Betapa Risaunya Sultan Menentukan Pewaris Tahta

Bahkan, tidak sedikit Raja yang tidak mampu menentukan penerusnya hingga meninggal dunia.

Penulis: had | Editor: Hendy Kurniawan
KOMPAS/HARIS FIRDAUS
Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X membacakan sabda tama atau amanat di Bangsal Kencana Keraton Yogyakarta, Jumat (6/3/2015). Dalam sabda tama itu, Sultan meminta para kerabat keraton tidak lagi berkomentar tentang kemungkinan pergantian raja di Keraton Yogyakarta. 

Polemik suksesi kepemimpinan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, menjadi salah satu bahan kajian penelitian ilmiah Dosen Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol Universitas Gadjah mada (UGM), Bayu Dardias K. Ia menelusuri langkah politik para bangsawan di sejumlah kerajaan yang ada di Nusantara.

Di Yogyakarta, ia menemukan kasus yang juga banyak terjadi di sejumlah Kerajaan. Yaitu seorang Raja ataupun Sultan harus mewariskan kepemimpinan pada keturunannya. Namun muncul persoalan di mana pewarisnya dianggap tidak memenuhi kriteria dalam tatanan yang dianut dalam Keraton.

Bayu mengungkapkan, seperti halnya Sultan Hamengku Buwono X, kelima keturunannya seluruhnya perempuan. Sedangkan dalam tatacara yang selama ini ditaati, mengharuskan seorang laki-laki sebagai pewaris tahta.

“Betapa risaunya Ngarso Dalem, sebab beliau memiliki beban amanat bukan hanya dari leluhur, tapi juga Tuhan yang luar biasa berat,” kata Bayu, Kamis (26/3/2015).

Menurutnya, tidak banyak seorang pemimpin kerajaan yang mampu menyelesaikan persoalan ini atau menentukan penerusnya dengan bijaksana dan diterima semua kalangan. Bahkan, tak sedikit Raja yang tidak mampu menentukan penerusnya hingga meninggal dunia.

“Tidak banyak Raja yang bisa melakukan hal ini sampai akhir hayat. Tidak hanya Sultan HB X, tapi juga Raja lain yang saya temui. Karena dia membawa beban like and dislike, juga beban leluhur,” ungkapnya.

Maka, lanjutnya, untuk mencari solusi, biasannya terjadi rapat keluarga. Seperti halnya pengangkatan BRM Herjuno Darpito (nama kecil Sultan HB X ) sebagai Raja. Karena HB IX tidak mengangkat putera mahkota, sedangkan Herjuno Darpito adalah putera tertua dari isteri kedua HB IX, Ray Widyaningrum.

Menurut Bayu, jika HB X mengangkat putera mahkota dari lima puterinya, dann bila menengok tatanan yang ada, tidak memungkinkan. Maka langkah yang perlu diambil adalah dengan mengangkat salah satu adiknya menjadi Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo (KGPAA) atau putera mahkota.

Karena, kata Bayu, saat ini jabatan tertinggi di Keraton disandang oleh adik HB X yakni KGPH Hadiwinoto. Atau juga bisa mengangkat adik yang lainnya sesuai dengan kebijaksanaan Sultan.

“Gelar KGPAA itu gelar untuk laki-laki, jadi pengangkatan putera mahkota tetap laki-laki, sebab Keris nya namanya Joko Piturun. Kalau misalnya GKR Pembayun (puteri pertama HB X) diangkat sebagai Sultan, dia tidak bisa melalui proses putera mahkota,” katanya.

Bayu juga mengutarakan, dalam budaya patrilineal Jawa, garis ditentukan oleh keturunan laki-laki dianggap sebagai Paugeran yang paling utama. Sementara jika perempuan naik tahta, maka akan kesulitan mencari pewaris tahta berikutnya yaitu HB XII. Fenomena berakhirnya garis keturunan pernah terjadi di Kasultanan Aceh ketika Ta’jul Alam menjadi Sultan.

“Karena setelah itu tak ada lagi hubungan darah. Itu mengakhiri garis keturunan,” ujarnya.

Di sisi lain, dalam Undang Undang nomor 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY pasal 18 ayat 1, tidak memungkinkan seorang perempuan menjadi Gubernur. Selain itu, Bayu menilai itu juga dikhawatirkan menimbulkan konflik bukan hanya di internal Keraton tapi juga masyarakat, karena dominan tradisi dan budaya masih dominan laki-laki.

Sementara itu, pembahasan tentang polemik Raperdais tentang pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur di DPRD DIY, kini mendekati final. Dari tujuh Fraksi di DPRD, enam fraksi sudah menyatakan menolak adanya penambahan klausul suami dalam daftar riwayat hidup.

Beberapa fraksi menyatakan tidak ingin mengubah dengan alasan pasal tersebut sudah sesuai kehendak rakyat dan tatanan adat. Di sisi lain, DPRD ternyata telah mengesahkan Perdais Induk Nomor 1 tahun 2013 tentang Kewenangan Urusan Keistimewaan pada 3 Maret 2015 lalu.

Sumber: Tribun Jogja
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved