Dewan Pers: Informasi di Medsos Harus Dilengkapi dengan Kerja Jurnalistik

Berbagai informasi yang muncul di media sosial (medsos) tetaplah baru terkategori sebagai informasi, bahkan informasi awal dan bukan sumber berita.

NET
Social Media 

TRIBUNJOGJA.COM - Anggota Dewan Pers, Anthonius Jimmy Silalahi, mengingatkan  kembali masyarakat pers Indonesia bahwa berbagai informasi yang muncul di media sosial (medsos) tetaplah baru terkategori sebagai informasi, bahkan informasi awal dan bukan sumber berita.

Hal itu dia kemukakan pada kegiatan "Literasi Media" yang diselenggarakan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bersama Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Kalimantan Timur di Kota Samarinda, Kamis (20/7/2017).

Pada acara bertajuk Literasi Media sebagai Upaya Cegah dan Tangkal Radikalisme dan Terorisme di Masyarakat di Kota Samarinda, itu Jimmy mengemukakan tentang masih banyaknya media massa pers yang menggunakan medsos sebagai sumber berita dan bukan informasi awal yang memerlukan kerja jurnalistik yang lebih lanjut dan dikerjakan secara profesional.

Apalagi, katanya mengigatkan, Indonesian Journalits Technographics Report pada tahun 2012 - 2013, pernah merilis publikasi yang isinya menyeburkan bahwa 85 persen lembaga pers mulai menjadikan medsos sebagai sumber utama dalam pembuatan berita.

"Dewan Pers menilai hal ini sebagai kondisi yang mengkhawatirkan," ujarnya pada acara yang dihadiri berbagai kalangan, termasuk kalangan pers.

Menurut Jimmy, untuk menjadikan informasi yang beredar di medsos menjadi berita dan pemberitaan, institusi pers harus menjalankan mekanisme sesuai standar pembuatan berita.

"Harus ada verifikasi, cek dan ricek kebenarannya, serta konfirmasi kepada pihak-pihak yang berkaitan. Standarisasi dalam pembuatan berita harus dijalankan," kata Jimmy.

Berdasarkan data yang dikeluatkan Indonesian Journalits Technographics Report itu Jimmy merinci, dari 362 responden 50 persen di antaranya mengakui menemukan ide pembuatan berita dari medsos, sementara 58 persn lainnya menjadikan media sosial sebagai sumber data.

"Yang mengkhawatirkan, sebanyak 28 persen lainnya melakukan verifikasi kebenaran data juga melalui medsos. Padahal sebagai institusi pers, media harus melakukan konfirmasi dan klarifikasi sesuai standar pembuatan berita," tegasnya.

Penggunaan medsos sebagai sumber pemberitaan diakui oleh Jimmy bukan hal yang salah, terlebih di era media baru saat ini. Akan tetapi institusi pers memiliki kewajiban melakukan klarifikasi dan konfirmasi.

"Jangan sampai pers menjadi corong terorisme hanya karena malas melakukan klarifikasi," tambah Jimmy.

Untuk menumbuhkan pentingnya disiplin verifikasi atas setiap informasi di medsos ketika akan diberitakan, Jimmy mengakui pihaknya menggandeng tiga organisasi profesi kewartawanan yang diakui Dewan Pers, yaitu Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI). 
Ketiga organisasi profesi kewartawanan tersebut diminta ikut aktif mengingatkan anggotanya perihal klarifikasi dan konfirmasi tersebut.

"Kenapa kami menggandeng organisasi profesi (kewartawanan)? Karena mereka juga memiliki tanggung jawab untuk mengontrol anggotanya," pungkas Jimmy.

Kegiatan Literasi Media ini merupakan salah satu metode yang dijalankan BNPT bersama FKPT Kaltim yang didukung Dewan Pers dalam kegiatan Pelibatan Media Massa Pers dalam Pencegahan Terorisme.

Satu metode lainnya adalah Visit Media, kunjungan dan diskusi ke redaksi media massa pers.

BNPT dan FKPT di 32 provinsi se-Indonesia pada tahun 2017 juga menyelenggarakan lomba karya jurnalistik, yang mengangkat tema pentingnya kekuatan kearifan lokal sebagai sarana pencegahan terorisme. (WartaKota)

Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved