Manuskrip Kuno Sebut Bakal Adanya Tsunami Aceh

Catatan itu menegaskan, selain catatan geologis, jejak tsunami Aceh juga termaktub dalam manuskrip kuno.

Editor: Hendy Kurniawan
AP Photo/Bedu Saini, Serambi Indonesia, File
Foto yang diambil sesaat setelah tsunami mengempaskan Aceh pada 26 Desember 2004 ini memperlihatkan dua orang muda sedang berusaha menarik lelaki paruh baya dari air pekat sisa gelombang tsunami ke daratan. 

TRIBUNJOGJA.COM - Jejak tsunami Aceh tak hanya bisa dilacak melalui catatan geologis saja. 2006 silam, Ketua Umum Masyarakat Pernaskahan Nusantara, Oman Fathurahman, menemukan catatan tangan di sampul sebuah manuskrip abad ke-19 di Zawiyah Tanoh Abee, Aceh Besar. Catatan itu menegaskan, selain catatan geologis, jejak tsunami Aceh juga termaktub dalam manuskrip kuno.

Secara eksplisit catatan itu menyebutkan, pernah terjadi gempa besar untuk kedua kali pada pagi hari, Kamis, 9 Jumadil Akhir 1248 Hijriah/3 November 1832. Angka tersebut menjadi sangat menarik karena dari beberapa catatan penjelajah Barat, pernah terjadi gempa di pantai barat Sumatera pada 24 November 1883.

“Bisa jadi itu adalah dua gempa yang berbeda, yang paling penting adalah adanya catatan yang membuktikan bahwa Aceh kerap dilanda gempa besar,” ujar Oman yang juga pakar filologi dari UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Sebelumnya, pada 2005, Oman juga menemukan naskah Takbir Gempa di perpustakaan Ali Hasjmy, Banda Aceh. Naskah anonim tersebut diperkirakan dibuat sekitar abad ke-18.

Manuskrip yang ditemukan di perpustakaan Ali Hasjmy itu memaparkan kejadian yang akan mengikuti gempa bumi dalam rentang waktu dari subuh hingga tengah malam, dalam 12 bulan.

Pada salah satu bagiannya disebukan, ”Jika gempa pada bulan Rajab, pada waktu subuh, alamatnya segala isi negeri bersusah hati dengan kekurangan makanan. Jika pada waktu Duha gempa itu, alamatnya air laut keras akan datang ke dalam negeri itu...”

Tak hanya itu, dengan bernah naskah itu juga menggambarkan bagaimana gempa bisa memicu naiknya air laut hingga ke daratan. Naiknya air laut itulah yang kini dikenal dengan tsunami. Namun, jauh sebelumnya, orang Aceh juga memiliki kosakata ïe beuna atau “air bah besar dari laut”. Namun, kata ini tak lagi dipakai hingga kejadian tsunami 2004. (*)

Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved