Ramadan 1433 H
Ramadan, Bulan untuk Merenung
Siti mengajak peserta untuk urun rembug bahwa kita sebagai bagian dari bangsa, seharusnya tidak hanya peduli terhadap kepentingan kita sendir
Penulis: Yoseph Hary W | Editor: tea

Itulah pertanyaan retoris yang dilontarkan Siti Muslikhati, M.Si ketua Muslimah HTI DPD 1 HTI DIY (MHTI DIY) dalam sambutannya pada Sarasehan Tokoh Muslimah yang di adakah MHTI di Hotel Brongto, Senin (13/8/2012).
Siti mengajak peserta untuk urun rembug bahwa kita sebagai bagian dari bangsa, seharusnya tidak hanya peduli terhadap kepentingan kita sendiri, tapi juga terhadap saudara-saudara kita meski beda warna kulit dan bangsa.
Sarasehan tersebut diadakan sebagai bentuk kepedulian Muslimah HTI terhadap kondisi bangsa, serta untuk menunjukkan bahwa kita ikut bertanggung jawab memandirikan bangsa sehingga tidak terkungkung lagi oleh pemikiran sempit, kerakusan manusia atau syaitan yang ada dalam diri manusia. Acara sarasehan dengan format diskusi tersebut berjalan hangat dengan dipandu oleh host Meti Astuti, SEI. Muslimah HTI mengundang tokoh dari kalangan ponpes, praktisi pendidikan, kesehatan, PKK Provinsi DIY, serta beberapa instansi dari Pemerintah Provinsi DIY.
Diawali dengan pemutaran video tentang 67 tahun Indonesia merdeka, Meti memantik diskusi dengan sedikit menggambarkan bahwa Indonesia adalah negara peringkat ke-2 pertumbuhan ekonomi setelah China. Dengan demikian Indonesia seharusnya mampu mengangkat bangsanya. Namun, nyatanya itu hanya tertoreh di atas kertas saja. Indonesia masih tinggi angka pengangguran dan kemiskinannya.
Sesi I, diskusi diawali oleh ketua MHTI DIY, Siti Muslikhati, M.Si. Ia menjelaskan bahwa manusia di manapun di dunia punya kebutuhan hidup yang sama.
“ Mereka berhak mendapatkan hak asasinya, yaitu hak hidup, hak berakidah, hak kepemilikan, hak nasab, hak pendidikan, hak bernegara, dan hak keamanan. Dalam hal ini, Islam tidak melihat terpenuhinya hak-hak tersebut dari angka-angka statistik tetapi melihat dari tiap-tiap individu sudah tercukupi kebutuhan sandang, pangan papannya ataukah belum,” paparnya.
Sedangkan pengamat pendidikan Ibu Lies Arifah. M.Pd merasa prihatin dengan kondisi pendidikan di Indonesia. Pendidikan diarahkan untuk membentuk buruh. SDM yang tidak punya keahlian merancang, penemu/inovator, namun hanya bisa menjadi teknisi. Maka harus ada tanggung jawab pemerintah menyelesaikan permasalahan pendidikan di Indonesia. Sependapat dengan hal ini, perwakilan Pondok Pesantren Ibu Devi juga memaparkan bahwa ponpes menjadi pilihan terakhir untuk mendidik anak-anak yang bermasalah, orangtua memasukan anak ke PonPes untuk menyelamatkan anak agar tidak terpengaruh dengan lingkungan dan problematika bangsa. Dan untuk memperbaiki individu, tidaklah cukup dimasukkan pesantren, karena problematika sudah bersifat sistemik, maka sistemlah yang harus diperbaiki.
Ikut memberikan sumbangsih pemikiran, perwakilan dari PKK Provinsi DIY, Nursiyah Suyatno, memaparkan bahwa perlu ada intropeksi dari individu masyarakat. Memberi contoh akhlaq yang baik. Banyak manusia yang lalai terhadap perintah2 Allah, musyrik/syirik (menghamba pada manusia, menggantungkan diri/mengambil aturan bukan dari Allah). Semua itu terjadi karena pendidikan kini hanya melihat aspek akademiknya saja, tanpa melihat pendidikan aqidah, akhlaq dsb.
Memasuki sesi II, Ibu Siti memaparkan analisanya bahwa problematika yang menggurita yang dihadapi bangsa dikarenakan banyak manusia abai pada aturan Allah. Sedangkan banyaknya perilaku syirik masyarakat, adalah efek dari diterapkannya sistem saat ini yaitu kapitalis.
“Maka dibutuhkan tanggung jawab negara yang akan mengurusi problem umat, melindungi, melayani dan bertanggung jawab terhadap urusan umat, mengurusi kebutuhan individu sampai masalah pokok. Dalam hal ini, negara wajib menerapkan hukum-hukum Islam dalam segala aspek. Jika mengabaikannya, maka kemudhorotan yang akan didapat,” paparnya. (*)