Upacara Saparan di Widodomartani

Menelusuri Kisah Ki Ageng Wonolelo

Masyarakat Dusun Pondok Wonolelo, Widodomartani, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman kembali menggelar upacara adat saparan

Penulis: Mona Kriesdinar | Editor: ufi
zoom-inlihat foto Menelusuri Kisah Ki Ageng Wonolelo
Tribun JOgja/Mona Kriesdinar
Gunungan Apem untuk upacara Saparan di Widodomartani Sleman
TRIBUNJOGJA.COM, SLEMAN-  Masyarakat Dusun Pondok Wonolelo, Widodomartani, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman kembali menggelar upacara adat saparan dan kirab pusaka Ki Ageng Wonolelo yang ke - 44 tahun 2012 yang dipusatkan di Balai Desa Widodomartani. 

Menurut ketua panitia saparan Tony Suryanto Purwanto, upacara adat dilaksanakan untuk memperingati, menghormati, mendoakan serta sebagai wujud darma bakti anak cucu kepada pupunden yang merupakan orang pertama yang mendirikan Dusun Pondok Wonolelo yakni Ki Ageng Wonolelo. 

Selain itu, upacara adat ini juga menjadi media untuk mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rezeki, kesehatan, keselamatan dan ketenteraman.
Dituturkan olehnya, Ki Ageng Wonolelo dikenal pula bernama Jumadigeno. Ia merupakan seorang keturunan Prabu Browijoyo V dan seorang penyebar agama islam pada masa kerajaan mataram. Ki Ageng Wonolelo juga diyakini memiliki ilmu kebatinan sehingga ia pun pernah diutus Raja Mataram untuk berkunjung ke Kerajaan Sriwijaya Palembang. 

Dikisahkan, saat itu Kerajaan Sriwijaya membangkang kepada Mataram sehingga Ki Ageng Wonolelo diutus untuk menaklukan Sriwijaya. Ia pun berhasil menaklukan Sriwijaya tanpa melewati proses peperangan.

Nama Ki Ageng Wonolelo semakin tersohor dan banyak orang berdatangan untuk menuntut ilmu. Sehingga ia pun menjadi sosok panutan. Dijelaskan Tony, Ki Ageng Wonolelo kemudian banyak mewariskan berbagai peninggalan berupa tapak tilas, pusaka serta benda keramat lainnya. 

Adapun peninggalan tapak tilas yang tercata meliputi Rumah Tiban, Surau, Gumuk Lengki, Gua Landak serta Makam Ki Ageng Wonolelo sendiri. Dengan nama besar tersebut, tak heran warga Wonolelo selalu memperingati dan mengenangnya lewat upacara adat saparan dan kirab pusaka.

Rangkaian upacara adat tersebut biasanya diawali dengan pengajian akbar dan dilanjutkan dengan kegiatan pengajian rutin di pendopo makam Ki Ageng Wonolelo selama saparan. Hal ini merupakan perwujudan anak cucu Ki Ageng Wonolelo untuk meneruskan perjuangannya karena ia dikenal sebagai tokoh penyebar agama Islam semasa hidupnya.

Sedangkan puncak acara diisi dengan kirab pusaka Ki Ageng Wonolelo. Kirab tersebut diikuti oleh bregodo - bregodo meliputi sesepuh trah, sesepuh dusun, putro wayah, santri, alim ulama, prajurit, putri domas serta berbagai kelompok kesenian. Adapun benda - benda pusaka yang dikirab meliputi; Kitab suci Al-Quran peninggalan Ki Ageng Wonolelo. 

Keberadaan Al-Quran ini menjadi bukti bahwa dirinya merupakan seorang ulama besar dan penjadi bukti bahwa kitab suci Al- Quran merupakan dasar pokok untuk mengajarkan agama islam kepada murid-muridnya. Kedua yakni Bandil, Bentuknya bola kecil ada tali dan ada pegangannya. 

Pernah digunakan Ki Ageng Wonolelo saat babat alas untuk mendirikan Pondok Wonolelo. Konon saat itu, bandil diputar-putarkan diatas kepala lantas dilemparkan ke arah pohon - pohon besar yang membuat pohon tersebut mengering dan bertumbangan. Namun sayang, bandil hilang dan tidak pernah ditemukan.

Ketiga yaitu Baju Ontrokusumo, bentuknya menyerupai rompi dan berfungsi untuk menciptakan kekebalan pada tubuh si pemakainya. Baju ini pernah digunakan Ki Ageng Wonolelo saat babat alas. Baju tersebut dikenakan supaya badan si pemakainya tidak kena senjata tajam, tidak diganggu binatang buas, tidak diganggu jin, setan serta banas pati tidak berani mendekat. 

Kemudian Kopyah yang diyakini pernah digunakan Ki Agung Wonolelo saat menaklukan kerajaan Palembang tanpa melalui peperangan. Dikisahkan bahwa pada saat itu, Ki Ageng Wonolelo memiringkan kopyahnya setelah menjalankan ibadah shalat jumat. Seketika masjid dan bumi Palembang ikut miring dan membuat orang - orang berjatuhan.

