Laporan Reporter Tribun Jogja, Christi Mahatma Wardhani
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Pernikahan dini masih banyak terjadi di DIY.
Hal itu dibuktikan dengan tingginya permintaan surat dispensasi pernikahan.
Kepala DP3AP2 DIY, Erlina Hidayati Sumardi mengatakan tahun 2022 sudah ada 649 dispensasi pernikahan yang dikeluarkan.
Sementara pada tahun 2023, hingga Juni lalu sudah ada 196 laki-laki dan 503 perempuan yang mengajukan dispensasi pernikahan.
"Dulu untuk batas menikah untuk anak perempuan itu 16 tahun dan laki-laki 19 tahun. Kemudian ada pendewasaan usia perkawinan, dimana batas minimal untuk menikah baik laki-laki dan perempuan itu 19 tahun. Kalau menikah di bawah 19 tahun, itu namanya pernikahan dini, dan harus mengajukan dispensasi perkawinan, juga rekomendasi dari dinas PPA," katanya dalam Family Talk, Rabu (04/10/2023).
"BKKBN sudah melakukan kajian, malah idealnya untuk menikah itu perempuan minimal 21 tahun dan laki-laki 25 tahu. Karena dianggap sudah siap, sudah matang untuk memasuki dunia berkeluarga. Tidak hanya kematangan reproduksi, tapi juga hal lain, kesiapan ekonomi, pendidikan, siap mandiri, sosial psikologi dan emosionalnya," sambungnya.
Erlina mengungkapkan mayoritas penyebab pernikahan dini adalah kehamilan yang tidak diinginkan.
Namun ada pula orangtua yang khawatir melakukan zina, sehingga segera menikahkan anaknya. Dan masih banyak faktor penyebab lainnya.
Ia menyebut banyak dampak negatif dari pernikahan dini.
Dari sisi kesehatan, anak yang menikah di bawah 19 tahun alat reproduksinya belum matang.
Organ reproduksi yang belum matang tentu saja tidak siap untuk tumbuh kembang janin.
Dampaknya, bayi bisa lahir dengan bobot rendah, prematur, bahkan stunting.
Alat reproduksi yang belum matang juga tidak siap untuk melakukan hubungan seksual.
Hal itu dapat berakibat pada kesehatan organ reproduksi, misalnya kanker serviks.
Menikah usia dini juga membuat pendidikan terhambat, sehingga mengakibatkan kualitas SDM rendah.
Tingkat pendidikan yang rendah tentu akan berpengaruh saat mencari pekerjaan, yang berakibat pada upah rendah.
Hal ini dapat berdampak pada kemiskinan.
"Secara psikologis juga belum cukup matang. Nanti sebagai pasangan, ada selisih sedikit, konflik, cepat marah. Bisa berujung pada kekerasan. Sehingga akan berpengaruh dalam relasi antara suami istri. Dampak lainnya bisa perceraian. Angka perceraian di DIY cukup besar. Tahun 2021 ada 5.942 perceraian, tahun 2022 ada 5.573 perceraian. Akibatnya nanti ke anak," ungkapnya.
Untuk itu, pihaknya gencar melakukan sosialisasi edukasi kepada masyarakat, termasuk ke sekolah-sekolah.
Banyak media telah digunakan, baik media elektronik maupun media sosialisasi telah digunakan untuk memberikan edukasi pada masyarakat.
Ia pun mengimbau masyarakat agar menikah di usia yang matang dan siap untuk berkeluarga.
Sementara itu, Anggota Komisi D DPRD DIY, Syukron Arif Muttaqin menilai jika penyebab pernikahan dini mayoritas karena kehamilan yang tidak diinginkan, artinya anak-anak tidak menghendaki menikah usia dini.
Namun ada keadaan yang memaksa, sehingga harus menikah pada usia dini.
Peran orangtua sangat penting agar anaknya tidak kebablasan dalam bergaul.
Menurut dia, orangtua harus terus mengawal perkembangan putra-putrinya, terutama pada usia remaja.
"Peran orangtua sangat kuat, masing-masing orangtua punya cara sendiri untuk mengawasi anaknya. Ya gunakan cara masing-masing untuk mengawasi anaknya, jangan sampai kebablasan. Bangun keterbukaan dengan anak, sehingga anak mau cerita. Kalau punya teman ya dikenalkan ke orangtua, sehingga ada proteksi," terangnya.
"Tetapi ini PR kita bersama. Orangtua punya peran penting, tetapi juga perlu peran dari sekolah, dan lingkungan. Kita nggak bisa berpangku tangan," lanjutnya.
Ia pun mengusulkan agar sosialisasi pendewasaan usia pernikahan dilakukan dengan gara-gara kreatif.
Sehingga lebih mudah diterima oleh generasi muda.
Cara kreatif bisa dilakukan dengan berkolaborasi dengan musisi untuk menyisipkan pesan-pesan pendewasaan usia pernikahan.
Cara lainnya juga bisa dengan menggandeng sosok-sosok yang kini digandrungi anak muda untuk menjadi agen kampanye.
"Sehingga menggunakan strategi yang berbeda, dengan cara-cara yang mereka senangi, dan dengan media-media yang saat ini digemari,"imbuhnya. (*)