Kuota Pendaki Merapi saat 17 Agustus 2.000 Pendaki

TNGM mengakui susah melakukan pengawasan atau penjagaan agar para pendaki tidak nekat ke puncak.

Penulis: dnh | Editor: oda
tribunjogja/dwinourmahandito
Gunung Merapi yang berada di dua wilayah provinsi, Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta saat dilihat dari gunung Merbabu.Foto diambil belum lama ini. 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Dwi Nourma Handito

TRIBUNJOGJA.COM, SLEMAN ‑ Dua pekan terakhir, Closed Circuit Television (CCTV) milik Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) di Stasiun Pasar Bubar merekam sejumlah pendaki nekat naik ke puncak gunung Merapi.

Kegiatan tersebut sangat tidak direkomendasikan. Bahkan sebelum kecelakaan fatal yang menewaskan seorang mahasiswa Universitas Atmajaya beberapa bulan lalu, larangan mendaki ke puncak di bibir kawah Merapi sudah ada.

Balai Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) menjadi sorotan dalam hal ini, tentu karena kewenangan pengelolaan ada di tangan balai yang berada di bawah Departemen Kehutanan ini.

Ruky Umaya, Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) TNGM mengakui susah melakukan pengawasan atau penjagaan agar para pendaki tidak nekat ke puncak.

Ini terjadi karena minimnya personel yang ada dan tidak bisa setiap saat berada di Pasar Bubrah hanya untuk melarang pendaki ke puncak.

"Tidak mungkin jika setiap saat dijaga, terlebih personel yang ada terbatas," ujar Ruky ditemui di kantor Balai TNGM pekan kemarin.

Sejak erupsi 2010, puncak Merapi sudah berubah bentuk dan memang sangat berbahaya. Sementara menurut Kelompok Studi Kawasan Merapi (KSKM) dalam sebuah workshop yang digelar pada Juni 2015, pascaerupsi 2010 tren kecelakaan cenderung meningkat.

Berbicara mengenai pendaki yang nekat naik ke puncak Merapi memang tidak ada habisnya, ada saja yang tetap nekat meski sudah ada pelajaran berharga yang bisa diambil dari kasus pendaki Erri Yunanto yang jatuh dari puncak Merapi ke kawah.

Risiko fatal

Menurut salah seorang pendaki, Lana, puncak Merapi memang cukup berbahaya. Namun ia kurang setuju larangan itu, terlebih menurutnya target pendakian adalah puncak.

"Kondisi puncak bisa dibilang horor tapi eksotis, karena di bawahnya ada kawah yang aktif, bikin merinding. Dengan adanya larangan, maka pendaki mau tidak mau memang harus memendam hasrat ke puncak, padahal sebagian besar target pendakian kan ingin ke puncak," ujar pria yang lama tinggal di Yogyakarta ini.

"Namun saya secara pribadi menolak dengan adanya larangan tersebut," lanjutnya.

Kesadaran para pendaki memang jadi kunci utama yang bisa mencegah risiko fatal. Tantangan baru muncul bulan Agustus ini, tepatnya pada peringatan HUT Kemerdekaan Republik Indonesia.

Biasanya puncak-puncak gunung adalah tempat yang akan diserbu para traveller, pencita alam atau pendaki. Jumlah pendaki akan melonjak tajam saat 17 Agustus, biasanya akan ada upacara yang dilakukan di gunung, termasuk Merapi.

Sumber: Tribun Jogja
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved