009), terkuak nama pawon gebulen yang digunakan untuk menyiapkan masakan bagi kerabat raja. Semisal, kimlo yang disajikan dengan nasi rames.

Terhidang pula dendeng asing, yaitu daging yang digarami dan dikeringkan. Dalam prasasti kuno, kuliner ini dinamai daing hasin.

Berikutnya, pawon sekul langgen dipakai untuk olah-olah makanan bagi abdi dalem.

antara hidangan sayuran, ditemukan kata klakla yang kini dikenal sebagai kela atau kuluban, dan disesuaikan dengan berbagai makanan baru seperti sayur asem, grih, (gereh atau ikan yang digarami dan dikeringkan), empal, kerupuk, lalaban, pecel, dan gecok.

Ada pula pawon patehan yang dioperasikan di bawah kemudi abdi dalem laki-laki, untuk menyiapkan minuman teh untuk raja saat pagi dan sore hari seraya menyaksikan mentari yang perlahan rubuh. Minuman bagi tamu dan peserta pesta di lingkungan istana juga diramu di dapur itu.

Tak perlu heran, pihak kerajaan di masa lampau, bahkan sampai sekarang, memang kerap menggelar kembul bujana alias pesta makan.

Tempo doeloe, penguasa setempat resmi mengundang toewan residen, pejabat militer Hindia Belanda, bupati, dan perwakilan dari kerajaan pribumi.

Selain dimeriahkan dansa dan tari, dalam pesta itu disajikan menu makan lengkap hasil olahan juru masak istana.

Demikianlah, kekayaan sekaligus keunikan kuliner keraton. Menyibak warisan budaya leluhur supaya dikenal dan dicintai publik sembari melestarikan adalah kerja mulia yang mestinya diapresiasi oleh pemangku kepentingan.

Kekayaan itu merupakan modal berharga bagi bangsa Indonesia dalam mengembangkan pariwisata minat khusus yang dilirik oleh banyak wisatawan domestik maupun luar negeri.

Mari kita populerkan dan jual harta karun kuliner keraton Jawa yang hidup selama berabad-abad ini.

Dengan kuliner lokal, kita bersaing di level global dan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang berlaku akhir 2015. (*)

*Heri Priyatmoko
Dosen Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved