Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto Dinilai Bentuk Pengkhianatan terhadap Korban Orde Baru
Bentuk penolakan terhadap rencana pemerintah memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto.
Penulis: Hanif Suryo | Editor: Yoseph Hary W
Hal itu, menurutnya, melemahkan gerakan perempuan yang progresif dan menyingkirkan peran perempuan dalam ruang publik.
Marsinah juga menyinggung kekerasan terhadap aktivis, termasuk pembunuhan mahasiswa Universitas Sanata Dharma, Moses, oleh aparat militer di Yogyakarta.
Ia menilai pelanggaran dan pembungkaman semacam itu belum pernah dipertanggungjawabkan.
“Para pelanggar HAM, termasuk Soeharto dan keluarganya, tidak pernah meminta maaf. Prabowo pun hingga kini tidak pernah menyampaikan permintaan maaf atas pelanggaran HAM yang dilakukan,” ujarnya.
Alat politik
Marsinah menegaskan bahwa pemberian gelar pahlawan kini telah kehilangan makna.
“Gelar pahlawan tak lagi menjadi penghargaan atas perjuangan menegakkan keadilan, melainkan alat politik untuk melegitimasi ideologi militerisme,” katanya.
Ia menambahkan bahwa rakyat tidak tinggal diam. Rapat umum tersebut menjadi ajang konsolidasi perempuan dari berbagai komunitas, anak muda lintas generasi, dan organisasi masyarakat sipil yang menyatakan sikap menolak penganugerahan gelar tersebut.
“Soeharto tidak layak menjadi Pahlawan Nasional. Ia melanggar pasal-pasal substantif dalam UUD 1945 dan menentang nilai-nilai Pancasila. Kami menolak Soeharto disandingkan dengan Marsinah, seorang buruh perempuan yang dibunuh rezimnya sendiri,” ujar Marsinah.
Ia menilai proses pemberian gelar pahlawan tidak melalui mekanisme yang benar karena tidak melibatkan korban maupun keluarga korban.
Pengaburan sejarah
Selain itu, ia menilai pernyataan sejumlah pihak, termasuk Fadli Zon yang menyebut Soeharto tidak terbukti bersalah, merupakan bentuk pengaburan sejarah.
“Ibu-ibu korban 1965 dengan tegas mengatakan, kami adalah korban nyata. Selama bertahun-tahun hidup kami hancur, kami dilabeli komunis hanya karena menentang ketidakadilan,” ucapnya.
Marsinah menegaskan bahwa perjuangan menolak penobatan Soeharto sebagai pahlawan tidak akan berhenti di sini.
Forum Cik Ditiro berkomitmen untuk terus mengawal isu ini hingga peringatan Hari HAM Internasional mendatang.
“Ini bukan langkah terakhir. Kami akan terus mengingatkan publik bahwa Soeharto, yang kini disebut pahlawan nasional oleh Prabowo — pelanggar HAM itu sendiri — adalah simbol dari pelanggaran kemanusiaan yang belum pernah diadili,” katanya.
| STIKES Bethesda Yakkum Jogja Tingkatkan Kapasitas Kesehatan Pengelola Sampah, Bantu Cegah Stunting |
|
|---|
| Elemen Sipil Yogyakarta Desak Pemerintah Batalkan Gelar Pahlawan untuk Soeharto, Ini Alasannya |
|
|---|
| Fortuna Suites Malioboro: Ekspansi FOSIA Hotels Hadirkan Penginapan Modern Bernuansa Keluarga |
|
|---|
| Bea Cukai Yogyakarta dan Magelang Musnahkan Barang Ilegal, Potensi Kerugian Negara Rp1,3 Miliar |
|
|---|
| Rapat Oemoem di Yogyakarta: Menolak Lupa, Menolak Gelar Pahlawan bagi Soeharto |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jogja/foto/bank/originals/Tolak-Soeharto-pahlawan.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.