TRIBUNJOGJA.COM, MAGELANG - Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kabupaten Magelang menggelar diskusi bertajuk Konstruksi Media tentang Kasus Kekerasan Seksual pada Perempuan di gedung DPRD Magelang, Rabu (26/6/2024).
Diskusi yang dihadiri anggota PWI Kabupaten Magelang dan Kota Magelang bertujuan meningkatkan kapasitas pekerja media.
Sehingga mampu menghasilkan produk media yang informatif dan berpihak pada kepentingan korban.
Dalam diskusi tersebut pekerja media didorong agar memiliki pemahaman soal perspektif perlindungan terhadap korban saat meliput kasus kekerasan seksual.
Baca juga: Mandiri Jogja Marathon 2024, Semangat Keberlanjutan, Ekowisata, dan Ekonomi Lokal
Dengan demikian dapat menghindari pemberitaan diskriminatif yang merugaikan korban.
Dosen Ilmu Hukum Universitas Tidar Magelang, Triantono mengatakan media memiliki peran strategis mendorong pengungkapan kasus sehingga mendorong aparat hukum untuk melakukan penyelidikan.
Pada beberapa kasus kekerasan seksual, aparat hukum biasanya segera merespon kasus jika sudah diungkap oleh media dan mendapat perhatian publik.
Tapi Triantono mengingatkan bahwa dalam meliput kasus kekerasan terhadap perempuan, media perlu membekali diri dengan perspektif perindungan korban.
“Media massa harus memperhatikan penggunaan istilah dan narasi berita agar tidak melakukan pelabelan, diskriminatif,dan victim blaming atau menyalahkan korban,” kata Triantono.
Pegiat hak perempuan dan anak ini menjelaskan, kebanyakan pemberitaan kekerasan seksual terhadap perempuan belum mencerminkan keberpihakan pada korban.
Pelanggaran yang sering terjadi antara lain mencantumkan identitas korban secara jelas, serta penggunaan kalimat yang memberikan label negatif.
Penggunaan kata “cantik”, “janda muda”, dan “seksi” dalam pemberitaan kasus kekerasan seksual memberikan kesan negatif pada korban perempuan.
Penggunaan istilah rudapaksa, digagahi, atau digilir untuk melabel kasus pemerkosaan, menunjukkan tidak pekanya pekerja media pada hak perlindungan korban.
“Kapasitas jurnalis tidak sama. Kekuatan menarasikan kasus sesuai perspektif perlindungan korban juga minim, sehingga (malah) menyudutkan korban," katanya.
Narasi berita yang menggambarkan korban pemerkosaan mengenakan rok mini, pakaian ketat, atau berkeliaran pada malam hari, menimbulkan persespsi bahwa “wajar” perempuan menjadi korban kekerasan seksual (victim blaming).
Ketua LSM Sahabat Perempuan, Putri Andani Prabasasi menjelaskan, mendorong pengungkapan kasus kekerasan terhadap perempuan melalui pemberitaan, harus dibarengi dengan upaya serius melindungi korban.
Ini untuk mencegah perempuan menjadi korban dua kali akibat kekerasan yang dialami dan pemberitaan yang menyudutkan.
Dalam beberapa kasus penanganan kekerasan seksual yang disorot media, justru menyebabkan perkara gagal ditangani secara hukum. Terbukanya identitas, menyebabkan korban mendapat tekanan dari banyak pihak.
“Identitas bisa diungkap, ketika pelaku sudah ditetapkan sebagai tersangka. Pastikan korban (sudah) mendapatkan perlindungan. Jika identitas diungkap saat baru pengaduan, dampaknya pada korban,” ujar Putri Andani Prabasasi. (tro)