TRIBUNJOGJA.COM - Budayawan Indonesia, Emha Ainun Nadjib, atau yang akrab disapa Cak Nun dikabarkan sedang sakit dan kini dirawat di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Sardjito Yogyakarta.
Diwartakan Tribunjogja.com sebelumnya, Cak Nun disebut menderita kelelahan dan butuh perawatan dan istirahat total.
Mengenal lebih dekat sosok Cak Nun, budayawan yang juga merupakan ayah dari musisi Noe, anggota band Letto, berikut biodata Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun.
Biodata Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun
Dirangkum Tribunjogja.com dari Wikipedia Indonesia, inilah biodata dan profil Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun.
Nama lengkap : Muhammad Ainun Nadjib
Nama lain : Emha Ainun Nadjib, Cak Nun, Mbah Nun, Kiai Kanjeng
Tempat, tanggal lahir : Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953
Usia : 70 tahun (per 2023)
Alamat : Kapanewon Kasihan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta
Istri Cak Nun :
- Neneng Suryaningsih (menikah pada 1978, cerai pada 1985)
- Novia Kolopaking (menikah pada 1997)
Anak Cak Nun :
- Sabrang Mowo Damar Panuluh (Noe Letto)
- Aqiela Fadia Haya
- Anayallah Rampak Mayesha
- Jembar Tahta Aunillah
- Ainayya Al-Fatihah
Situs web resmi Cak Nun : https://www.caknun.com/
Instagram Cak Nun :
YouTube Cak Nun : https://www.youtube.com/@caknundotcom
Baca juga: BREAKING NEWS : Cak Nun Dirawat di RSUP Dr Sardjito
Baca juga: Novia Kolopaking Istri Cak Nun Benarkan Suaminya Dirawat di RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta
Baca juga: Kiprah Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun di Dunia Sastra
Kabar Cak Nun Sakit dan dirawat di RSUP Dr. Sardjito
Dikutip dari Tribunjogja.com, kabar Cak Nun sakit dikonfirmasikan Gatot Jatayu, orang kepercayaan keluarga Cak Nun.
“Namung kangge istirahat (hanya diminta untuk istirahat karena) kecapekan,” tutur Gatot Jatayu saat dihubungi Tribunjogja.com, Kamis (6/7/2023).
Berdasarkan keterangan Gatot, Cak Nun dibawa ke rumah sakit pada Kamis (6/7/2023) pagi.
Kini, Cak Nun dirawat di RSUP Dr. Sardjito.
Saat dihubungi, Gatot enggan menjelaskan lebih detail perihal sakit yang diderita Cak Nun.
Informasi lebih lanjut tentang sakitnya Cak Nun terus ditelusuri ke berbagai pihak yang dekat dengan keluarga budayawan tersebut.
Perjalanan karier Cak Nun di dunia sastra
Dirangkum Tribunjogja.com dari Gramedia.com, awal perjalanannya dalam kepenulisan sudah dimulai sejak akhir tahun 1969.
Saat itu, Cak Nun menginjak usia 16 tahun. Ia meninggalkan pendidikan pesantrennya dan melanjutkan pendidikannya di SMA Muhammadiyah I Yogyakarta.
Kemudian, pada tahun 1975, karya-karya Cak Nun dibukukan.
Tulisan-tulisannya telah dibukukan dalam berbagai jenis karya sastra seperti puisi, cerpen, naskah drama, esai, quotes, transkrip, hingga wawancara.
Pada kurun waktu tahun 1980 - 1990, buku Cak Nun masih terus diterbitkan karena dinilai masih kontekstual dengan situasi dan kondisi kehidupan di Indonesia.
Karya-karyanya tersebut banyak terbit dan tersebar di majalah, seperti Tempo, Basis, Horison, Tifa Sastra, Mimbar, Pandji Masjarakat, Budaja Djaja, Dewan Sastera (Malaysia), dan Zaman.
Tak hanya di majalah, karya sastra Cak Nun juga terbit sebagai rubrik kolom dan tersebar di berbagai surat kabar, seperti Republika, Sinar Harapan, Kompas, Berita Buana, Kedaulatan Rakyat, Berita Nasional, Masa Kini, Berita Yudha, Haluan, Suara Karya, Suara Pembaruan, dan Surabaya Post.
Kumpulan karya Cak Nun menghasilkan buku berupa kumpulan esai. Buku ini masuk ke dalam kategori sosial dan budaya.
Tahun 1970-an
Cak Nun bergabung dengan kelompok diskusi dan studi sastra pada tahun 1970 yang dipimpin oleh Umbu Landu Paranggi, Persada Studi Klub (PSK), di bawah Mingguan Pelopor Yogyakarta.
Kegiatannya dimulai ketika Cak Nun menulis puisi di harian Masa Kini dan Berita Nasional.
Tak hanya itu, Cak Nun juga menulis puisi di Majalah Muhibbah yang mana merupakan majalah terbitan UII Yogyakarta dan menulis cerpen di Minggu Pagi dan MIDI.
Dari perjalanannya tersebut, Cak Nun kemudian banyak menerbitkan puisinya di media massa terbitan Jakarta seperti Horison.
Ketidakpuasannya membuat Cak Nun menghasilkan sajak dan cerpen ringan yang kemudian berlanjut menulis esai, kritik drama, resensi film, dan pembahasan mengenai pameran lukisan.
Cak Nun menggunakan nama samaran Joko Umbaran atau Kusuma Tedja dalam tulisan-tulisannya.
Pada tahun 1975, Cak Nun mengikuti sebuah Festival Puisi 1975 di Jakarta dan diundang dalam Festival Puisi Asean 1978.
Cak Nun sempat menjadi redaktur kebudayaan di harian Masa Kini sampai pada tahun 1977 dan menjadi pemimpin Teater Dinasti, Yogyakarta.
Selain itu, Cak Nun juga pernah menjabat sebagai Sekretaris Dewan Kesenian Yogyakarta.
Tahun 1980-an
Cak Nun pernah mengikuti lokakarya teater di Filipina pada tahun 1980, International Writing Program di Lowa University Amerika Serikat pada tahun 1984.
Lebih lanjut, Cak Nun juga berpartisipasi dalam Festival Penyair Internasional di Rotterdam Belanda pada tahun 1984.
Ia juga ikut Festival Horizonte >III di Berlin, Jerman pada tahun 1985, dan mengikuti berbagai pertemuan sastra dan kebudayaan sejenis.
Tahun 1990-an
Pada 1995, Cak Nun membentuk sebuah komunitas yang diberi nama “Komunitas Padhang Mbulan”.
Komunitas tersebut dibentuk untuk membentuk sebuah kelompok pengajar.
Cak Nun juga berkiprah dalam Yayasan Ababil di Yogyakarta yang menyediakan tenaga advokasi pengembangan masyarakat dan penciptaan tenaga kerja. (Tribunjogja.com/ANR)