Curhat Pedagang dan Jukir eks TPK Abu Bakar Ali di Kawasan Menara Kopi Yogya, Sepi Tanpa Pemasukan
Minimnya kunjungan wisatawan membuat kawasan Menara Kopi sepi, dan roda perekonomian pedagang pun seret
Penulis: R.Hanif Suryo Nugroho | Editor: Muhammad Fatoni
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Lima bulan tanpa penghasilan membuat pedagang dan juru parkir (jukir) eks Tempat Parkir Khusus (TPK) Abu Bakar Ali (ABA) di kawasan Menara Kopi, Yogyakarta, hidup dalam kesulitan.
Minimnya kunjungan wisatawan membuat kawasan Menara Kopi sepi.
Wakil Ketua Paguyuban Keluarga Besar ABA, Agil Suhariyanto, menceritakan kondisi sejumlah pedagang di kawasan tersebut.
Menurutnya, kondisi ekonomi pedagang dan jukir eks ABA sudah berada di titik nadir.
Sejak dipindahkan ke Menara Kopi lima bulan lalu, sebagian besar dari 230 pedagang tidak memiliki pemasukan.
“Ada yang sampai sakit karena stres, ada yang jadi tukang pijat, ada juga yang berhenti jualan total. Nol pemasukan lima bulan,” katanya.
Salah satunya dialami Suhadi, pedagang pakaian di Menara Kopi.
Ia mengaku hanya memperoleh Rp130.000 selama lima bulan terakhir.
“Uangnya cuma cukup makan, Rp130.000 itu hasil lima bulan,” ujarnya.
Sebelum relokasi, Suhadi bisa memperoleh Rp200.000 hingga Rp500.000 per hari, bahkan mencapai Rp1 juta pada akhir pekan.
Kini, tak ada lagi pembeli di lokasi tersebut yang membuat roda perekonomiannya pun seret.
Suhadi menambahkan, semua lapak di Menara Kopi dibangun dengan biaya pribadi pedagang, rata-rata Rp1,2 juta per orang.
“Kita bikin sendiri, pemerintah janji bantu tapi sampai sekarang belum ada realisasinya,” ujarnya.
Kondisi serupa dirasakan Saiful Anwar, juru parkir yang telah bekerja di sekitar Malioboro selama puluhan tahun.
Sejak relokasi dilakukan pertengahan Juli lalu, ia mengaku tidak lagi memiliki penghasilan tetap.
“Selama direlokasi itu kami tidak ada aktivitas sama sekali. Sudah lima bulan ini tidak ada kegiatan apa pun karena dari pemerintah sendiri belum ada pendampingan,” tutur Saiful.
“Sekarang baru mulai berjualan lagi, karena sebelumnya kami benar-benar tidak punya pemasukan sama sekali.”
Menurut Saiful, jumlah kendaraan yang parkir di Menara Kopi nyaris tidak ada, bahkan pada akhir pekan.
Ia menyebut dalam satu hari, kadang tak satupun kendaraan masuk.
“Sedikit sekali, hampir tidak ada. Nol, bisa dibilang begitu. Kadang ada satu dua kendaraan di hari Minggu, tapi minggu berikutnya tidak ada sama sekali. Tidak menentu, dan itu pun tanpa ada kebijakan atau dukungan dari pemerintah,” ujarnya.
Ia menilai lokasi Menara Kopi sebenarnya strategis karena dekat dengan pusat kota.
Namun, potensi itu tak dimanfaatkan karena parkir liar di Jalan Margo Utomo dan sekitar Tugu justru tetap dibiarkan.
“Sebenarnya tempat ini efektif dan strategis, tapi masalahnya kami kalah dari parkir liar,” ujarnya.
“Pemerintah Kota Yogyakarta menurut saya agak abai. Kami sudah direlokasi dengan baik, tapi pemerintah belum bisa menertibkan parkir liar. Parkir liar itu tidak bayar pajak, sementara kami yang resmi di sini harus bayar pajak,” katanya.
Minimnya pemasukan membuat sebagian jukir memilih kembali menjadi parkir liar. Saiful sendiri mengaku kini melakukannya agar bisa menyambung hidup.
“Sekarang enggak ada pendapatan. Akhirnya saya sendiri malah jadi parkir liar, karena memang enggak ada pilihan lain,” ucapnya.
“Dulu Alhamdulillah, pendapatannya lumayan. Bisa mencukupi kebutuhan keluarga, bisa bayar sekolah anak, sampai biaya gedung sekolah. Sekarang enggak ada sama sekali. Sampai sekarang saya masih punya tunggakan di Muhammadiyah, sekitar Rp12 juta.”
Saiful menuturkan, relokasi ke Menara Kopi bukan kali pertama. Sejak awal 2000-an, ia dan rekan-rekannya sudah beberapa kali dipindahkan tanpa perlawanan.
“Pertama dari Abu Bakar Ali sekitar tahun 2001 sampai 2003 waktu ada pembangunan baru, kami berhenti lima bulan waktu itu, tapi enggak demo. Tahun 2015 dibangun lagi yang bertingkat setelah gempa, kami juga berhenti tujuh bulan, tetap sabar. Nah, sekarang direlokasi lagi dan sudah lima bulan seperti ini,” ujarnya.
Saiful memperkirakan ada sekitar 230 pedagang dan jukir yang terdampak langsung relokasi ke Menara Kopi.
Jika setiap pekerja menanggung keluarga, maka lebih dari 600 jiwa kini kehilangan penghasilan tetap.
“Jumlahnya sekitar 230 orang. Kalau dikalikan tiga saja per keluarga sudah berapa banyak yang terdampak. Itu baru hitungan kecilnya,” katanya.
Mengadu ke Wali Kota
Pedagang pun berharap Wali Kota Yogyakarta, Hasto Wardoyo, menata ulang akses wisata dan menertibkan parkir liar di pusat kota.
Kini mereka menaruh harapan pada janji Wali Kota Yogyakarta, Hasto Wardoyo, untuk menata ulang akses wisata dan menertibkan parkir liar yang mematikan penghidupan mereka.
Janji itu disampaikan Hasto saat menerima perwakilan pedagang dan jukir di Balai Kota Yogyakarta, Rabu (15/10/2025).
Dalam pertemuan tersebut, Hasto berjanji akan menindaklanjuti keluhan warga terkait sepinya pengunjung di Menara Kopi akibat minimnya bus wisata yang masuk ke kawasan tersebut.
“Pak Wali menanggapi dengan baik, ada beberapa poin yang beliau sampaikan,” ujar Wakil Ketua Paguyuban Keluarga Besar ABA, Agil Suhariyanto.
Menurut Agil, pemerintah akan segera mengambil langkah konkret untuk menata lalu lintas di sekitar kawasan Tugu.
Salah satu rencana yang disampaikan adalah melakukan rekayasa lalu lintas dari arah Simpang Gramedia ke baratagar bus besar tidak melintas di jalur padat.
Sebagai solusi, halte portabel Trans Jogja akan disiapkan agar wisatawan dapat naik dan turun di sekitar Menara Kopi.
Agil menilai, rencana tersebut belum menyentuh akar persoalan yang sesungguhnya.
Menurutnya, masalah utama bukan semata soal akses bus wisata ke Menara Kopi, melainkan keberadaan parkir liar di Jalan Margo Utomo yang justru menyalahi kesepakatan penataan kawasan Sumbu Filosofi.
“Padahal dulu sudah disepakati, dari Tugu ke selatan tidak boleh dilalui bus. Tapi sekarang justru ada kantong parkir yang dibiarkan. Kalau itu masih dibiarkan, bagaimana wisatawan mau ke sini?” ujarnya menegaskan.
Para pedagang dan jukir kini menanti tindakan nyata dari Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta.
Mereka berharap janji penataan ulang akses wisata dan penertiban parkir liar tidak berhenti pada wacana.
“Kalau akses wisatawan dibuka dan parkir liar ditertibkan, Menara Kopi pasti ramai lagi,” ujar Agil.
“Kami hanya ingin hidup layak di tempat yang sudah ditentukan pemerintah,” imbuhnya.
Ia berharap kunjungan Wali Kota Yogyakarta ke Menara Kopi, yang dijadwalkan Minggu (19/10/2025), akan membawa keputusan tegas terhadap penertiban parkir liar dan pembukaan kembali akses wisata ke kawasan tersebut.
“Kami menunggu sampai hari Minggu. Kalau tidak ada kejelasan signifikan, dengan segala hormat kami akan buka lapak di sekitar Pos Gumaton (eks-TKP ABA). Kami sudah nurut dari awal, dipindah pun tanpa konflik. Tapi kalau pemerintah tidak tegas, kami juga akan turun ke jalan lagi. Karena ini soal perut,” tegas Agil. (*/ tribunjogja.com)
| Kasus Temuan Bayi dalam Kotak di Sleman, Dua Hari, Dua Bayi |
|
|---|
| Keracunan MBG Terulang di Sleman, Ratusan Siswa dari Tiga Sekolah Alami Mual hingga Diare |
|
|---|
| Gandeng BPD DIY, Pemkot Yogyakarta Kembali Bedah Dua Rumah Tidak Layak Huni |
|
|---|
| Pemkot Yogyakarta Targetkan 'Zero New Stunting', Jalin Kolaborasi Bareng K-24 Group dan Sarihusada |
|
|---|
| Kisah Mahasiswa di Jogja Jadi Dukuh Kajor Sleman, Usia Baru 20 Tahun, Bertekad Bawa Perubahan |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jogja/foto/bank/originals/Area-parkir-Malioboro-13102025.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.