Baca Ini! Isi Pidato Presiden Jokowi yang Dipuji Pemimpin Asia-Afrika
Bahkan pidato yang dinilai bagus oleh sejumlah kalangan itu juga banyak 'menyentil' sikap negara-negara maju dan organisasi perkumpulan negara
TRIBUNJOGJA.COM, JAKARTA - Pidato Presiden Joko Widodo pada pembukaan Konferensi Asia Afrika (KAA), Rabu (22/4/2015) menyoal sejumlah permasalahan.
Bahkan pidato yang dinilai bagus oleh sejumlah kalangan itu juga banyak 'menyentil' sikap negara-negara maju dan organisasi perkumpulan negara di dunia.
Tidak hanya itu, pidato Jokowi yang dinilai sangat berani itu juga mendapat apresiasi yang tinggi dari puluhan kepala negara dan delegasi-delegasi anggota KAA yang hadir pada pembukaan.
Tepuk tangan pun menggema usai mantan Gubernur DKI Jakarta itu menutup pidatonya. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini merupakan transkip lengkap dari pidato Jokowi di hadapan sejumlah Kepala negara dan delegasi peserta KAA ke-60.
Yang terhormat pemimpin negara dan pemerintahan, pemimpin delegasi.
Yang terhormat, Jusuf Kalla, Megawati, BJ Habibie, Tri Sutrisno, Hamzah Haz.
Atas nama rakyat dan pemerintah Indonesia saya ucapkan selamat datang di Indonesia, negara penggagas dan tuan rumah KAA 1955.
Enam puluh tahun lalu Bapak Bangsa kami Presiden Soekarno, Bung Karno, mencetuskan gagasan tersebut demi membangkitkan kesadaran bangsa-bangsa Asia dan Afrika untuk mendapatkan hak hidup sebagai bangsa merdeka yang menolak ketidakadilan, yang menentang segala bentuk imperalisme.
Enam puluh tahun lalu, solidaritas Asia-Afrika, kita kumandangkan untuk memperjuangkan kemerdekaan. Untuk menciptakan kesejahteraan dan untuk memberi keadilan bagi rakyat kita. Itulah gelora KAA 1955. Itulah esensi semangat Bandung.
Kini, 60 tahun kemudian, kita kembali bertemu di negeri ini, di Indonesia, dalam suasana dunia yang berbeda bangsa-bangsa terjajah telah merdeka dan berdaulat, namun perjuangan kita belum selesai.
Yang mulia para hadirin sekalian,
Dunia yang kita warisi sekarang masih sarat dengan ketidakdilan, kesenjangan dan kekerasan global, cita-cita bersama mengenai lahirnya sebuah peradaban baru, sebuah tatanan dunia baru berdasarkan keadilan, kesetaraan, dan kemakmuran, masih jauh dari harapan.
Ketidakadilan dan ketidakseimbangan global masih terpampang di hadapan kita.
Ketika negara-negara kaya yang hanya sekitar 20 persen penduduk dunia, menghabiskan 70 persen sumber daya bumi maka ketidakadilan menjadi nyata. Ketika ratusan orang di belahan bumi sebelah utara menikmati hidup super kaya, sementara 1,2 miliar penduduk dunia di sebelah selatan tidak berdaya dan berpenghasilan kurang dari 2 dolar per hari, maka ketidakadilan semakin kasat mata.
Ketika ada sekelompok negara kaya merasa mampu mengubah dunia dengan menggunakan kekuatannya, maka ketidakseimbangan global jelas membawa sengsara yang semakin kentara ketika PBB tidak berdaya.
