Kisah Sepasang Suami Istri di Bantul, Sukses Produksi Garam Alami dari Hasil Olahan Air Laut

Purnama menyebut produksi garam yang dibuatnya tidak menggunakan campuran bahan pengawet atau obat-obatan lain.

TRIBUNJOGJA.COM/ Neti Istimewa Rukmana
GARAM - Purnama (47) sedang memproduksi garam di dekat Pantai Tanggul Tirto, Kalurahan Poncosari, Kapanewon Srandakan, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta, Kamis (13/11/2025). 
Ringkasan Berita:
  • Sepasang suami-istri di Kapanewon Srandakan, Bantul, memproduksi garam dari hasil pengolahan air laut
  • Produksi garam yang dibuat tidak menggunakan campuran bahan pengawet atau obat-obatan lain.
  • Usaha tersebut dijalani mulai tahun 2023, dan ide usahanya didapat dari orangtua teman yang memiliki usaha produksi garam.

 

TRIBUNJOGJA.COM, BANTUL - Sepasang suami istri, Purnama (47) dan Rumiyani (47), di Kalurahan Poncosari, Kapanewon Srandakan, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta, menjadi satu-satunya warga yang mengolah air laut menjadi produk garam bernilai jual.

Garam tersebut dibuat di atas lahan Sultan Ground dekat Pantai Tanggul Tirto, Kalurahan Poncosari.

Proses pembuatannya dilakukan dengan beberapa tunnel dari plastik UV untuk menjaga panas yang stabil dan mengindari garam dari kotoran.

Purnama atau yang kerap disapa Capung, mengatakan, produksi garam yang dibuatnya tidak menggunakan campuran bahan pengawet atau obat-obatan lain.

Tak heran jika hasil buatannya disebut-sebut sebagai garam krosok atau garam kasar alami.

"Jadi, ya prosesnya agak lama ini. Dari air laut, terus kami tampung selama sebulan. Terus kami alirkan ke tunnel satu selama dua minggu, tunnel dua selama dua minggu, seterusnya sampai tunnel ke lima dan enam untuk proses pengkristalan," ucapnya, kepada wartawan, di tempat usahanya, Kamis (13/11/2025).

Disampaikannya, secara total proses pembuatan garam tersebut membutuhkan waktu sekitar dua bulan.

Namun, hasilnya cukup membanggakan.

Sebagai contoh, dalam pembuatan satu tunnel bisa menghasilkan sekitar dua kwintal garam krosok.

Kemudian, sekali tahap proses pengkristalan biasa dilakukan di dua tunnel.

Dengan begitu, dalam sekali panen bisa sekitar empat kwintal. Namun, proses panen garam berlangsung secara tahap.

"Kita kan prosesnya bertahap. Satu tunnel bisa sekitar tiga kali proses yang harus dilewati. Yang pertama sampai ketiga itu harus ada proses pengeringan. Nanti kalau sudah kering, baru bisa diisi lagi untuk pengeristalan," jelas dia.

Baca juga: Warung Bakmi Jawa Mas Dwi/Tri Bangunjiwo Bantul: Aroma Tradisi dari Gunungkidul

Sejauh ini, hasil pertanian dijual di tempat pedagang lokal atau disetor ke warung jual pakan ternak atau produk pertanian. 

Omzet Lumayan

Terkait omzet, kata dia cukup untuk menopang kebutuhan dapur sehari-hari.

Ia turut menjelaskan, untuk hasil pertanian empat kwintal garam krosok bisa memperoleh omzet di atas Rp800 ribu per dua bulan.

Harga jual garam hasil produksinya tersebut cukup bervariasi.

Untuk garam krosok dengan kualitas bagus dijual sejumlah Rp3.000 per kilogram dan kualitas di bawahnya sekitar Rp2.000-Rp2.500 per kilogram.

"Jadi ada tiga macam garam ya. Yang pertama itu garam krosok putih dan lebih kasar, yang kedua agak lembut, yang ketiga lembut banget. Kualitas yang paling tinggi itu ya yang kasar," kata Capung.

Di samping itu, ia menjelaskan bahwa menjalankan usaha tersebut tidaklah mudah.

Pasalnya, terdapat suhu udara yang tak menentu.

"Kadang itu udara dingin, kadang panas full. Jadi, kalau panen raya itu di musim kemarau. Tapi kan tunnel itu kami buat dari plastik jadi garam bisa cepat kering," tuturnya.

Adapun sumber bahan utama pembuatan garam tersebut berupa air laut di Pantai Tanggul Tirto.

Di mana, terdapat proses pengeboran untuk mendapatkan air laut di bagian bawah.

"Kalau kita ambil air di permukaan enggak bisa karena pipanya naik terus di permukaan. Jadi enggak bisa nyedot air. Kemudian, air kami ambil pakai pompa agar bisa ke tempat produksi garam," ujar dia.

Awal Mula Usaha

Dalam kesempatan itu, Capung turut menyampaikan bahwa usaha tersebut dijalani mulai tahun 2023.

Ide usaha itu didapat dari orangtua temannya yang memiliki usaha produksi garam.

"Teman saya itu punya itu punya usaha travel di Jogja. Bapaknya itu seorang bos garam dan ketemu sama saya terus cerita-cerita. Dia juga menawarkan mau enggak bikin garam? Kalau produksinya melimpah kita bawa ke Surabaya," jelas dia.

Akhirnya, ia kepincut untuk membuka usaha tersebut.

Padahal, Capung memiliki latar belakang sebagai petani biasa.

Walau begitu, tekad dan semangat Capung yang membara mendorong untuk tetap belajar secara tekun dalam membuat garam.

"Terus ada teknisi dari Kebumen yang membantu mengajarkan saya saat awal-awal mulai usaha. Yang diajarkan mulai teknik pembuatan kolam sampai jadi," tutur dia.

Lebih lanjut, ia menyampaikan saat ini masih sibuk juga bekerja sebagai petani sawah.

Artinya, ia membutuhkan pembagian waktu untuk mengolah antara lahan pertanian sawah dengan produksi garam.

"Sejauh ini, produksi garam baru saya garap sama istri. Tapi, kemarin sempat ada kelompok yang tertarik," pungkas Capung. (*)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved