TRIBUNJOGJA.COM - Ahli epidemiologi penyakit menular WHO, Dr. Maria Van Kerkhove pada sebuah taklimat dikutip New York Post, mengatakan bahwa para ilmuwan di seluruh dunia yang mempelajari virus corona belum menemukan virus itu bermutasi dengan cara yang dapat menimbulkan ancaman baru, karena beberapa pejabat kesehatan khawatir sejak awal.
Laporan menyebutkan bahwa virus corona tak bermutasi jadi lebih berbahaya.
“Ada perubahan normal pada virus ini yang orang harapkan dari waktu ke waktu,” katanya, merujuk pada cara di mana virus RNA seperti flu dan virus corona bermutasi.
"Sejauh ini tidak ada perubahan yang mengindikasikan bahwa virus itu sendiri berubah dalam hal kemampuannya untuk menularkan atau menyebabkan penyakit yang lebih parah."
Tapi COVID-19 terus mengancam dan dunia, setelah wabah sekarang pindah ke negara-negara miskin seperti Meksiko dan Brasil serta melumpuhkan negara-negara kaya seperti Italia dan Amerika Serikat.
Van Kerkhove mengatakan pelonggaran kuncian dan melemahnya kebersihan masyarakat masih bisa menimbulkan ancaman yang serius.
Ia pun memperingatkan bahwa pandemi COVID-19 masih jauh dari selesai.
“Orang menjadi lelah. Sangat sulit untuk mempertahankan semua langkah-langkah ini dan kita harus tetap kuat dan waspada untuk melibatkan pemerintah sepenuhnya dan orang-orang terlibat penuh ketika kuncian ini diberlakukan,"tambahnya. "Itu harus dilakukan dengan lambat laun."
Van Kerkove memperingatkan bahwa wabah dapat memaksa kembalinya aturan kuncian yang tidak nyaman dan merusak secara ekonomi.
"Dalam beberapa situasi, langkah-langkah ini, kesehatan masyarakat dan langkah-langkah sosial, mungkin perlu diperkenalkan kembali dan itu mungkin membuat orang frustasi, yang benar-benar dapat dimengerti," lanjutnya.
"Dan itu bisa membuat virus lebih berbahaya karena orang menjadi puas diri."
Di AS, protes nasional seputar kematian George Floyd telah membuat orang-orang mengesampingkan langkah-langkah jaga jarak sosial dengan adanya kerumunan besar di kota-kota.
Meski protes telah membawa kekhawatiran akan lonjakan kasus COVID-19 dalam beberapa minggu mendatang, Gubernur Andrew Cuomo pada hari Rabu menyebut hal positif segera hadir di kota New York.
“Makan malam di luar ruangan dapat kembali dilakukan di kota pada akhir Juni selama Fase 2 pembukaan kembali,” katanya.
China lambat
Pejabat WHO menyayangkan China lambat memberikan informasi untuk memerangi penyebaran virus yang pertama kali dilaporkan pada akhir Desember di Wuhan, Cina, karena mereka kehilangan waktu yang penting.
“Kita akan mendapatkan informasi yang sangat minim,” kata ahli epidemiologi Amerika Maria Van Kerkhove, sekarang pimpinan teknis WHO untuk COVID-19, dalam satu pertemuan internal selama minggu 6 Januari.
“Jelas tidak cukup bagi Anda untuk melakukan hal yang benar, perencanaan."
"Kami saat ini berada pada tahap di mana, ya, mereka memberikannya kepada kami 15 menit sebelum muncul di CCTV," pejabat tinggi WHO di China, Dr. Gauden Galea, merujuk pada Televisi Pusat China milik pemerintah, mengatakan dalam pertemuan lain.
Partai Komunis China tidak merilis peta genetik virus selama lebih dari seminggu setelah tiga laboratorium pemerintah telah memecahkan kode informasi, kata laporan itu, karena kontrol ketat pada rilis data.
Peta genetik akhirnya dirilis setelah lab lain mempublikasikannya di situs web virolog pada 11 Januari.
Butuh waktu dua minggu bagi Partai Komunis Tiongkok untuk memberi WHO data lengkap tentang pasien dan kasus, menurut rekaman pertemuan internal oleh badan kesehatan PBB.
Keterlambatan dalam merilis data genetik memperlambat pengembangan vaksin dan tidak adanya informasi terperinci tentang pasien membuatnya sulit untuk menentukan seberapa cepat coronavirus menyebar di seluruh dunia.
Antara waktu laboratorium Cina mendekodekan info pada 2 Januari dan 30 Januari, ketika WHO menyatakan keadaan darurat global, virus menyebar dengan faktor 100 hingga 200 kali.
"Sudah jelas bahwa kita bisa menyelamatkan lebih banyak jiwa dan menghindari banyak, banyak kematian jika China dan WHO bertindak lebih cepat," kata Ali Mokdad, seorang profesor di Institute for Health Metrics and Evaluation di University of Washington.
Sekarang ada lebih dari 6 juta kasus di seluruh dunia, dan jumlah kematian telah melampaui 370.000. (*)