Yogyakarta

Astri Lestarikan Budaya dengan Menjadi Dalang Cilik

Penulis: Christi Mahatma Wardhani
Editor: Ari Nugroho
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Astri sedang menjadi dalang dalam Wayang Wahyu di Gombong, Jawa Tengah

Laporan Calon Reporter Tribun Jogja, Christi Mahatma Wardhani

TRUBUNJOGJA.COM, YOGYA - Dalam dunia pewayangan, dalang diartikan sebagai seseorang yang memiliki keahlian dalam memainkan wayang.

Yang menjadi dalang umumnya adalah kaum pria dan telah dewasa, menggenakan blangkon, surjan, jarik, dan perlengkapan lain.

Namun rupanya, anak-anak pun bisa menjadi dalang.

Misalnya Bernadetha Astri Putri Nugraheni.

Ia pun mengenakan pakaian adat, tetapi bukan surjan, melainkan kebaya.

Ia memang sudah jatuh cinta pada wayang sejak kecil.

Namun, baru memutuskan untuk belajar mendalang kelas VI SD.

"Sejak kecil sering diajak nontong wayang. Terus SD ikut karawitan, nah pas itu mengiringi Wayang Wahyu, terus liat ada dalang cilik. Baru nyadar, oh ternyata ada dalang cilik juga, abis itu baru belajar," kata siswa kelas IX SMP Joannes Bosco itu, Selasa, (24/7/2018).

Baca: Dies Natalis yang ke-54, UNY Gelar Festival Dalang Cilik Tingkat Nasional

Selain sebagai dalang cilik, juga menjadi satu-satunya perempuan dalam beberapa festival dalang.

Ia sudah beberapa kali mengikuti festival, seperti Festival Dalang Cilik di UNY, Festival Dalang Anak di Kabupaten Sleman, Festival Dalang Anak DIY di Bantul, ia pun sering mengisi pentas di Dinas Kebudayaan DIY.

"Kalau pertama kali tampil itu di Museum Wayang Kekayon. Terus ikut fetival-festival dalang cilik juga. Beberapa kali dapat juara juga, pernah juara 3 sama harapan 2. Kebayanyak yang ikut festival laki-laki, biasanya saya perempuan satu-satunya," ujarnya.

Sebagai satu-satunya dalang perempuan yang sering ikut festival, Astri pernah merasa minder.

Namun kecintaanya pada wayang mengalahkan rasa minder yang sempat menyelimutinya.

"Pernah minder,rata-rata yang ikut festival juga orangnya itu-itu aja. Mereka belajar dari kecil, sementara aku enggak. Tapi yaudahlah, nggak ambil pusing. Aku bangga sebagai dalam perempuan, dan aku bisa melestarikan budaya," tutur anak bungsu dari dua bersaudara itu.

Selain mendalang, Astri juga membuat naskahnya sendiri, dibantu oleh sang ayah.

Tidak mudah dalam membuat naskah, ia harus menguasai kosakata bahasa Jawa lebih banyak.

Hal itu pula yang menjadi tantangan dalam menjadi dalang cilik.

Baca: Pendaftar Jurusan Seni Pedalangan Naik Berkat SBMPTN

"Harus banyak kosakata Bahasa Jawa, misal ada Punokawan kita harus improvisasi, harus lebih komunikatif juga dengan penonton. Itu juga susah, untuk menambah kosakata ya sering lihat wayang, terus rajin tanya kalau ada kata yang nggak ngerti," ungkap remaja kelahiran Sleman, 16 Oktober 2004 itu.

Selain bahasa, yang menjadi kesulitan Astri dalam menjadi dalang adalah menghafalkan sabetan (gerakan wayang).

Dalam gagrak Yogya yang ia pelajari, sabetan Yogya lebih halus dan lebih tertata.

"Selain itu yang susah lagi adalah suluk, semacam nembang gitu, susahnya karena harus ngepasin sama penggender. Kadang penggender kan ada improvisasinya juga, lha itu ngepasinnya susah,"ujarnya.

Kecintaanya terhadap dunia dalang ternyata juga didukung oleh sang ibu, Agustina Pujiastuti (46).

Ia pun turut mendampingi setiap putrinya mengikuti festival.

"Dia kan memang ikut karawitan, terus minta dileskan dalang. Saya awalnya mikir, perempuan jadi dalang, terus masih anak-anak juga. Paling cuma sebentar, abis itu nggak mau lagi. Tetapi yaudahlah nggak apa-apa, selama itu positif ya didukung saja," kata Agustina.

Sempat terbersit ketakutan dalam hatinya karena ia tidak fasih bahasa Jawa.

Ia berasal dari Sumatera, sehingga lebih sering menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi.

Baca: Festival Dalang Cilik Meriahkan Dies Natalis UNY ke-54

"Bapaknya memang orang Yogyakarta. Cuma anak-anak ini sejak kecil sama saya, jadi tetap pakai bahasa Indonesia. Baru udah gede ini bareng bapaknya juga. Astri ini juga sebenarnya nggak bisa bahasa Jawa," tuturnya.

Ia pun bangga, karena Astri juga menjadi dalang satu-satunya yang sering ikut festival.

Menurutnya, itu membuat sang putri berbeda.

Selama yang dikerjakan anaknya positif, ia akan mendukung.

"Festival di Sleman itu peserta ada 13, dia perempuan sendiri. Yang DIY juga,di Bantu,dia peserta satu-satunya. Ya bangga, karena dia berbeda. Dia nggak harus jadi dalang, sekolah umum juga boleh. Tetapi kalau besok mau sekolah dalang, ya tetap mendukung," tutupnya.(TRIBUNJOGJA.COM)

Berita Terkini