TRIBUNJOGJA.COM, KEDIRI - Sejak puluhan tahun silam, warga di Dusun Setono, Desa Tales, Kecamatan Ngadiluwih, Kabupaten Kediri masih mempertahankan larangan aparat atau priyayi untuk masuk ke wilayahnya.
Aturan yang mengatur aparat atau priyayi masuk ke Dusun Setono tersebut dibuat di depan gang yang menuju ke wilayah tersebut.
"Priyayi BB Aparatur pemerintah/TNI/ Polri Dilarang Masuk," demikian yang tertulis dalam papan yang ditempatkan di depan gang.
Warga percaya, aparat atau priyayi yang nekat masuk ke wilayahnya akan mendapatkan konsekuensi akan kehilangan jabatan atau mengalami sakit.
Meski saat ini sudah masuk era modern, namun warga masih menaati aturan yang sudah dijalankan secara turun temurun tersebut.
Dikutip dari Tribunnews.com, Kepala Desa Tales Slamet Raharjo larangan pejabat atau priyayi masuk ke Dusun Setono ini merupakan sebuah kearifan lokal yang masih tetap dipertahankan warga.
"Pejabat yang melanggarnya dipercaya akan lengser atau terkena musibah," ujar Slamet Raharjo seperti dilansir Tribunnews.com yang mengutip pemberitaan Kompas.com.
Slamet mengungkapkan, larangan aparat atau priyayi masuk ke Dusun Setono ini hanya berlaku bagi aparat atau pejabat tinggi saja.
Seperti golongan pemerintahan setingkat camat ke atas, golongan keamanan mulai dari kepala kepolisian sektor (Kapolsek) ke atas, serta komandan koramil ke atas untuk militer.
Sementara untuk jabatan kades seperti yang diembannya, larangan itu tidak berlaku.
"Kalau saya kan masih di bawah camat, jadi enggak apa-apa," ungkapnya.
Berdasarkan cerita yang diperolehnya, kepercayaan masyarakat soal larangan bagi pejabat atau priyayi masuk ke Dusun Setono ini bermula dari kisah seorang putri bernama Ambarsari yang hendak dipinang oleh seorang pejabat.
Ambarsari yang menolak lalu melarikan diri dan bersembunyi di dusun itu.
Untuk melindungi diri, Ambarsari berujar bahwa siapa pun pejabat yang masuk kawasan dusun akan menerima konsekuensi, salah satunya perihal karirnya.
Sejak saat itu, warga akhirnya mempertahankan larangan itu hingga saat ini.
Sementara itu Sekretaris Kecamatan Ngadiluwih Nadlirin mengatakan kearifan lokal yang dipegang teguh oleh warga di Dusun Setono harus tetap dihormati.
Meski larangan itu masih dilaksanakan, Nadlirin memastikan layanan pemerintahan di wilayah tersebut berjalan normal.
Pemerintah kecamatan melakukan penyesesuaian layanan agar tidak melanggar kearifan lokal tersebut.
"Aktivitas dan layanan tetap berjalan. Tinggal menyesuaikan saja," ujar Nadlirin, Rabu (23/8/2023).
Dia mencontohkan, penyelesaian yakni dengan mendelegasikan tugas-tugas camat yang berhubungan dengan wilayah tersebut kepada pegawai di bawahnya.
Sedangkan koordinasi bisa dilakukan di balai desa.
Pihaknya tetap menghormati kepercayaan masyarakat.
Dia menilai hal itu sebagai salah satu kekayaan tradisi dan kearifan lokal yang harus tetap dipelihara.
"Itu sekaligus sebagai pengingat bagi kita semua abdi negara agar senantiasa membawa diri dengan baik dan menjauhi sikap-sikap tercela." pungkasnya.
Baca juga: Viral Curhatan Bu Tejo Keluhkan Sampah: Bukan Antre Soto atau Ketan Lopis, Malah Antre Buang Sampah
Mitos Jika Langgar Larangan
Dusun Setono di Desa Tales, Kecamatan Ngadiluwih, melarang pejabat memasuki wilayah dusunnya.
Masyarakatnya juga percaya jika aturan itu dilanggar maka akan ada konsekuensinya.
Biasanya adalah kehilangan jabatan atau jatuh sakit.
