Berselancar di Masa Lalu Dengan Gramaphone

Suara alat pemutar musik ini memang kadang bagus kadang sumbang, namun itulah bunyi masa lalu yang terekam dalam piringan hitam.

Penulis: rap | Editor: Hendy Kurniawan
TRIBUN JOGJA/RIEZKY AP
Berbagai macam jenis gramaphone dipamerkan di Bentara Budaya Yogyakarta, Kamis (19/3/2015). 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Riezky AP

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Kali ini Bentara Budaya Yogyakarta menggelar pameran Gramapun dan Turntable. Tajuk “Corong Bernyanyi” pun dipilih untuk judul pameran kali ini, karena gramophone sebenarnya identik dengan corong yang mengeluarkan nyanyian dari masa lalu.

Suara alat pemutar musik ini memang kadang bagus kadang sumbang, namun itulah bunyi masa lalu yang terekam dalam piringan hitam. Komunitas penggemar gramophone ini ternyata sangat terbatas, jumlahnya bisa dihitung dengan jari di Kota Yogyakarta ini. Karenanya sambil mengenang masa lalu di mana kakek buyut kita dahulu pernah memainkan musik lewat gramophone ini, Bentara Budaya Yogyakarta yang terletak di Jl. Suroto No. 2 Kotabaru Yogyakarta ini berupaya memamerkan dan memberikan apresiasi kepada generasi muda saat ini, tentang apa dan bagaimana gramophone itu bekerja sehingga dapat menghasilkan bunyi rekaman. Pameran ini berlangsung hingga 26 Maret 2015.

Para kolektor yang ikut serta dalam Pameran Gramophone & Turntable “Corong Bernyanyi” kali ini adalah para kolektor radio lama yang juga mempunyai audio gramofon, mereka adalah Iwan Ganjar, Darodjat, Didi Sumarsidi, Didik Kapal, Iman Mulyono, dan Agus Leonardus dari Yogyakarta, serta Handoko dari Semarang, juga beberapa kolektor yang lain.

Sedapat mungkin Bentara Budaya Yogyakarta berusaha memamerkan perjalanan pemutar ini dari berbagai macam bentuk dan model dari musik box, gramophone, sampai turntable seperti merk Lenco dan Garrad. Selain itu, pameran ini juga dilengkapi lukisan, desain poster, vynil, dan beberapa gramofon yang sudah direspon oleh para perupa.

Memang perjalananan menuju pemutar digital membutuhkan waktu yang cukup panjang sesuai dengan perjalanan modernisasi industri alat pemutar musik, pertama-tama piringan hitam dibuat sangat terbatas, periode pertama piringan hitam hanya dicetak satu muka saja dan masih sangat tebal hampir 3 kali tebal piringan hitam saat ini. Kemudian dicetak bolak-balik tetapi masih tebal dengan rpm 78. Piringan jenis ini hanya untuk gramophone. Setelah ditemukannya gramophone listrik atau turntable maka piringan hitam dibuat tipis bolak balik dan ukuran antara 33 dan 45 rpm.

Saat ini semua peralatan pemutar baik yang manual atau engkol seperti gramapun ataupun pemutar listrik sepertinya sudah kadaluwarsa, pabriknya sudah banyak yang tutup, sedangkan sparepart nya juga susah didapat, hanya para pecinta gramophone dan turntable saja yang masih merawat dan memutarnya. Tidak banyak memang kalangan pecinta musik gramophone ini. (*)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved