Cerita Penjaga Kuburan Kuno Tionghoa Kulon Progo Yogyakarta, Catatan Peradaban di Bumi Menoreh

Jejak komunitas warga Tionghoa di Kulon Progo seolah hampir tak tampak. Namun, ada dua tempat yang menunjukkan eksistensinya

Tribunjogja.com | Singgih Wahyu
Samiyem juru kunci makam tionghoa di Giripeni Tengah | Tugu pahoda di wates 

Jejak komunitas warga Tionghoa di Kulon Progo seolah hampir tak tampak. Namun, ada dua tempat yang menunjukkan eksistensinya; tugu pagoda di Wates dan areal kuburan di Giripeni.

SINAR matahari yang memapar Wates pada Senin (4/2) siang itu terasa cukup menyengat di kulit. Hujan yang sempat turun sebentar seperti tak mampu meredam panasnya hari.
Di tengah cuaca itu, Samiyem (58) tampak tetap bersemangat mengayunkan sapunya.

Ia tengah membersihkan nisan di bong cino Tegalembut, demikian warga setempat menyebut satu-satunya area makam warga Tionghoa di Kulon Progo yang terletak di Desa Giripeni, Kecamatan Wates tersebut.

Sehari jelang perayaan Imlek atau Tahun Baru Cina, makam tersebut tak jauh berbeda dari hari-hari lainnya; sepi dan sunyi. Tidak tampak keluarga ahli waris dari orang
yang dimakamkan di situ untuk nyekar ataupun membersihkan makam. S

Samiyem-lah yang saban harinya bertugas menjaga dan membersihkan areal pekuburan tua tersebut.

"Di sini hanya ramai ketika ada warga keturunan Tionghoa yang meninggal dan dimakamkan di sini. Saat Imlek atau Cembengan dan beberapa waktu setelah pemakaman, biasanya ada keluarga yang nyekar, tapi tidak banyak.

Selain saat-saat itu, ya sepi. Di Kulon Progo kan tidak banyak (keturunan Tionghoa)," kata Samiyem.

Ia dan suaminya, Adisuparmo (60) menjadi juru kunci kuburan itu sejak beberapa tahun terakhir.

Mereka mewarisi tugas itu dari para pendahulunya selama empat generasi dari garis keluarga Adisuparmo. Karena berbagai pertimbangan, Samiyem akhirnya berbagi tugas dengan suami untuk menjaga kuburan tersebut.Mereka mendapat upah dari ahli waris makam itu untuk tugasnya.

Kini, setiap kali ada warga Tionghoa yang hendak dimakamkan di situ atau sekadar nyekar, pihak keluarga akan menghubunginya melalui telepon. Kebanyakan ahli waris
keluarga Tionghoa itu berada di luar daerah, seperti Yogya, Klaten, Jakarta, Surabaya, dan lainnya.

Samiyem juru kunci makam tionghoa di Giripeni tengah, Wates, Kulon Progo
Samiyem juru kunci makam tionghoa di Giripeni tengah, Wates, Kulon Progo (Tribunjogja.com | Singgih Wahyu)

Pada persiapan prosesi pemakaman, suaminya yang bakal bekerja untuk menggali liang bersama sejumlah tenaga bayaran dari warga setempat.

Liangnya tak hanya berupa tanah liat melainkan langsung dibikin dinding semen untuk selanjutnya peti jenazah dimasukkan ke dalamnya, dikubur dengan pasir dan bagian
atasnya kembali dicor.

Adapun prosesi pemakaman biasanya ditangani langsung oleh pihak keluarga jenazah.

"Sekarang banyak yang memilih untuk mengkremasi keluarganya dan dilarung ke laut sehingga tidak dimakamkan di sini. Yang di sini kebanyakan hanya yang sudah tua-tua
saja," kata Samiyem.

Samiyem mengaku tak hapal berapa jumlah liang makam yang ada di situ karena ia tak punya catatan khusus dan hanya menerima informasi secara lisan dari pendahulunya.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved