TRIBUNJOGJA.COM - Willybrodus Surendra Broto Rendra, lebih dikenal dengan nama pena W.S. Rendra, adalah seorang penyair, dramawan, aktor, sutradara, dan aktivis terkemuka Indonesia.
Puisi-puisi W.S. Rendra yang penuh simpati memiliki ciri khas dan keunikan yang membedakannya dari penyair lain, terutama dalam menyampaikan rasa empati dan solidaritas terhadap sesama manusia, khususnya mereka yang lemah dan menderita.
Hal ini dapat ditemukan pada puisinya yang berjudul “Orang-Orang Miskin”
Berikut isi dan makna puisi “Orang-Orang Miskin”:
Isi Puisi “Orang-Orang Miskin”
Orang-orang miskin di jalan,
yang tinggal di dalam selokan,
yang kalah di dalam pergulatan,
yang diledek oleh impian,
janganlah mereka ditinggalkan.
Angin membawa bau baju mereka.
Rambut mereka melekat di bulan purnama.
Wanita-wanita bunting berbaris di cakrawala,
mengandung buah jalan raya.
Orang-orang miskin. Orang-orang berdosa.
Bayi gelap dalam batin. Rumput dan lumut jalan raya.
Tak bisa kami abaikan.
Bila kamu remehkan mereka,
di jalan kamu akan diburu bayangan.
Tidurmu akan penuh igauan,
dan bahasa anak-anakmu sukar kamu terka.
Jangan kamu bilang negara ini kaya.
karna orang-orang miskin berkembang di kota dan di desa.
Jangan kamu bilang dirimu kaya
bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya.
Lambang negara ini mestinya terompah dan belacu.
Dan perlu diusulkan
agar ketemu presiden tidak perlu berdasi seperti Belanda.
Dan tentara di jalan jangan bebas memukul mahasiswa.
Orang-orang miskin di jalan
masuk ke dalam tidur malammu.
Perempuan-perempuan bunga raya
menyuapi putra-putramu.
Tangan-tangan kotor dari jalanan
meraba-raba kaca jendelamu.
Mereka tak bisa kamu hindarkan.
Jumlah mereka tak bisa kamu mistik jadi nol.
Mereka akan menjadi pertanyaan
yang mencegat ideologimu.
Gigi mereka yang kuning
akan meringis di muka agamamu.
Kuman-kuman sipilis dan tbc dari gang-gang gelap
akan hinggap di gorden presidenan
di buku programa gedung kesenian.
Orang-orang miskin berbaris sepanjang sejarah,
bagai udara panas yang selalu ada,
bagai gerimis yang selalu membayang.
Orang-orang miskin mengangkat pisau-pisau
tertuju ke dada kita,
atau ke dada mereka sendiri.
O, kenangkanlah:
orang-orang miskin
juga berasal dari kemah Ibrahim.
Makna Puisi “Orang-Orang Miskin”
Puisi ini secara keseluruhan adalah jeritan keprihatinan dan tuntutan keadilan sosial bagi kaum miskin dan terpinggirkan di tengah kemunafikan dan ketidakpedulian masyarakat serta negara.
Penyair menggambarkan kondisi menyedihkan kaum miskin, menyoroti keberadaan mereka yang tak terhindarkan, dan memperingatkan konsekuensi dari pengabaian mereka.
Puisi ini juga menyentil simbol-simbol negara dan agama yang dianggap gagal merepresentasikan realitas kemiskinan yang meluas.
a. Potret Tragis dan Kehadiran Tak Terhindarkan Kaum Miskin
Bagian awal puisi melukiskan gambaran menyayat hati tentang kaum miskin yang hidup di jalanan dan selokan, kalah dalam kerasnya kehidupan, dan bahkan menjadi bahan ejekan impian yang tak pernah tercapai.
Penyair menekankan bahwa keberadaan mereka tidak bisa diabaikan, bahkan bau dan jejak mereka hadir di mana-mana, melekat dalam ingatan dan alam ("Angin membawa bau baju mereka. Rambut mereka melekat di bulan purnama.").
Citra wanita hamil yang berbaris di cakrawala, "mengandung buah jalan raya," adalah metafora kuat yang melambangkan generasi kemiskinan yang terus berlanjut dan menjadi bagian tak terpisahkan dari lanskap sosial.
Penegasan "Tak bisa kami abaikan" menjadi sebuah imperatif moral bagi pembaca dan masyarakat luas.
b. Konsekuensi Pengabaian dan Kritik terhadap Kemunafikan
Puisi kemudian beralih pada konsekuensi psikologis dan sosial dari meremehkan kaum miskin.
Penyair memperingatkan bahwa pengabaian akan menghantui alam bawah sadar ("di jalan kamu akan diburu bayangan. Tidurmu akan penuh igauan") dan bahkan merusak pemahaman terhadap generasi mendatang ("dan bahasa anak-anakmu sukar kamu terka").
Kritik tajam dilontarkan terhadap klaim kekayaan negara dan individu di tengah kemiskinan yang merajalela ("Jangan kamu bilang negara ini kaya... Jangan kamu bilang dirimu kaya bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya").
Penyair bahkan mengusulkan perubahan simbol negara dan protokoler kenegaraan agar lebih mencerminkan realitas kehidupan rakyat jelata, serta mengkritik kekerasan aparat ("Lambang negara ini mestinya terompah dan belacu... Dan tentara di jalan jangan bebas memukul mahasiswa").
c. Kehadiran yang Meresap dan Ancaman yang Tersembunyi
Bagian selanjutnya kembali menegaskan kehadiran kaum miskin yang tak terhindarkan, bahkan memasuki ruang privat dan mimpi ("Orang-orang miskin di jalan masuk ke dalam tidur malammu... Mereka tak bisa kamu hindarkan").
Citra "perempuan-perempuan bunga raya menyuapi putra-putramu" bisa diinterpretasikan sebagai personifikasi kemiskinan yang hadir dalam kehidupan sehari-hari.
Penyair kemudian memperingatkan bahwa jumlah kaum miskin tidak bisa disangkal atau diabaikan ("Jumlah mereka tak bisa kamu mistik jadi nol"), dan keberadaan mereka akan menjadi pertanyaan moral dan ideologis yang menantang ("Mereka akan menjadi pertanyaan yang mencegat ideologimu").
Bahkan, kondisi fisik dan penyakit yang diderita kaum miskin ("Gigi mereka yang kuning akan meringis di muka agamamu. Kuman-kuman sipilis dan tbc dari gang-gang gelap akan hinggap di gorden presidenan di buku programa gedung kesenian") menjadi simbol konkret dari ketidakadilan sosial yang meracuni seluruh lapisan masyarakat.
d. Akar Sejarah dan Potensi Kekerasan Kaum Miskin
Akhir puisi menggambarkan kaum miskin sebagai kekuatan yang abadi sepanjang sejarah ("Orang-orang miskin berbaris sepanjang sejarah, bagai udara panas yang selalu ada, bagai gerimis yang selalu membayang").
Penyair memberikan peringatan terakhir tentang potensi kekerasan yang bisa muncul dari keputusasaan ("Orang-orang miskin mengangkat pisau-pisau tertuju ke dada kita, atau ke dada mereka sendiri").
Akhirnya, puisi ditutup dengan seruan untuk mengingat kemanusiaan universal dan asal-usul yang sama ("O, kenangkanlah: orang-orang miskin juga berasal dari kemah Ibrahim"), menyiratkan bahwa kemiskinan adalah masalah kemanusiaan yang mendasar dan menuntut empati serta tindakan nyata. (MG Ni Komang Putri Sawitri Ratna Duhita)