TRIBUNJOGJA.COM -Tokoh Bagong menjadi bagian dari keluarga Punakawan dalam cerita pewayangan.
Tokoh Bagong sendiri merupakan lakon yang paling sering dibawakan Dalang Ki Seno Nugroho di setiap pagelaran wayang kulit yang ia pentaskan.
Pada prosesi pemakaman Ki Seno Nogroho, dua wayang kulit ikut dikuburkan bersamaan dengan jenazah Dalang milenial tersebut, yakni tokoh wayang bernama Bagong dan Bima.
Sementara itu, tokoh Bima menggambarkan diri sendiri yang bernama Seno atau nama lain dari wayang tersebut.
Berikut Karakter tokoh wayang bernama Bagong yang kerap dimainkan Ki Seno Nugroho dan sukses membuat penggemarnya jatuh cinta.
Baca juga: Apa Itu Kecimpring ? Makin Dikenal Gara Gara Sinetron Preman Pensiun 5, Berikut Ini Resep Membuatnya
Bagong sendiri digambarkan sebagai sosok yang paling lugu dan kurang mengerti tata krama.
Gaya bicara Bagong cenderung ceplas ceplos apa adanya, meskipun demikian orang lain tetap bisa memaklumi.
Bagong adalah anak angkat ketiga Semar. Dia adik Gareng dan Petruk.
Diceritakan dalam dunia pewayangan, bagaimana Bagong diciptakan pemilik Alam semesta.
Gareng dan Petruk meminta dicarikan teman, Sang pemilik Alam semesta bersabda, bahwa temanmu adalah bayanganmu sendiri.
Baca juga: Wow, Lukisan Berlapis Emas Milik Jimmy Sutopo yang Disita Kejagung Bernilai Rp 109 Miliar
Seketika itu bayangan keduanya berubah menjadi sesosok manusia dan selanjutnya diberi nama Bagong.
Secara fisik, Bagong digambarkan memiliki postur yang pendek, gemuk seperti semar tetapi mata dan mulut nya lebih lebar.
Ia memiliki watak banyak bercanda, pintar membuat lelucon, bahkan terkadang saking lucunya menjadi menjengkelkan.
Di satu sisi, Bagong adalah sosok yang memiliki sifat jujur dan memiliki sejumlah kesaktian.
Bila disarikan hikmah yang dapat dipetik dari sosok Bagong adalah mencontohkan sikap jujur yang menjadi salah satu modal dalam hidup bermasyarakat.
Namun disatu sisi, di manapun berada, harus menghormati aturan yang berlaku di tempat tersebut.
Beberapa versi menyebutkan, sejatinya, tokoh Bagong bukan anak kandung Semar.
Dikisahkan Semar merupakan penjelmaan seorang dewa bernama Batara Ismaya yang diturunkan ke dunia bersama kakaknya, yaitu Togog atau Batara Antaga untuk mengasuh keturunan adik mereka, yaitu Batara Guru.
Togog dan Semar sama-sama mengajukan permohonan kepada ayah mereka, yaitu Sang Hyang Tunggal, supaya masing-masing diberi teman.
Sanghyang Tunggal ganti mengajukan pertanyaan berbunyi, siapa kawan sejati manusia.
Togog menjawab "hasrat", sedangkan Semar menjawab "bayangan".
Baca juga: Asal Mula Pemukiman Mewah di Desa Bubakan Wonogiri yang Mirip Kawasan Villa Elit di Tawangmangu
Dari jawaban tersebut, Sanghyang Tunggal pun mencipta hasrat Togog menjadi manusia kerdil bernama Bilung, sedangkan bayangan Semar dicipta menjadi manusia bertubuh bulat, bernama Bagong.
Dikutip dari berbagai sumber, gaya bicara tokoh Bagong dalam pewayangan yang seenaknya sendiri sempat dipergunakan para dalang untuk mengkritik penjajahan kolonial Hindia Belanda kala itu.
Ketika Sultan Agung meninggal tahun 1645, putranya yang bergelar Amangkurat I menggantikannya sebagai pemimpin Kesultanan Mataram.
Raja baru ini sangat berbeda dengan ayahnya. Ia memerintah dengan sewenang-wenang serta menjalin kerja sama dengan pihak VOC-Belanda.
Keluarga besar Kesultanan Mataram saat itu pun terpecah belah. Ada yang mendukung pemerintahan Amangkurat I yang pro-Belanda, ada pula yang menentangnya.
Dalam hal kesenian pun terjadi perpecahan. Seni wayang kulit terbagi menjadi dua golongan, yaitu golongan Nyai Panjang Mas yang anti-Amangkurat I, dan golongan Kyai Panjang Mas yang sebaliknya.
Rupanya pihak Belanda tidak menyukai tokoh Bagong yang sering dipergunakan para dalang untuk mengkritik penjajahan VOC. Atas dasar ini, golongan Kyai Panjang Mas pun menghilangkan tokoh Bagong, sedangkan Nyai Panjang Mas tetap mempertahankannya.
Pada zaman selanjutnya, Kesultanan Mataram mengalami keruntuhan dan berganti nama menjadi Kasunanan Kartasura.
Sejak tahun 1745 Kartasura kemudian dipindahkan ke Surakarta. Selanjutnya terjadi perpecahan yang berakhir dengan diakuinya Sultan Hamengkubuwono I yang bertakhta di Yogyakarta.
Dalam hal pewayangan, pihak Surakarta mempertahankan aliran Kyai Panjang Mas yang hanya memiliki tiga orang panakawan (Semar, Gareng, dan Petruk), sedangkan pihak Yogyakarta menggunakan aliran Nyai Panjang Mas yang tetap mengakui keberadaan Bagong.
Akhirnya, pada zaman kemerdekaan Bagong bukan lagi milik Yogyakarta saja.
Para dalang aliran Surakarta pun kembali menampilkan empat orang punakawan dalam setiap pementasan mereka.