TRIBUNJOGJA.COM, KULONPROGO - Malam itu tidak berbeda dari malam-malam sebelumnya di Desa Banjaroyo, Kepanewon Kalibawang, Kulonprogo.
Hujan masih setia dengan rintiknya, Selasa (12/1/2021), menemani Ismanto yang sedang beristirahat, selepas bekerja seharian di rumah.
Tidak lama gawainya berdering, kabar duka sampai di tangannya lewat pesan singkat di WhatsApp.
Seorang tetangga yang tidak jauh dari rumahnya, baru saja meninggal dengan status suspect Covid-19, yang diklaim oleh dokter forensik RSUP Dr Sardjito.
Pukul 22.30 WIB, pria berusia 40 tahun bergegas datang ke rumah duka bersama kawan-kawannya, sembari mendirikan tenda, hujan masih saja setia dengannya, kali ini perciknya membasahi tubuh Ismanto.
Pekerjaan itu biasa dilakukan olehnya dan teman-teman, memang jika ada lelayu di kampungnya, semua tetangga sontak membantu keluarga mendiang, menyiapkan segala keperluan di rumah duka.
Baca juga: Pengumuman Pendaftaran SNMPTN 2021 Terbaru dari LTMPT, Ada Perubahan Jadwal
Baca juga: UJIAN AWAL TAHUN, Berikut Rangkuman Rentetan Bencana di Tanah Air yang Terjadi Pada Januari 2021
Hingga pukul 23.00 WIB belum ada informasi pemakaman menggunakan protokol Covid-19.
Ismanto yang belum pulang, masih mengkoordinasikan rencana penguburan esok hari.
Selanjutnya, pria yang dikenal dengan nama Manthex ini mengobrol biasa bersama teman-teman di depan rumah duka, memecah dinginnya hujan malam itu, sambil beristirahat selepas mendirikan tenda.
Suasana menjadi lebih serius, kabar penguburan menggunakan protokol Covid-19 sampai ke telinga Ismanto.
Rencana berubah total, konsolidasi dilakukan malam itu juga, meski jam dinding di rumah duka sudah menunjukan pukul 00.00 WIB.
Rencana disusun lebih detail, meski menjadi kali pertama penguburan dengan protokol khusus, mereka sudah mendapat pelatihan dasar dari BPBD DIY dan Muhammadiyah Disaster Management Centre (MDMC) mengenai tata caranya,
"Sudah ada acuannya waktu itu," katanya.
Sebanyak 12 personel akan diturunkan, namun karena beberapa punya kesibukan lain, hanya sembilan orang dan satu koordinator desa yang siap mengikuti prosesi dari awal hingga akhir.
Orang-orang ini adalah, Ismanto, Ilham Fadilah, Muamad Saiful Anwar, Aris Wibowo, Dwi Bintoro, Iwan, Hari, Muhammad Yusuf Arifin, Heru Putra Wijaya, Ashari Hidayat.
Hari sudah berganti, Rabu (13/1/2021), Ismanto masih bertahan di sana, Ia akan menjadi ketua regu dari satgas desa untuk prosesi pemakaman itu.
Hatinya mantap, memilih opsi jalur pertama dengan jarak tempuh sekitar 500-800 meter, diperkirakan memakan waktu kurang dari satu jam, namun medannya terjal, turun, dan menanjak.
Opsi keduatak diindahkannya, karena jarak tempuh terlalu jauh, sekitar 3 kilometer, karena harus memutar meski medannya lebih baik.
Ia beranggapan kalau terlalu lama mengenakan baju hazmat juga tidak baik, apalagi sambil menggotong peti jenazah dengan jarak tempuh yang jauh.
Hingga sekitar pukul 02.30 WIB, akhirnya Ismanto pulang ke rumah, merebahkan badannya walau sejenak, demi menjaga kondisi tubuhnya yang hampir setengah abad itu.
"Saya malah susah tidur, karena kepikiran terus, bukan masalah beratnya, tapi medan terjalnya, semua harus selamat," katanya pendek.
Baca juga: JADWAL MU Tandang ke Anfield Lawan Liverpool, Kesempatan Amankan Poin
Baca juga: Komentar Frank Lampard Jelang Chelsea Tandang ke Markas Fulham
Pukul 07.00 WIB, udara masih segar, matahari dari ufuk timur masih terlihat malu-malu untuk muncul.
Ismanto dan beberapa temannya sudah sampai kembali di rumah duka, Ia memutuskan hari itu libur dari pekerjaan sehari-harinya sebagai pengepul hasil bumi.
Begitupun yang lainnya, rela meninggalkan pekerjaan sejenak untuk membantu tetangganya yang sedang berduka.
Ismanto bersama lima temannya mengawali pagi dengan survei tempat, sambil membuka jalan dari tingginya ilalang, di jalan yang akan ditempuhnya nanti.
Mereka memperhitungkan dengan matang cara yang tepat untuk melewati medan itu dengan selamat.
Ia juga memeriksa tanah yang akan digali ternyata lebih keras dari dugaan, hal ini juga yang menjadi keterlambatan dari rencana penguburan sebelum pukul 12.00 WIB.
Sekembalinya, seluruh personel sudah bersedia untuk berkumpul tepat pukul 11.00 WIB.
Menyiapkan segala keperluan yang akan digunakan, seperti bambu, tali tambang, hingga perut yang sudah terisi.
Selepas salat Dzuhur berjamaah, baju hazmat berwana telor asin serentak dipasang, membungkus tubuh para satgas desa.
Pengap dirasakan Ismanto, baju itu sama sekali tidak memiliki ventilasi udara, ditambah dengan face shield yang menutupi seluruh wajah.
Sempurna, bahkan jika ada sobek atau lubang, akan segera ditutup menggunakan isolasi.
Lebih jauh, medan yang ditempuhnya bertipe tanah gembur, memiliki karakteristik mudah menyerap air, ketika diinjak kaki, memungkinkan terperosok, atau tergelincir.
Demi menyiasati itu, mereka bersembilan sepakat untuk tidak menggunakan alas kaki, namun masih ditutup dengan kain berwarna merah muda, agar seluruh tubuh tetap tertutupi, dan dapat berlajan dengan lebih baik.
"Kalau pakai sepatu nanti kemasukan air pas di sungai, bakal lebih susah juga untuk jalan," tuturnya.
Pukul 13.00 WIB, jenazah sampai di desa, keluarga meminta untuk menyolatkan dulu. Ismanto yang sudah bersiap, melihat ada sekitar delapan orang menyalati jenazah yang berada di dalam mobil ambulans.
Protokol yang ketat, membuat keluarga dari mendiang tak boleh terlalu dekat dengan jenazahnya
Semua tim telah berkumpul, menurunkan peti jenazah, dan membawanya dengan cara dijinjing.
Aturan membawa peti dengan protokol Covid-19 menjadi syarat penting, lantaran pengusung tidak boleh membawanya dengan cara ditandu di bahu, tidak boleh sejajar dengan wajah.
Alasannya, dikhawatirkan ada virus yang dapat terhirup langsung lewat celah kecil di masker yang dipakai oleh pengusung.
Walhasil, beban yang diangkat akan terasa lebih berat.
Seluruh satgas desa beserta pendamping dari BPBD DIY, MDMC, dan DPM, mulai memasuki seperempat jalan, dari sana jalanan sudah mulai menurun curam, samping kiri adalah jurang dengan estimasi kedalaman sekitar 50 meter.
Kondisi di Perjalanan
Jalanan licin sehabis hujan semalaman, menjadi kengerian bagi siapa saja yang melihat prosesi itu.
Apalagi lebar jalan hanya sekitar satu meter.
Salah-salah kaki melangkah, atau tergelincir sedikit saja, bisa terperosok ke jurang itu.
