Pasir Merapi
Limpasan Lahar Mengancam Warga
Saat ini limpasan dari Gunung Merapi belum terasa berbahaya, dan lebih berefek positif bagi masyarakat sekitar, terutama para penambang pasir
Penulis: Muhammad Fatoni | Editor: tea
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Saat ini limpasan dari Gunung Merapi belum terasa berbahaya, dan lebih berefek positif bagi masyarakat sekitar, terutama para penambang pasir karena kualitas material yang terkandung dalam limpasan tersebut sangat bagus. Namun sebenarnya limpasan gunung berapi tersebut menyimpan potensi bahaya besar.
Terlebih, saat musim hujan, khususnya ketika curah hujan yang sangat tinggi di puncak Merapi, potensi bahaya tersebut kian besar. Hal itu menuntut kewaspadaan tinggi bagi masyarakat yang berada di sepanjang aliran sungai yang berhulu di Merapi.
Peneliti lahar dari Fakultas Geografi dan Pusat Studi Bencana (PSBA) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Danang Sri Hadmoko, memaparkan, limpasan yang ada di sungai yang berhulu di Merapi merupakan lahar. Limpasan tersebut berbeda dari limpasan sungai-sungai biasa.
Danang Sri Hadmoko memaparkan, limpasan yang ada di sungai yang berhulu di Merapi merupakan lahar. Limpasan tersebut tentunya berbeda dari limpasan di sungai-sungai biasa. "Kalau yang biasa kan limpasan hanya berupa air atau ada campuran lumpur. Tapi untuk yang dari Merapi, limpasan itu adalah lahar yang berisi pasir, batu, dan campuran sedimen lainnya," terangnya kepada Tribun Jogja, Senin (30/7).
Dengan kata lain, lanjut Danang, limpasan dari sungai yang berhulu di Merapi itu juga memiliki potensi merusak tinggi. Hal itu dikarenakan kandungan material yang hanyut bersama limpasan tersebut.
Menurut Danang, lahar memiliki daya rusak tinggi yang dapat menghancurkan bangunan apapun yang dilewati. Terlebih, bila konsentrasi lahar tersebut tinggi, misalnya dengan adanya batuan dan material lain yang cukup besar. "Apabila konsentrasi lahar tinggi, biasanya ada batuan yang rolling (memutar, Red) atau juga floating (mengambang, Red), bahkan ada juga yang hingga melompat keluar jalur yang dilalui. Ini yang berbahaya," tegasnya.
Limpasan seperti ini biasanya terjadi saat awal musim hujan, namun bukan berarti hujan pertama. Menurut Danang, hujan pertama dan kedua pada musim penghujan biasanya baru dalam tahap menggerus material-material yang ada di Merapi. "Biasanya pada ketiga, keempat atau kelima sudah mulai ada pergerakan aliran lahar ini," tandasnya.
Kontraktor Bersyukur
Di pihak lain, para kontraktor di Yogyakarta bersyukur dengan melimpahnya pasir asal sungai yang berhulu di Gunung Merapi. Selama ini kebutuhan pasir untuk proyek konstruksi hampir seluruhnya menggunakan pasir asal Merapi.
"Pasir Merapi itu masih dianggap pasir terbaik dibandingkan dari daerah lain. Kontraktor yang masih bergantung pada pasir Merapi cukup beruntung karena jumlah pasirnya melimpah dan mudah didatangkan," kata Ketua Harian Forum Pengusaha Swasta Nasional Jasa Konstruksi DIY, Sukardi, Selasa (31/7), di Yogyakarta.
Dalam hal ketersediaan, pasir Merapi yang seolah tidak ada habisnya tersebut memang menjadi jaminan kalau kontraktor tidak perlu risau akan suplai pasir. Untuk mengurangi pendangkalan sungai, pasir Merapi diizinkan keluar dari Yogyakarta bahkan sampai diekspor ke Singapura.
Sukardi menuturkan, jenis pasir dalam pengerjaan proyek umumnya memang sudah ditentukan, namun hampir seluruhnya memilih menggunakan pasir Merapi, baik itu pengerjaan bangunan gedung perkantoran, jalan maupun jembatan.
"Untuk proyek tertentu memang dibutuhkan pasir yang bebas dari lebu gunung berapi. Tapi itu juga tinggal mencucinya menjadi bersih. Hanya, memang membutuhkan proses yang lebih lama juga biaya lebih," ujarnya.
Ia mengakui sejumlah kontraktor memang mendapatkan pasir dari pemasok, namun sebagian kontraktor mampu secara mandiri mengangkutnya karena mempunyai armada truk yang banyak, bahkan mempunyai perlengkapan backhoe untuk pengangkutan pasir. "Semenjak ada larangan penggunaan backhoe memang kontraktor sedikit membatasi karena berkaitan dengan mata pencaharian masyarakat sekitar yang harus ditoleransi," kata Sukardi.
Mengenai harga, ia mengatakan, untuk penggunaan pembangunan individu maupun kontraktor rata-rata sama, hanya kapasitasnya yang berbeda. Harga untuk wilayah Yogyakarta dan sekitarnya, sampai Kulonprogo, berkisar Rp 100 ribu per meter kubik.
"Untuk truk dengan kapasitas 4,1 meter kubik biasanya kami membayar rata-rata Rp 400 ribu untuk wilayah Yogya. Hanya, kalau sudah melewati batas wilayah akan dibebani biaya transportasi lebih, tergantung jauhnya," ujar Sukardi. (ton/vim)