Kepala Bidang Purbakala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kediri Eko Priyatna mengatakan, larangan itu sudah dikenal sejak zaman Belanda, yaitu dengan istilah verboden voor binnenlands bestuur atau larangan masuk bagi pegawai negeri.
"Jadi di wilayah itu para pegawai pejabat dilarang masuk," ujar Eko Priyatna kepada Kompas.com, Rabu (23/8/2023).
Selain di Dusun Setono yang ada di Desa Tales, aturan seperti itu rupanya juga berlaku di wilayah lainnya di Kabupaten Kediri, yakni di Dusun Gempol Garut yang ada di Desa Toyoresmi, Kecamatan Ngasem.
Latar belakang terbitnya aturan di dua tempat itu berbeda.
Pada Dusun Setono dilatarbelakangi oleh kisah asmara, yaitu penolakan seorang putri terhadap priyayi yang meminangnya.
Putri yang konon bernama Ambarsari itu kemudian melarikan diri dan bersembunyi di wilayah Setono.
Untuk melindungi tempat persembunyiannya, dia berujar bahwa siapapun priyayi yang masuk wilayah persembunyiannya akan lengser dari jabatannya.
Sedangkan di Dusun Gempol Garut, Eko Priyatna mengatakan, pelarangannya dipicu oleh pembangkangan warga terhadap pemerintahan penjajahan Belanda.
Masyarakat saat itu menolak aturan-aturan yang dibuat Belanda, misalnya soal tarikan pajak atau hal lainnya yang memberatkan warga.
"(Aturan di) Toyoresmi sebagai wujud penolakan atas pemerintahan yang berbau Belanda. Masyarakat tidak setuju, sehingga ada ujaran pejabat masuk sana akan lengser," lanjutnya.
Cerita yang melatarbelakangi aturan tersebut, menurut Eko, tidak masuk pada ranah sejarah melainkan cenderung mitos.
Atau tepatnya gugon tuhon, yakni suatu tradisi yang diingat dan dipertahankan di masyarakat setempat secara lisan.
"Bukan ramah sejarah, lebih cenderung ke mitos atau bahasa Jawanya gugon tuhon," kata Eko.
Gugon tuhon itu sendiri, menurutnya, merupakan khasanah budaya yang keberadaannya dilindungi oleh regulasi, yaitu Undang-undang Nomor 15 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Terhadap dua gugon tuhon yang ada di Kabupaten Kediri itu, pihaknya telah memasukkannya sebagai Obyek Pemajuan Kebudayaan (OPK) dan telah terdata pada Pokok-pokok Pemajuan Kebudayaan Daerah (PPKD).
Pandangan Ahli
Dalam papan tersebut tertulis "Priyayi BB" juga dilarang masuk.
Kepala Bidang Purbakala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kediri Eko Priyatna mengatakan, istilah Binnenlands Bestuur atau biasa disingkat BB mempunyai arti birokasi pemerintahan dalam negeri pada masa kolonial Belanda yang terdiri atas orang-orang Eropa.
Sehingga priyayi BB pada larangan itu bisa diartikan sebagai golongan-golongan ningrat yang berasal dari status kepegawaiannya di pemerintahan.
Eko membenarkan bahwa wilayah Dusun Setono sejak dulu memang kawasan larangan masuk bagi pegawai negeri.
"Itu sejak jaman Belanda. Disebut Werboden Voor Binnenlands Bestuur atau larangan masuk bagi pegawai negeri," ujar Eko Priyatna, Rabu (23/8/2023).
Namun perihal kisah yang melatarbelakangi larangan itu, menurutnya, lebih cenderung pada mitos.
Yakni suatu tradisi yang diingat dan dipertahankan di masyarakat setempat.
Meski bukan bagian dari sejarah, kata Eko, tradisi itu juga bagian dari hal yang dilindungi oleh perundangan, yakni Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan.
"Dan tradisi di Dusun Setono itu sudah kami masukkan pada data Pokok-pokok Pemajuan Kebudayaan Daerah (PPKD)," kata dia.
Selama ini Dusun Setono juga dikenal sebagai kawasan wisata religi.
Banyak warga mengunjungi makam dan petilasan Putri Ambarsari yang ada di lokasi tersebut. (*)