Market Reform Diperlukan untuk Tangani Sistem Kartel

Hal ini dilakukan untuk menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat serta mengantisipasi munculnya kartel atau persekongkolan

Laporan Reporter Tribun Jogja, Singgih Wahyu Nugraha

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) bakal menggulirkan program reformasi pasar (market reform) pada 2016 mendatang.

Hal ini dilakukan untuk menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat serta mengantisipasi munculnya kartel atau persekongkolan dalam berbagai sektor usaha.

Ketua KPPU, Muhammad Syarkawi Rauf mengatakan, persaingan usaha secara positif belum menjadi sebuah kultur. Yang ada justru hanya aksi kolusi dan persekongkolan antar pelaku usaha.

Persaingan terjadi dengan model hukum rimba yang saling mematikan hingga meyulitkan munculnya pelaku usaha baru. Belum lagi adanya kartel-kartel atau persekongkolan di berbagai sektor usaha.

“Misalnya pada kasus harga beras kemarin. Di sini (daerah), pasokan dan harganya stabil tapi kenapa di Jakarta harganya terus naik? Padahal, di Karawang yang hanya berjarak beberapa kilometer juga stabil saja. Artinya, ada problem di tengah-tengah. Bisa karena kartel, persekongkolan, atau regulasi yang menghambat distribusi,” kata Syarkawi di sela Workshop Persaingan Usaha di Hotel Melia Purosani Yogyakarta, Kamis (3/12/2015).

Aksi kartel dan persekongkolan menurutnya terjadi dalam industri obat nasional dengan indikasi harga selangit untuk jenis obat paten.

Tidak adanya aturan Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk jenis obat tersebut membuat beberapa perusahaan menetapkan harga tinggi untuk produk obat yang dijualnya. Bahkan, tiga kali lipat lebih mahal dibanding obat generik.

Kondisi itu disebutnya bsia membuat Jaminan Kesehatan Nasional atau Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan bangkrut.

“Potensi industri obat nasional pada 2014 sebesar Rp52 triliun sedangkan pada 2015 mencapai Rp56 triliun. Kalau 10%-nya dikuasai kartel, nilai kerugiannya kan cukup luar biasa akibat persekongkolan penetapan harga,” kata dia.

Maka itu, lanjutnya, market reform perlu untuk segera dilakukan dengan mencakup tiga fokus utama. Yakni, regulatory reform, market structure reform, dan behavioral reform.

Dalam regulatory reform, KPPU beranggapan bahwa kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak pada penciptaan iklim sehat persaingan usaha harus dieliminir.

Ini terutama untuk memunculkan adanya pelaku usaha baru yang bakal mendorong persaingan lebih sehat.

Selain itu, pola geografis industri yang masih terpusat di kawasan atau wilayah tertentu saja (oligopoli) juga harus diubah. Pasalnya, kondisi industri yang tersentralisasi di kawasan tertentu hanya akan membuat perkonomian memburuk dan gonjang-ganjing karena basis usahanya menciut.

“Yang terakhir, penegakan hukum yang tegas diperlukan untuk menjaga persaingan sehat satu sama lain dan tidak saling membunuh. Ini terkait dengan perilaku (behaviour) pelaku usaha,” kata Syarkawi.

Dia mengakui bahwa tantangan KPPU ke depan semakin berat seiring disongsongnya era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

Kondisi itu akan memunculkan cross border merger and accuisition atau penggabungan usaha antar negara seperti yang sudah terjadi pada sektor keuangan dengan diakuisinya beberapa bank besar oleh permodalan asing.

Kejadian serupa menurut Syarkawi akan segera bergerak ke sektor lain, di antaranya perkebunan sawit di Kalimantan yang sudah diakuisisi pihak asing.

Selain itu, permasalahan kartel lintas negara (cross border cartel) juga sangat mungkin terjadi. Atas hal itu, KPPU disebutnya membutuhkan kewenangan yang makin bagus dengan penguatan lembaga dan regulasi.

“KPPU sedang proses amandemen UU lalu menyusun Perpres untuk penguatan lembaga. Kami akan berusaha matikan kartel dengan rekomendasi pencabutan izin usaha jika yang bersangkutan terbukti terlibat kartel. Rekomendasi itu akan kami report ke Presiden,” katanya.(*)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved