Ini Dia Foto Bersejarah Panglima Besar Sudirman di Pacitan
Supadi mengingat keluarganya tak pernah menyangka Mbah Dirman akan tinggal dan menjadikan rumah bapaknya sebagai markas
Penulis: Setya Krisna Sumargo | Editor: Ikrob Didik Irawan
TRIBUNJOGJA.COM - Kisah tentang gerilya Panglima Besar Jenderal Sudirman sudah cukup banyak ditulis. Para tokoh besar pelaku sejarah yang pernah lolos revolusi kemerdekaan dan jadi pemimpin negeri ini, bertutur lewat buku-buku biografinya.
Tetapi penuturan saksi hidup, wong cilik, rakyat jelata yang tak pernah tertulis di buku-buku sejarah, rasanya masih amat jarang.
Kisah Supadi alias Padi ini salah satunya. Pria kelahiran 1942 ini masih punya ingatan jernih tentang Jenderal Dirman.
Padi, begitu ia biasa disapa, berumur tujuh (7) tahun saat Jenderal Sudirman dan pengikut setianya memasuki rumah bapaknya di Dusun Sobo, Desa Nawangan, Kecamatan Pakis, Kabupaten Pacitan pada 1 April 1949.
Mbah Dirman, begitu Supadi mengingat nama pemimpin militer republik yang masih belia usianya, memilih Dusun Sobo sebagai markas gerilyanya.
Lokasi dusun ini begitu terpencil di pegunungan yang memisahkan Wonogiri dengan Pacitan.

Tribun Jogja/Setya Krisna
Rumah Karso Semito, bayan di dusun itu terpilih sebagai persembunyian Pak Dirman, yang ke mana-mana waktu itu terpaksa ditandu.
Rumah ini terletak di lereng gunung, sekitar dua (2) kilometer dari pusat Desa Nawangan atau Pakis.
Depannya lembah dalam yang di kejauhan membentang pucuk-pucuk gunung Kismantoro, Wonogiri.
Supadi mengingat keluarganya tak pernah menyangka Mbah Dirman akan tinggal dan menjadikan rumah bapaknya sebagai markas gerilya selama berbulan-bulan.
"Bapak mengira paling menginap semalam dua malam, atau seminggu dua minggu," kata Supadi yang bertutur dalam bahasa Jawa ditemui Tribun Jogja, Rabu (16/9/2015).
Saat datang, Mbah Dirman yang ditandu, diikuti ratusan prajurit bersenjata senapan maupun bambu runcing.
Pengawal-pengawal pribadinya juga tak pernah jauh dari sisi Mbah Dirman. Tiga orang terdekatnya terdiri Supardjo Rustam, Tjokropranolo, Utoyo Kolopaking, tinggal serumah, dan kamar-kamarnya bersebelahan.
"Apa-apa Mbah Dirman itu pasti manggil Pak Pardjo Rustam. Kalau lagi nggak ada yang cari Pak Noly (Tjokropranolo), atau Pak Utoyo (Kolopaking)," tutur Supadi, yang masih mengingat baik-baik rutinitas Pak Dirman setiap pagi di rumah bapaknya.
"Kalau pagi pasti keluar kamar, dhedhe (berjemur) di halaman. Waktu itu kan Mbah Dirman sedang sakit paru-paru. Habis itu masuk rumah, duduk-duduk, sarapan, rapat dengan para pengawalnya," lanjut Padi, yang mengaku kerap diajak main Pak Noly (Tjokropranolo).
"Pagi biasanya minumnya "melek" (milk atau susu kental manis). Juga bubur kacang hijau. Kadang saya juga dipanggil Mbah Dirman ke kamar, suruh ngehabisin minum atau buburnya," kata Supadi, putra pertama Karso Semito dan Jainah ini.
Foto
Ingatan sejarah Supadi yang waktu itu masih kanak-kanak memang tajam. Bukti foto keberadaan diri dan keluarganya di perjalanan hidup Jenderal Dirman juga ada.
Foto diambil di saat-saat terakhir sebelum Jenderal Sudirman dan rombongannya meninggalkan Dusun Sobo.
Semua prajuritnya diajak berfoto di depan rumah yang tiga bulan terakhir ditinggali, dan jadi markas pusat gerilya tentara Republik Indonesia.
Karso Semito, Jainah, dan Supadi diajak berfoto dan posisi mereka berada di tengah-tengah para pengawal bersenjata.
Bahkan bapaknya Supadi, Pak Karso Semito, memegang senapan laras panjang, sejajar dengan para gerilyawan lain yang duduk sembari menenteng senapan mesin.
"Itu saya, di belakang simbok saya, Mbok Jainah. Di depan yang baju putih pegang senapan, itu bapak," kata Supadi sembari menunjuk posisi dirinya, bapak dan simboknya di foto dokumentasi sejarah.
Foto besar hitam putih hasil reproduksi itu kini bisa dilihat di bagian belakang rumah gerilya Jenderal Sudirman di Dusun Sobo, yang telah dipugar dan dijadikan tetenger.
Jenderal Sudirman duduk di tengah-tengah mengenakan blankon dan mantel serta baju hangat seleher kerahnya.
Sebilah keris terselip di bagian depan tubuhnya. Di sebelah kiri dan kanan berjejer pembantu terdekatnya, seperti Supardjo Rustam, Tjokropranolo, Utoyo Kolopaking, Heru Kesser, dan lain sebagainya.
Supadi mengisahkan, suasana saat itu penuh isak tangis. Selain hendak ditinggal pergi Jenderal Sudirman dan rombongan, keharuan membuncah saat Pangsar Sudirman menyorongkan uang ke Karso Semito, untuk ganti biaya selama tinggal di rumah itu.
Tapi Karso Semito menolak, dan semua yang dilakukan warga dengan membuat dapur umum untuk gerilyawan diikhlaskan sebagai bentuk dukungan perjuangan.
"Pada nangis semua waktu itu. Saya juga ikutan nangis," kenang Supadi.
Pangsar Sudirman tinggal di Dusun Sobo terhitung mulai 1 April 1949 hingga 7 Juli 1949. Itu merupakan periode genting setelah Belanda menggelar agresi kedua ke ibukota RI di Yogyakarta.
Sebelum itu, Pangsar Sudirman meninggalkan ibukota RI, bergerilya mulai Bantul, Gunungkidul, melintas Wonogiri hingga Kediri, Trenggalek, Pacitan, sebelum kembali ke Yogyakarta. (Tribunjogja.com/xna/mim/bm)