Ekonom UGM Dorong Pemerintah Lanjutkan Program Transmigrasi, Ini Alasannya

Penulis: Hanif Suryo
Editor: Hari Susmayanti
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Dosen Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM, Muhammad Ryan Sanjaya, S.E., M.Int.Dev.Ec., Ph.D.,

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Meningkatnya kepadatan penduduk di Pulau Jawa telah menciptakan tantangan serius bagi pemerintah Indonesia.

Dalam konteks ini, program transmigrasi muncul sebagai salah satu solusi yang dapat membantu meredistribusi populasi sekaligus membuka peluang ekonomi baru di daerah tujuan.

Muhammad Ryan Sanjaya, Dosen Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM, menekankan pentingnya program ini dalam mengatasi isu-isu demografis yang kompleks.  

"Dengan mengembangkan wilayah-wilayah di luar Jawa, kita dapat mengurangi tekanan pada pulau yang sudah padat penduduk," kata Muhammad Ryan Sanjaya.

Selain itu, program transmigrasi juga dapat membantu mengurangi kesenjangan pembangunan antara Pulau Jawa dan daerah lainnya.

Ryan menambahkan bahwa keberhasilan program transmigrasi sangat bergantung pada kualitas program itu sendiri, termasuk persiapan yang matang, pendampingan yang intensif, serta dukungan dari pemerintah dan masyarakat setempat.

Sebagaimana diketahui, program transmigrasi di Indonesia memiliki sejarah panjang, dimulai sejak era pra-kemerdekaan. Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, khususnya antara tahun 1970-an dan 1980-an, program ini mengalami ekspansi yang signifikan dengan memindahkan ratusan ribu hingga jutaan penduduk, terutama dari Pulau Jawa ke wilayah luar.

Namun, di balik upaya ini, terdapat berbagai tantangan yang perlu dihadapi.

Ryan mengingatkan bahwa potensi polarisasi antara penduduk asli dan para transmigran bisa menjadi isu yang tidak boleh diabaikan.

"Polarisasi dapat terjadi ketika kelompok tertentu mendominasi, yang berpotensi menimbulkan ketegangan dengan masyarakat lokal," ungkapnya.

 

Hal ini menunjukkan bahwa integrasi sosial menjadi salah satu aspek penting dalam keberhasilan program transmigrasi.

Di samping itu, kesenjangan sosial juga menjadi perhatian. Pendatang sering kali lebih berhasil dalam aspek ekonomi, yang dapat memicu kecemburuan di kalangan penduduk setempat.

"Meskipun ada kemungkinan terciptanya kompetisi positif, ketidakadilan ini bisa menjadi pemicu konflik," jelas Ryan. Situasi ini menuntut kesiapan para transmigran untuk beradaptasi dengan lingkungan baru dan berkomitmen pada pembangunan komunitas setempat.

Dengan syarat utama bahwa transmigran harus sudah menikah, Ryan menekankan pentingnya komitmen dari pemerintah untuk memastikan bahwa para transmigran tidak hanya mencari keuntungan sesaat.

"Kita perlu memastikan mereka berinvestasi dalam komunitas baru, bukan hanya hadir tanpa jejak," tambahnya.

Meski demikian, beberapa kajian menunjukkan keberhasilan program transmigrasi dalam beberapa aspek. Beberapa daerah bahkan mencatat penurunan tingkat konflik meski proses menuju keberhasilan tersebut tidak selalu mudah.

"Banyak yang beranggapan transmigrasi akan memicu konflik, tetapi di banyak tempat, justru ditemukan bahwa tingkat konflik relatif rendah," ungkap Ryan.

Pentingnya pelaksanaan program transmigrasi yang berkelanjutan tidak bisa dipandang sebelah mata. Ryan menekankan perlunya memperkuat hubungan antara transmigran dan masyarakat lokal.

Kolaborasi ini diharapkan dapat membawa dampak positif bagi ekonomi setempat, terutama di daerah yang masih memiliki lahan kosong dan minim pengembangan sumber daya manusia.

Dengan demikian, transmigrasi tidak hanya menjadi solusi untuk redistribusi penduduk, tetapi juga berpotensi menciptakan peluang baru bagi kesejahteraan bersama.

Program ini diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan menciptakan masyarakat yang lebih sejahtera, mengurangi kesenjangan pembangunan di seluruh Indonesia. (HAN)
 

Berita Terkini