Sumbu Filosofi Yogyakarta

Arti Pohon Beringin Bagi Keraton Yogyakarta, Masing-masing Pohon Punya Nama dan Filosofi Sendiri

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Arti Pohon Beringin Bagi Keraton Yogyakarta, Masing-masing Pohon Punya Nama dan Filosofi Sendiri

TRIBUNJOGJA.COM - Jika Tribunners pernah berkunjung ke Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pasti melihat banyak pohon beringin tumbuh di sekitar Keraton Yogyakarta.

Hampir banyak pohon beringin yang memberikan keteduhan di setiap sudut kota pelajar ini.

Namun, apakah dari Tribunners bertanya-tanya kenapa yang ditanam di sekitar Keraton Yogyakarta ini semua pohon beringin? Apakah ada kisah mistis dari pohon beringin ini?

Dilansir Tribunjogja.com dari laman kratonjogja.id, pohon beringin atau Ficus Benjamina memiliki posisi istimewa bagi Kesultanan Yogyakarta.

Bagi Kesultanan Yogyakarta, semakin besar pohon beringin dan semakin rimbun pohon beringin ini memiliki makna yang emdnalam.

Sebagai tanaman kerajaan, pohon beringin yang besar dan rimbun melambangkan pengayoman raja kepada rakyatnya.

Ada puluhan pohon beringin yang ditanam di kawasan Keraton Yogyakarta, beberapa di antaranya bahkan memiliki nama.

Arti pohon beringin bagi Keraton Yogyakarta

Alun-alun Utara (kebudayaan.kemdikbud.go.id)

Pohon beringin di sekitar Keraton Yogyakarta bukan sekadar hiasan atau mempercantik tata ruang kota.

Sebagian besar masyarakat Jawa memandang pohon beringin sebagai pohon hayat.


Di mana pohon beringin ini bisa memberikan hayat atau kehidupan untuk manusia sebagai perlindungan dan pengayoman.

Sering kali pohon beringin besar dan rimbun dianggap menimbulkan rasa gentar dan hormat.

Sebenarnya, semenjak masa Mataram Islam, pohon beringin ini sudah menjadi makna mendalam sebagai bentuk penghormatan dan identik dengan kerajaan yang menjadi cikal bakal Kesultanan Yogyakarta.

Baca juga: Sejarah Alun-alun Utara, Pernah Jadi Tempat Pengaduan Warga kepada Sang Raja

Baca juga: Sejarah Alun-Alun Selatan Yogyakarta, Miliki 5 Jalan Keluar Lambang 5 Indra Manusia

Pohon beringin termasuk dalam barang yang diangkut pada proses perpindahan keraton Mataram dari Kartasura menuju Surakarta.

Rombongan pengangkut yang membawa empat buah pohon beringin pusaka berjalan di depan, diikuti oleh rombongan pengangkut lainnya. Keempat pohon ini kemudian ditanam kembali di ibukota yang baru.

Bahkan pada masyarakat Jawa masa lalu, dikenal frasa "neres ringin kurung". Frasa yang secara harfiah berarti "menguliti kulit pohon beringin kurung" tersebut dimaknai sebagai "memberontak terhadap kekuasaan raja".

Pandangan seperti ini tidak dapat dilepaskan dari bentuk dan sifat pohon beringin.

Pohon beringin memiliki sifat-sifat yang dihubungkan dengan kebesaran Keraton Yogyakarta.

Ukurannya besar, tumbuh disegala musim, berumur panjang, dan akar-akarnya dalam dan kuat mencengkram tanah, memiliki kemampuan mengikat air dengan baik.

Daun-daunnya kecil rimbun memberi keteduhan dan pasokan oksigen dalam jumlah besar, memberi rasa aman bagi yang berteduh di bawahnya.

Filosofi dan nama-nama pohon beringin di Keraton Yogyakarta

Foto penampilan terbaru Alun-alun Utara Yogyakarta (Tribunjogja.com/Hari Susmayanti)

Pohon beringin yang berada di lingkungan Keraton Yogyakarta termasuk di Alun-alun Utara dan Alun-alun Selatan ini sebenarnya tidak asal di tanam.

Tak hanya sekadar pohon saja, pohon beringin ini ternyata diberikan nama setiap benihnya.

Untuk di daerah Keraton Yogyakarta ini terdapat total 64 pohon beringin yang mengelilingi Alun-alun Utara Yogyakarta, termasuk pohon beringin yang ditanam di dalam area alun-alun.

Angka tersebut merupakan simbol usia Nabi Muhammad SAW saat meninggal dunia (dalam perhitungan Jawa).

Di tengah Alun-Alun Utara, ditanam sepasang pohon beringin dan diberi pagar berbentuk persegi, keduanya juga disebut sebagai ringin kurung yang berarti beringin yang dikurung.

Keberadaan sepasang ringin kurung ini tepat di tengah alun-alun dan mengapit sumbu filosofi, yakni garis imajiner yang membujur antara utara dan selatan, menjadi poros bagi tata ruang Keraton Yogyakarta.

Empat di antara pohon beringin yang mengelilingi alun-alun ini juga memiliki nama.

Dua di utara mengapit Jalan Pangurakan, dua di selatan di depan Bangsal Pagelaran.

Terdapat beberapa versi dari nama keempat pohon beringin tersebut.

Beringin yang di sisi barat dikenal sebagai Kiai Dewadaru, sedang yang di sisi timur dikenal sebagai Kiai Janadaru.

Saat ini, dua pohon yang mengapit Jalan Pangurakan dikenal dengan nama Kiai Wok dan Kiai Jenggot. Kiai Wok berada di sisi barat.

Kemudian Kiai Jenggot berada di sisi timur, namanya berarti rambut yang tumbuh di janggut.

Dua pohon yang berada di depan Bangsal Pagelaran dikenal dengan Agung (kadang hanya disebut Gung) dan Binatur.

Agung yang berada di sisi timur melambangkan priyayi atau penguasa.

Lalu, Binatur yang berada di sisi barat melambangkan kawula atau rakyat.

Nama-nama pohon bringin di Alun-alun Utara Yogyakarta

1. Kiai Dewadaru

Posisi Kiai Dewadaru atau Kiai Dewatadaru ini berada di tengah-tengah Alun-alun Utara Yogyakarta.

Bila ditarik dari Sumbu Filosofi Yogyakarta, Kiai Dewadaru ini berada di sebelah barat sumbu, di sisi yang sama dengan lokasi Masjid Gedhe yang berfungsi sebagai pusat keagamaan.

Kiai Dewadaru berasal dari kata dewa dan daru. Dewa bermakna sifat-sifat ketuhanan sedang daru berarti cahaya, sehingga Dewadaru dapat diartikan sebagai cahaya ketuhanan.

Bibit Kiai Dewadaru berasal dari Majapahit sedang bibit Kiai Janadaru berasal dari Pajajaran.

Garis keturunan ini terus dijaga tiap kali ada pohon yang rubuh atau mati.

Kiai Dewadaru pernah diganti pada tahun 1988, saat beringin tersebut rubuh menjelang wafatnya Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

2. Kiai Janadaru


Kiai Janadaru ditempatkan di sebelah timur sumbu filosofi, di sisi yang sama dengan lokasi seperti Pasar Gedhe (Pasar Beringharjo) yang berfungsi sebagai pusat ekonomi.

Kiai Janadaru bersandingan dengan Kiai Dewadaru karena agama dipandang dalam hubungannya dengan sifat-sifat ketuhanan, sedang ekonomi dipandang dalam hubungannya dengan sifat-sifat kemanusiaan.

Oleh karena itu, keseimbangan dan keserasian hubungan diantara keduanya merupakan konsep Manunggaling Kawula Gusti, yaitu persatuan antara Raja dan rakyat serta kedekatan hubungan antara manusia dan Tuhan.

Kiai Janadaru pernah terbakar dan ditanam kembali karena tersambar petir pada tahun 1961.

Sebelumnya, Kiai Janadaru juga pernah diganti pada tahun 1926.

Peristiwa rubuh dan digantinya Kiai Janadaru pada tahun 1926 tersebut dikisahkan cukup rinci pada Serat Salokapatra.

Kiai Janadaru yang sudah sakit selama sekitar dua tahun akhirnya rubuh.

Seluruh bagian pohon yang rubuh kemudian dikuburkan tidak jauh dari tempat semula. Kiai Janadaru lebih dikenal dengan nama Kiai Jayadaru.

Ada juga yang menyebutnya Kiai Wijayadaru.

Sebagai pusaka Keraton, keduanya turut menjalani upacara Jamasan tiap bulan Sura. 

Jamasan merupakan upacara di keraton untuk membersihkan dan merawat benda-benda pusaka.

Kiai Dewadaru dan Kiai Janadaru dijamas dengan cara dipangkas sehingga tajuknya berbentuk bundar seperti payung.

Bentuk payung ini melambangkan pengayoman yang diberikan keraton pada rakyat Yogyakarta.

Baca juga: Apa yang Dimaksud dengan Sumbu Filosofi Yogyakarta? Ternyata Asal Usulnya dari Sejarah Abad 18

3. Kiai Wok

Kiai Wok berdiri di sisi barat. Namanya berasal dari kata brewok yang berarti rambut yang tumbuh di dagu dan pipi belakang.

Pohon beringin ini letaknya di sebelah barat Sumbu Filosofi Yogyakarta, sama seperti Kiai Dewadaru dan Masjid Gedhe Kauman.

Kiai Wok berpasangan dengan Kiai Jenggot yang berada di sisi timur.

4. Kiai Jenggot

Pohon beringin yang diberi naman Kiai Jenggot ini berada di sisi timur, namanya berarti rambut yang tumbuh di janggut.

Kiai Jenggot ini berada di barusan timur sejajar dengan Kiai Janadaru, Pasar Bringharjo di sisi Jalan Ibu Ruswo.

5. Agung

Dua pohon yang berada di depan Bangsal Pagelaran dikenal dengan Agung (kadang hanya disebut Gung).

Agung yang berada di sisi timur melambangkan priyayi atau penguasa.

6. Binatur



Sementara, Biantur merupakan pasangan dari Agung yang diletakan di sisi barat.

Biantur ini melambangkan kawula atau rakyat. Posisi Binatur berada di sebelah barat seperti Kai Wok dan Kiai Dewadaru.

Namun, pada Serat Salokapatra yang ditulis sekitar awal abad ke-20, dua pohon yang mengapit Jalan Pangurakan disebut Kiai Godheg dan Kiai Simbarjaja.

Kala itu, Kiai Godheg berada di sisi barat dan Kiai Simbarjaja berada di sisi timur.

Sedang dua pohon yang berada di depan Bangsal Pagelaran disebut Kiai Jebres dan Kiai Wok.

Kiai Jebres berada di sisi barat dan Kiai Wok berada di sisi timur. Jika ditilik dari arti namanya, maka keempat pohon ini mewakili rambut-rambut yang tumbuh di tubuh.

Godheg atau cambang adalah rambut yang tumbuh di pipi dekat telinga, simbarjaja adalah rambut yang tumbuh di dada, jebres atau kumis adalah rambut yang tumbuh di atas mulut, dan wok atau brewok adalah rambut yang tumbuh di dagu dan pipi belakang.

Sedang pada sebuah peta yang bertahun 1929, dua pohon yang mengapit Jalan Pangurakan bernama Kiai Brewok dan Kiai Godheg.

Kiai Brewok berada di sisi barat dan Kiai Godheg berada di sisi timur.

Adapun dua pohon yang berada di depan Bangsal Pagelaran disebut Kiai Sepuh dan Kiai Jebres.

Kiai Sepuh berada di sisi barat dan Kiai Jebres berada di sisi timur. Sepuh pada nama Kiai Sepuh sendiri berarti tua.

Nama-nama pohon bringin di Alun-alun Selatan Yogyakarta atau Alun-alun Kidul

Sejarah Alun-Alun Selatan Yogyakarta atau Alun-Alun Kidul (Keraton Yogyakarta)

Apabila Tribunners menjumpai Alun-alun Selatan Yogyakarta, pasti menjumapi dua pohon beringin yang berdiri di tengah alun-alun.


Di mana pohon beringin ini sering dilewati orang-orang dengan mata tertutup. Banyak orang percaya jika berhasil lewat di tengah dua pohon beringin ini, niscaya keingiannya terkabul.

Nah, ternyata pohon beringin ini juga memiliki nama seperti pohon-pohon yang ada di Alun-alun Utara.

Ada dua beringin yang ditanam dan diberi pagar dan penempatan yang sama seperti di Alun-Alun Utara.

Kedua pohon beringin ini dinamakan Supit Urang. Selain kedua pohon beringin di tengah, terdapat sepasang beringin lain yang mengapit jalan menuju Plengkung Nirbaya (Plengkung Gadhing).

Sepasang beringin ini disebut Kiai Wok.

Ada satu lagi pohon beringin di area Alun-Alun Selatan, tumbuh di depan kandang gajah.

Tak hanya di Alun-alun Utara dan Alun-alun Selatan, ternyata masih ada beringin lain di area Keraton Yogyakarta.

Jadi, selain di alun-alun, saat ini pohon beringin di Keraton Yogyakarta juga bisa dijumpai di Plataran Kemagangan, Plataran Kamandhungan Lor, dan Plataran Sitihinggil Lor.

Di Plataran Kemagangan, terdapat sebuah pohon beringin yang ditanam di antara regol dan bangsal.

Pohon ini ditanam saat Sultan Hamengku Buwono VIII bertakhta. Ada yang menyebutnya dengan nama Sri Makutha Raja.

Di Plataran Kamandhungan Lor, di sisi barat bangsal, juga terdapat sebatang pohon beringin jenis preh.

Nah, begitulah Tribunnes filosofi dan nama-nama pohon beringin yang ada di sekitaran Keraton Yogyakarta.

( Tribunjogja.com / Bunga Kartikasari )


 

 

Berita Terkini