Kelima yaitu Potongan Kayu Jati Mustoko Masjid, berupa potongan kayu jati biasa yang dulunya digunakan untuk membangun surau atau masjid. Keenam, tongkat yang digunakan sebagai senjata sehingga selalu dibawa Ki Ageng Wonolelo saat menghadapi berbagai rintangan selama menyebarkan agama islam. 

Ketujuh, sesaji berupa tumpeng robyong sebagai simbol untuk menghilangkan keruwetan dari segala macam gangguan dan sebagai lambing kesuburan. Sedangkan ingkung ayam merupakan simbol kepasrahan terjadap Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu ada pula Pisang Ayu, Kembang Telon, Buah - Buahan, Daun Kluwih 5 lembar serta Tumpeng Lima Golong Tujuh yang bermakna waktu dibagi menjadi kedalam tujuh hari dan terdiri atas lima pasaran.

Terakhir yakni Gunungan Apem. Bentuknya menyerupai gunung dengan mengerucut lancip keatas. Melambangkan bahwa pencipta alam semesta hanyalah satu yakni Tuhan Yang Maha Esa.


Gunungan apem tersebut menjadi atraksi budaya yang menarik lantaran jumlahnya cukup banyak mencapai 1,5 ton. Apem akan dibagikan kepada seluruh warga sebagai teladan kepada Ki Ageng Wonolelo yang dikenal sebagai seorang dermawan.

Tradisi gunungan apem ini pun memiliki kisah tersendiri. Menurut kisah yang diyakni warga sekitar, Syeikh Jumadigeno atau Ki Ageng Wonolelo merupakan sosok ulama besar. Ia sudah berkali - kali menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Ia juga kerap ziarah ke Mekah bersama Syeikh Wasibogeno. 

Dikisahkan pada bulan sapar tahun alip 1511, diperlambangi sinengkalan "Ratu Suci Tataning Jagad" Syeikh Jumadigeno ziarah ke Mekah. Sepulangnya berziarah, ia membawa oleh - oleh berupa roti gimbal yang masih hangat. Roti tersebut terbuat dari tepung beras sejenis apem.

Sementara anak cucu, para santri dan tetangga Ki Ageng Wonolelo sudah berkumpul di rumahnya sambil menunggu kepulangan Ki Ageng Wonolelo beserta berkah dan buah tangan dari Mekah. Kebetulan saat itu malam Jumat dan terang bulan. Setibanya di rumah, Ki Ageng kemudian memberikan wejangan dan siraman rohani yang dilanjutkan dengan pembagian roti gimbal atau yang lebih dikenal dengan sebutan kue apem. Kue apem ini konon berasal dari kata afuwun yang berarti ampunan. 

Maksudnya, supaya anak cucu dan para tetangga yang menyimak ceramahnya kemudian memperoleh hidayah untuk selalu memohon ampunan kepada Allah SWT. Ki Ageng Wonolelo juga memerintahkan untuk selalu berbuat kebajikan serta memperbanyak sedekah.
Berawal dari kisah itulah kemudian warga melaksanakan tradisi membuat apem setiap bulan safar. Semula apem tersebut dikumpulkan dengan cara kenduri kemudian dibawa ke makam Ki Ageng Wonolelo. Setelah acara bacaan thoyibah, tahlil dan tabur bunga selesai, apem akan dibagikan dari cungkup makam Ki Ageng Wonolelo kepada seluruh pengunjung yang berziarah di makamnya.

Kian lama, peminat tradisi pembagian apem dan tradisi berziarah ini semakin banyak. Sehingga jumlah apem yang dibagikan pun semakin banyak pula. Sehingga pembagian apem di cungkup makam dinilai sudah tak memungkinkan lagi. Maka pada tanggal 10 Maret 2001 kemudian dibuatkan panggung khusus untuk penyebaran apem. Sehingga pembagian apem pun dipindah ke panggung dengan cara disebar untuk diperebutkan kepada penonton. Tradisi ini pun berlanjut hingga sekarang.

Ada beberapa orang yang meyakini bahwa apem tersebut bisa digunakan sebagai tolak bala hama tanaman dan berkah lainnya. Namun tak sedikit pula yang hanya sekadar ingin melestarikan kekayaan budaya. Namun, di luar itu semua, setiap peringatan saparan, ratusan orang selalu datang untuk berebut apem. Mereka rela berdesakan dan berlomba dengan penonton lainnya demi memperoleh apem yang dikemas menggunakan plastik yang dibentuk menyerupai gunungan.

"Dengan upacara adat saparan ini, mari kita lestarikan nilai - nilai tradisi dan budaya lokal sebagai benteng yang tangguh untuk menghadapi serbuan budaya global yang berpotensi melenyapkan identitas bangsa," jelas Tony menyebutkan tema upacara adat saparan dan kirab pusaka tersebut. (*)
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved