Ramadan 1433 H
Siraman Rohani Seniman di Kidung Sufi
Bak cendawan di musim hujan, saat memasuki bulan Ramadan, begitu banyak acara religi yang ditayangkan di media televisi.
Penulis: Mona Kriesdinar |

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Bak cendawan di musim hujan, saat memasuki bulan Ramadan, begitu banyak acara religi yang ditayangkan di media televisi. Hampir semuanya menawarkan tayangan yang sama, berupa tausyiah keagamaan. Siraman rohani kini menjadi booming dimana-mana.
"Jika bicara rohani, tidak hanya ceramahan saja yang dibutuhkan. Rohani juga juga butuh pencerahan kesenian pula. Seni yang menyampaikan pesan kemanusiaan juga penting untuk kebutuhan rohani manusia," ungkap Jemek Supardi yang menjadi bagian dari Konser Tausiakustik bertema "Kidung Sufi: Samudera Cinta" yang digelar di Titik Nol Kilometer, Selasa (31/7) sore. Acara ini juga juga dimanfaatkan kalangan seniman untuk menghibur dan mengisi waktu ngabuburit.
"Tayangan- tayangan itu, sudah terlalu berlebihan. Padahal segala sesuatunya harus disampaikan secara proporsional," ujar Jemek. Untuk menyikapinya, Jemek mengungapkan kegelisahannya melalui pantomim yang ia beri judul `Menjaga Api'.
Menurut Jemek, Api menjadi simbolisasi dari nafsu yang ada di setiap diri manusia. Ia harus dijaga supaya tidak membakar manusia, juga dijaga supaya tidak padam supaya hati tidak menjadi gelap. "Itulah makna puasa menurut saya yang harus dipahami siapa saja," tandasnya.
Agama Komoditas
Hal senada diungkapkan puteri Gus Dur, Alissa Wahid. Ia prihatinan tentang begitu banyaknya tayangan religi yang tak sedikit justru keluar dari esensi pengajaran Islam. Acara-acara itu, justru tampak telah menjadikan agama sebagai komoditas meraih keuntungan sebesar - besarnya.
"Disatu sisi baik, karena menyajikan banyak alternatif acara reliji, tentu jauh lebih baik jika dibandingkan dengan hanya mengonsumsi sinetron, namun di sisi lain juga menyimpan potensi bahwa agama menjadi komoditas," tandasnya.
Menurutnya, perkembangannya memperlihatkan berbagai acara keluar dari esensinya. Sayangnya, jika hal ini terus terjadi, maka Islam di Indonesia hanya akan menjadi ritualis dan keluar dari khittah-nya.
"Kelihatan mana acara yang benar-benar menyajikan pengajaran religi dengan acara yang hanya aji mumpung," ujarnya. Alissa mencontohkan Tafsir Al-Misbah sebagai acara yang benar-benar menyajikan pengajaran agama yang patut disimak. (*)