Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto Dinilai Bentuk Pengkhianatan terhadap Korban Orde Baru

Bentuk penolakan terhadap rencana pemerintah memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto.

Penulis: Hanif Suryo | Editor: Yoseph Hary W
TRIBUNJOGJA.COM/ HANIF SURYO
AKSI - Foto dok ilustrasi. Massa aksi yang tergabung dalam Jogja Memanggil membentangkan poster dan spanduk bertuliskan penolakan terhadap rencana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto di kawasan Monumen TKR, Yogyakarta, Senin (10/11/2025). Mereka menilai langkah tersebut mengabaikan sejarah pelanggaran HAM dan penderitaan korban pada masa Orde Baru. 

Hal itu, menurutnya, melemahkan gerakan perempuan yang progresif dan menyingkirkan peran perempuan dalam ruang publik.

Marsinah juga menyinggung kekerasan terhadap aktivis, termasuk pembunuhan mahasiswa Universitas Sanata Dharma, Moses, oleh aparat militer di Yogyakarta.

Ia menilai pelanggaran dan pembungkaman semacam itu belum pernah dipertanggungjawabkan.

“Para pelanggar HAM, termasuk Soeharto dan keluarganya, tidak pernah meminta maaf. Prabowo pun hingga kini tidak pernah menyampaikan permintaan maaf atas pelanggaran HAM yang dilakukan,” ujarnya.

Alat politik

Marsinah menegaskan bahwa pemberian gelar pahlawan kini telah kehilangan makna.

“Gelar pahlawan tak lagi menjadi penghargaan atas perjuangan menegakkan keadilan, melainkan alat politik untuk melegitimasi ideologi militerisme,” katanya.

Ia menambahkan bahwa rakyat tidak tinggal diam. Rapat umum tersebut menjadi ajang konsolidasi perempuan dari berbagai komunitas, anak muda lintas generasi, dan organisasi masyarakat sipil yang menyatakan sikap menolak penganugerahan gelar tersebut.

“Soeharto tidak layak menjadi Pahlawan Nasional. Ia melanggar pasal-pasal substantif dalam UUD 1945 dan menentang nilai-nilai Pancasila. Kami menolak Soeharto disandingkan dengan Marsinah, seorang buruh perempuan yang dibunuh rezimnya sendiri,” ujar Marsinah.

Ia menilai proses pemberian gelar pahlawan tidak melalui mekanisme yang benar karena tidak melibatkan korban maupun keluarga korban.

Pengaburan sejarah

Selain itu, ia menilai pernyataan sejumlah pihak, termasuk Fadli Zon yang menyebut Soeharto tidak terbukti bersalah, merupakan bentuk pengaburan sejarah.

“Ibu-ibu korban 1965 dengan tegas mengatakan, kami adalah korban nyata. Selama bertahun-tahun hidup kami hancur, kami dilabeli komunis hanya karena menentang ketidakadilan,” ucapnya.

Marsinah menegaskan bahwa perjuangan menolak penobatan Soeharto sebagai pahlawan tidak akan berhenti di sini.

Forum Cik Ditiro berkomitmen untuk terus mengawal isu ini hingga peringatan Hari HAM Internasional mendatang.

“Ini bukan langkah terakhir. Kami akan terus mengingatkan publik bahwa Soeharto, yang kini disebut pahlawan nasional oleh Prabowo — pelanggar HAM itu sendiri — adalah simbol dari pelanggaran kemanusiaan yang belum pernah diadili,” katanya.

Sumber: Tribun Jogja
Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved