Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Pembahasan tentang Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) No 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi memancing banyak pendapat.
Guru Besar Antropologi Hukum Fakultas Hukum (FH) Universitas Indonesia (UI), Prof Dr Dra Sulistyowati Irianto MA mengatakan, regulasi itu sudah memenuhi tiga syarat hukum.
“Hukum Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS), baik itu Rancangan Undang-Undang (RUU) PKS maupun Permendikbud ini sudah memenuhi tiga syarat. Landasan filosofi, yuridis dan sosiologis,” paparnya, Sabtu (13/11/2021).
Baca juga: Tanggapan Mahasiswa Penyintas Kekerasan Seksual di Kampus Yogyakarta Soal Permendikbud 30/2021
Dia mengatakan hal tersebut dalam webinar ‘Mengenali dan Mencegah Kekerasan Berbasis Gender di Dunia Pendidikan Tinggi’ yang diselenggarakan oleh Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY).
Maka dari itu, sebagai ahli hukum, permendikbud yang dikatakan banyak orang memiliki kontroversi, dapat dipertanggungjawabkan.
Itu juga merupakan jawaban di mana keberpihakan negara saat korban kekerasan seksual mulai bermunculan.
Bahkan, Sulistyowati menilai, Permendikbud No 30 Tahun 2021 itu adalah satu-satunya perisai hukum bagi pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi.
Sayangnya, ada saja penolakan yang digemakan disertai tafsir dan sentimen politik identitas yang merugikan korban.
“Kondisi zero tolerance kekerasan seksual di kampus ini sangat ditunggu. Di tahun 2019 saja, setidaknya ada 174 kasus kekerasan seksual di 79 kampus di 29 provinsi,” bebernya, menunjukkan urgensi mengapa permendikbud disahkan.
Ia menjelaskan, kasus kekerasan seksual sebagian besar dilakukan oleh dosen, mahasiswa, staf, tokoh agama di kampus, dokter di klinik kampus, dan warga lain.
Sementara, Wakil Ketua Komisi Nasional (Komnas) Perempuan 2015-2019, Dr Dra Budi Wahyuni MM MA menambahkan, kampus masih menjadi tempat rawan terjadinya kekerasan seksual.
Hal ini karena adanya relasi kuasa yang muncul di ranah perguruan tinggi.
Adapun relasi kuasa yang dimaksud ialah suatu relasi yang menyebabkan seseorang tidak berdaya mengambil keputusan secara independen, baik karena sebab struktural maupun ketidaksetaraan yang menyebabkan seseorang tidak berdaya.
“Persetujuan dan relasi kuasa ini penyebab dominan pelecehan seksual. Persetujuan, bukan berarti ketika tidak menolak berarti mau ya,” jelasnya yang juga merupakan Dosen Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM).
Dia meminta, apabila ada mahasiswa yang menjadi korban pelecehan seksual, korban harus meyakinkan diri bahwa pelaku yang salah, bukan dirinya.
Baca juga: Mayoritas Jalani Isolasi Mandiri, Selter Asrama Haji di Sleman Hanya Terisi Satu Pasien Covid-19
Korban juga diminta mengamankan dan dokumentasikan bukti dengan baik.
“Cari bantuan teman yang dipercaya atau bisa langsung ke lembaga bantuan hukum (LBH), psikolog atau medis. Cari perlindungan aman,” bebernya.
Menurutnya, bagi teman yang mengetahui ada korban pelecehan seksual, maka harus melakukan pertolongan pertama pada korban.
Dahulukan keselamatan korban baik dari ancaman kekerasan, fisik dan psikologis.
“Jaga kerahasiaan korban. Jika Anda perlu menggalang dukungan lebih banyak orang, pastikan korban menerima rencana Anda dan dapat menggunakan inisial. Dengarkan dan bukan menceramahi,” tandasnya. (ard)