Nasib Gejog Lesung di Tangan Generasi Muda
Di bawah temaram cahaya bulan yang bulat sempurna, setiap kelompok unjuk gigi memainkan musik tanpa nada hasil pukulan alu (tongkat) pada lesung.
Penulis: Yoseph Hary W | Editor: oda
Laporan Reporter Tribun Jogja, Yoseph Hary W
TRIBUNJOGJA.COM, KULONPROGO - Ketika seni tradisional mulai atau bahkan sudah banyak ditinggalkan, ratusan orang dari 12 kelompok perwakilan setiap kecamatan di Kulonprogo ini membuktikan diri mereka teramat sangat mencintai seni warisan leluhur, Gejog Lesung.
Di bawah temaram cahaya bulan yang bulat sempurna, Sabtu (29/8/2015) malam, setiap kelompok unjuk gigi memainkan musik tanpa nada hasil pukulan alu (tongkat) pada lesung, dalam Festival Padhang Mbulan di Alun-alun Wates.
Keterlibatan mereka mulai dari kalangan anak, dewasa, hingga orangtua sekaligus menjadi bukti, seni tradisi yang benar-benar tersendat regenerasinya itu masih memiliki nafas dalam ruang dan waktu sekarang ini.
Jika kakek dan nenek buyut dahulu menjadikannya sebagai perangkat utama penumbuk padi, alu dan lesung berbahan kayu tersebut kini hanya muncul secara eventual.
Kulonprogo, sebagai bagian dari Daerah Istimewa Yogyakarta, beruntung memiliki kesempatan untuk mengemasnya dalam festival sarat seni dan budaya itu.
Bukan untuk mempertontonkannya sebagai penumbuk padi, namun mempertunjukkan alu dan lesung memiliki harapan lestari dalam seni gejog atau pukulan alu pada lesung yang menghasilkan suara padu.
Seorang peserta dari Kecamatan Temon, Nasir Suyatno (65), mengakui barangkali memainkan Gejog Lesung tak semenarik bermain alat musik modern.
Sebab itu, menurutnya, generasi muda saat ini malas untuk belajar memainkannya.
"Saya juga baru tiga tahun ini belajar. Senang, karena beberapa anak muda juga ikut," tutur warga Balong Kaligintung ini, Sabtu malam itu.
Dia bersama 29 peserta kelompoknya malam itu tampil memainkan Gejog Lesung berpadu dengan beberapa alat musik tradisional lainnya.
Membawakan lagu wajib Kulonprogo Binangun serta dua lagi pilihan lainnya, mereka tampak kompak menghasilkan suara gejog yang laras.
Nasir mengatakan, persiapan tampil pada Festival Padhang Mbulan malam itu lebih kurang sebulan.
"Saya memang suka seni. Meski waktu kecil tidak pernah menggunakan alat ini, memainkan gejog membuat hidup bersemangat dan tumbuh rasa ikhlas untuk meluangkan waktu bersama kelompok," katanya.
Sebelum penampilan Nasir cs dalam grup Gejog Lesung Laras Kenongo, malam itu telah tampil beberapa kelompok dari kecamatan lain.
Tepatnya, festival itu dimulai ketika bulan penuh muncul dan menerangi seputar panggung di tengah alun-alun.
Di sana, kerumunan warga yang tak terhitung lagi jumlahnya membentuk arena sederhana bernuansa pedesaan, lengkap dengan alas jerami dan oncor bambu di sekelilingnya.
Busana para peserta berupa pakaian jawa, melenggak-lenggok diiringi tetabuhan musik Gejog Lesung berpadu kendhang dan sejumlah alat musik tradisional pun mengantar yang hadir kembali ke suasana pedesaan zaman dulu.
Lho, apakah zaman sekarang Gejog Lesung sudah benar-benar lenyap?
"Anak-anak muda sekarang lebih pilih 'ngeband'. Makanya festival ini, setidaknya semangat penampilan kami untuk mengajak generasi muda bermain gejog lagi. Paling tidak ada harapan mempertahankan budaya," tutur peserta grup Gejog Lesung Peni Paras Budaya Kecamatan Wates, Wulandari.
Baginya, terlalu banyak seni dan budaya tersimpan di Indonesia. Seperti Gejog Lesung, jika tak dilestarikan, bukan tidak mungkin kelak bakal diklaim negara lain.
Penampilan kelompoknya pun tak kalah menyedot perhatian. Menari dan bernyanyi diiringi Gejok Lesung, peserta yang kebanyakan perempuan ini sembari memerankan kesibukan ibu-ibu di desa ketika panen tiba.
Mulai bangun pagi, menyiapkan makanan di dapur, mengirim rantang makanan untuk bapak-bapak di sawah, hingga membantu memanen padi, pun ada.
Setting peran ini menjadi ciri khas wakil Kecamatan Wates yang notabene justru merupakan wilayah paling kota di Kulonprogo.
Grup lain, dari Kecamatan Temon, Samigaluh, Kalibawang, Nanggulan, Pengasih, Sentolo, Lendah, Panjatan, Girimulyo, Galur, dan Pengasih, juga memiliki gaya masing-masing.
Kepala Disbudparpora Kulonprogo, Krissutanto, mengatakan Gejog Lesung sebagai kesenian rakyat merupakan milik masyarakat.
Sebab itu, masyarakat lah yang memiliki kemampuan untuk menjaga dan melestarikannya.
"Para seniman dan kreator boleh melakukan inovasi. Ini juga untuk menarik generasi muda agar ikut melestarikannya". (*)
Makan siang di kantor? Delivery makanan area Jogja aja, klik makandiantar.com