Kedelai Mahal
Tempe Sudah Langka di Supermarket Solo
Pantauan di Solo, juga memperlihatkan hal yang sama. Bahkan, di Kota Bengawan, ketersedian tempe di pusat perbelanjaan modern

TRIBUNJOGJA.COM, SOLO - Pantauan di Solo, juga memperlihatkan hal yang sama. Bahkan, di Kota Bengawan, ketersedian tempe di pusat perbelanjaan modern, di antaranya di hypermart Solo Grand Mall (SGM), tempe sudah langka sejak sepekan lalu. Tak hanya itu, tahu tahu yang dipajang di rak pun didominasi produk impor.
Rak yang biasanya digunakan sebagai wadah tempe lokal terlihat kosong melompong. Para pembeli mengharapkan bisa menikmati tempe pun dibuat kecele. "Sudah seminggu ini, tempat kami tak lagi menjual tempe karena tak kebagian," kata Aris Yunianto, Departemen Manager Food Service Hypermart SGM.
Namun, di pasar tradisional Solo, tempe dan tahu masih bisa didapatkan. Di Pasar Kleco misalnya, masih ada pedagang tempe yang menjajakan dagangannya. Sutinah, seorang di antaranya. mengaku masih bisa mendapatkan tempe dari produsen. Hanya saja tempe yang didapat ukurannya lebih kecil. "Harganya tak naik, hanya ukurannya saja yang lebih kecil," katanya.
Para produsen tempe di Solo dan sekitarnya, memang hanya sebagian yang ikut mogok. Sekitar 150 perajin yang tergabung dalam Paguyuban Perajin Tahu Tempe Wijaya Kusuma Kartasura, Sukoharjo menghentikan produksinya.
"Kami sepakat untuk menghentikan produksi selama dua hari," kata Sekretaris Paguyuban Perajin Tahu Tempe Wijaya Kusuma Kartasura, Suradi Cokro Ismoyo.
Pada mogok produksi hari pertama kemarin, ratusan perajin menggelar aksi unjukrasa di Bundaran Kartasura dan melakukan longmarch menuju Kantor Kecamatan Kartasura. "Jika harga kedelai tidak segera turun, kami akan mengajak pengrajin dari kecamatan lain untuk menggelar aksi besar," kata Suradi.
Sedangkan perajin tahu dan tempe di Mojosongo Solo, memilih tetap melakukan aktivitas sebagaina biasa. Acok Warso, pengusaha tempe asal Mojosongo menuturkan, jika ikut ikutan mogok, justru akan merugikan pengusaha. "Kalau ikut mogok, bagaimana nasib pekerja. Nanti malah tak dapat pemasukan. Jadi kami memilih tak ikut demo saja," katanya.
Meski tetap berpoduksi, sejumlah perajin tahu dan tempe di Mojosongo memilih mengurangi jumlah produksinya, untuk menghindari kerugian. Kebijakan yang sama juga dilakukan hampir seluruh perajin tahu dan tempe di DIY dan Jawa Tengeh Mulai dari Klaten, Semarang, Magelang, Purwokerto dan Purworejo.
Sutrisno (69), perajin tempe di Baledono, Purworejo, juga mensiasati melambungnya harga kedelai dengan mengurangi produksi, memperkecil ukuran per unit tempe dan tahu. "Harganya tetap," tambahnya.
Dampaknya, penghasilan Sutrisno dan ribuan perajin lainnya di Jawa Tengah dan DIY, mengalami penurunan hingga 60 persen. "Dulu dari membuat tempe ini cukup buat beli kebutuhan yang lain, sekarang hanya cukup buat makan saja. Bisa dibilang, mendekati impas," jelas Sutrisno. (*)