Ismanto dan yang lain bersiasat menjadikan sisi kanan sebagai titik berat, agar tim yang berada di sebelah kiri dapat berjalan dengan tenang.
Formasi yang diatur adalah tiga orang di samping kiri, tiga orang lain di samping kanan, dua orang sebagai penyemprot disinfektan, satu orang terakhir sebagai pengganti, jika ada orang yang tiba-tiba cedera atau kelelahan.
Perjalanan berlanjut, jalanan semakin curam, posisi peti jenazah sudah seperti akan berdiri tegap. Ismanto yang berada di sisi kanan sedikit tergelincir, setelah teman di depannya terpeleset, hampir terperosok.
Peti jenazah sempat oleng, namun Ismanto dengan cekatan segera menahan peti itu dengan posisi setengah jatuh.
"Kalau gak ketahan, petinya bisa jatuh sampai sungai itu," katanya lirih.
Semua kru mengambil nafas, sambil beristirahat dekat sungai, sebelum melanjutkannya. Baju hazmat yang dikenakannya mulai bernoda, tanaman singkong dan kelapa menjadi pemandangan di saat itu.
Hanya berselang beberapa menit, melihat tinggi air sampai 15 senti meter, mereka kembali meneruskan membelah sungai. Pelan tapi pasti, adalah langkah yang diambil oleh tim satgas desa.
Ismanto bercerita, kalau seharusnya jalanan yang dilaluinya sekarang sudah ditembok dan memiliki jembatan yang layak, pasalnya jalan itu adalah jalan tercepat menuju kawasan pemakaman.
Rencana pemerintah setempat hanya berakhir di anggaran, jembatan dan jalan yang bagus seolah hanya mimpi di siang bolong.
Harapan masyarakat Pantog Kulon untuk mengunjungi keluarganya yang sudah meninggal, harus bersikeras melewati medan itu.
"Waktu itu ada jembatannya, cuma itu dari bambu, lama kelamaan roboh sendiri," tuturnya.
Tujuan masih sedikit lebih jauh, jalan kali ini mulai menanjak, sesekali kru satgas desa hampir tepeleset.
Ismanto memberi komando, bagi siapapun yang merasa lelah harus jujur, dan ia tidak akan segan bersepakat dengan yang lainnya untuk beristirahat.
Namun mereka tidak bisa minum walau sejenak, karena dalam aturan, baju hazmat tidak boleh dilepas ketika akan prosesi pemakaman. Faceshield mulai mengembun, sedikit menggangu pandangan, namun dapat teratasi jika sudah mulai berjalan, embun sedikit demi sedikit mulai hilang.
Jalanan semakin menanjak, berbeda dari sebelumnya yang lebih kebanyakan turun. Tenaga yang dibutuhkan jadi sedikit lebih besar. Ismanto dan kolega, total berhenti sebanyak lima kali, satu diantarnya ketika hendak menyebrang sungai.
Dari kejauhan, liang lahat yang sudah digali mulai terlihat. Seluruh kru bergegas mendekatkan peti, menurunkan.
Prosesi diakhiri dengan doa oleh keluarga mendiang yang berada tidak jauh dari makam.
Satgas desa yang dipimpin Ismanto segera kembali, sebelum sampai, mereka melepas baju hazmat di sungai, dan segera membakarnya. Kepulan asap memenuhi langit sekitarnya.
Ekspresi lelah sekaligus puas tergambar dari seluruh kru, mereka saling bercerita dan memeriksa, kalau-kalau ada yang cedera atau butuh sesuatu lain.
Berbekal sampo dan sabun, mereka melanjutkan mandi bersama di sana, sebagai syarat terakhir pemakaman dengan protokol Covid-19, sebelum bertemu dengan orang lain di desa.
Jamuan makan sudah tersedia menyambut para Satgas Desa.
Tegur sapa dari keluarga mendiang, berterimakasih untuk mereka.
Bagi Ismanto, hal ini adalah sebuah momen yang tidak akan dilupakannya sampai kapanpun. (tsf)