TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Prasasti Tlu Ron (temuan 2015) di Candi Kedulan pada intinya menceritakan perintah pembangunan kembali bendung untuk keperluan irigasi dan pemeliharaan Parhyangan Haji.
Yang dimaksud Parhyangan Haji tak lain Candi Kedulan saat ini yang berlokasi di Desa Tlu Ron pada masa kuno Mataram. Prasasti Tlu Ron berangka tahun 822 Saka atau 900 Masehi, dikeluarkan Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung (898-911 M).
Baca: Wow! Inilah Pancuran Tempat Raja Balitung Mandi di Timur Candi Kedulan
Berdasar kajian dan pembacaan epigraf UGM, Tjahjono Prasodjo MA, tertulis antara lain demikian di bagian awal prasasti Tlu Ron. "...tatkala ni dawuhan wuatan ni sawah i tlu ron sanka in lua i panangaran suprayukta phala wainya i lmah sambandha...".
Terjemahannya, "saat raja membuat dam (dawuhan) untuk sawah milik bhatara di Tlu Ron. Saat itulah bendung hasil buatan untuk sawah bhatara di Tlu Ron yang karenanya akan sangat bermanfaat bagi tanah milik bhatara.
Baca: Misteri Prasasti ke-3 Candi Kedulan Akhirnya Terkuak
Jadi dalam prasasti ini terungkap, Raja Dyah Balitung memerintahkan pembangunan bendung setelah melihat candi suci di Tlu Ron tak terpelihara. Demikian pula pancuran yang pernah dipakainya mandi, juga telantar.
Bendung itu nantinya diharapkan meningkatkan kualitas sawah di sekitar, dan hasilnya bisa dipakai memuliakan bangunan suci di Tlu Ron. Sekitar 31 tahun sebelumnya, pendahulu Dyah Balitung, yaitu Sri Maharaja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala sudah membuat bendung serupa.
Baca: Menguak Jejak Gempa Dahsyat dan Amukan Merapi di Candi Kedulan Ratusan Tahun Silam
Peristiwa itu tercatat dalam Prasasti Sumundul dan Panangaran yang ditemukan juga di situs Candi Kedulan. Kedua prasasti itu bertarikh 791 Saka (869 M) ditemukan saat penggalian situs Candi Kedulan yang terpendam sekitar 7 meter dari permukaan tanah.
Mungkin sesudah 31 tahun, bendung yang dibangun Rakai Kayuwangi rusak beberapa kali karena peristiwa alam, sehingga saat Raja Balitung berkunjung ke Tlu Ron tiga dekade kemudian, candi itu tidak terawat dan lahan pertanian di sekitar tidak produktif.
Baca: Banjir Lahar Menyapu Kedulan dari Arah Barat dan Utara
Pendek cerita, dari informasi awal itu, Tjahjono Prasodjo dibantu hidroarkeolog UGM, J Susetyo Edy Yuwono berusaha melacak di mana kira-kira letak bendung kuno yang dibangun Raja Balitung, 1.118 tahun lalu itu?
Pembacaan selanjutnya di prasasti Tlu Ron menemkan petunjuk penting. "...Kinon ya makudur san relam tumulusakna ikanan wluran gawai san lumah in tanar. satahun lawasnyan ginawai sumanka ikanan wwai tka ya ikanan tgal i kalikalihan suprayukta paripurna."
Baca: Wow, Arca di Candi Kedulan Sempat Terlempar Lima Meter
Terjemahannya, "Diperintahlah Makudur San (g) Relam menyelesaikan saluran air (wluran) yang dulu pernah dibuat oleh San (g) Lumah di Tanar. Setahun lamanya dibuat agar air mengalir sampai tanah tegalan di Kalikalihan yang dikerjakan dengan sempurna'.
Ada dua info penting di kalimat ini. Pertama pembuatan bendung diserahkan ke seorang Makudur Sang Relam. Makudur itu jabatan penting dalam struktur administrasi kuno Mataram. Ia tokoh terkemuka yang juga biasa memimpin upacara-upacara khusus, seperti penetapan sima.
Baca: Berulang Kali Situs Kedulan, Klodangan dan Plaosan Rusak akibat Gempa
Info penting berikutnya, bendung sebelumnya berlokasi di Tanar, yang airnya dialirkan ke tegalan Kalikalihan. Nama lokasi terakhir ini menjadi petunjuk signifikan bagi Tjahjono dan Susetyo untuk mengidentifikasi lokasinya pada masa sekarang.
Dari kajian geologi, wilayah Kedulan merupakan unit morfologi dataran kaki vulkan. Ciri-cirinya, topografi datar hingga berombak, tersusun atas endapan piroklastik dan proses fluvial. Di sebelah utara dataran kaki vulkan bertemu zona tekuk lereng (break of slope).
Zona ini ditandai pertemuan sungai dan kemunculan sabuk mata air (spring belt). Dari karakteristik itu, Tjahjono dan Susetyo menyelidiki alur-alur sungai baik yang besar maupun kecil di barat maupun timur Candi Kedulan.
Fokus pengamatan di wilayah utara candi, meliputi area Desa Selomartani, Bimomartani, dan Wedomartani yang berada di zona tekuk lereng. Lokasi pertemuan sungai ini sangat cocok untuk pembuatan bendung atau dam.
Tjahjono dan Susetyo mencoba menelusuri kenampakan fisik fitur-fitur hidrologi seperti dam dan saluran air kuno di utara wilayah Kedulan. Namun akibat dampak tingginya endapan lahar yang mengubah topografi, jejak fisik dipastikan tidak akan terlihat.
Karena itu mereka membuat prediksi tapak yang logis. Dari analisa citra satelit dan peta RBI lembar Pakem, observasi awal menemukan dua nominator lokasi tapak. Yaitu bendung Krebet dan bendung Ngalian.
Identifikasi dan perbandingan karakteristik kedua dam ini menunjukkan perbedaan signifikan. Posisi bendung Krebet sekitar 4,2 km di timur laut Candi Kedulan, sedangkan bendung Ngalian sekitar 4 km arah barat laut Candi Kedulan (Tlu Ron).
"Di bendung Krebet kita tidak menemukan toponim mendekati petunjuk di prasasti Tlu Ron. Namun di Ngalian, ada toponimi Kalikalihan, dan ini signifikan," jelas Tjahjono Prasodjo. Kalikalihan disimpulkan sama dengan wilayah Ngalian yang sekarang.
"Bendung Ngalian sama dengan sub-das yang sama dengan Candi Kedulan, yang membentuk tinggian (interfluve) antara Kali Tepus dan Kali Bening. Orientasi jaringan irigasi yang sekarang mengarah ke tenggara, ke arah Candi Kedulan," lanjutnya.
Meski bendung Ngalian tidak berada di percabangan sungai, observasi lapangan menunjukkan Kali Tepus pada masa kuno jauh lebih besar dari ukuran sekarang. Lebar lembahnya sekitar 90- 100 meter.
Demikianlah, prasasti Tlu Ron memberi petunjuk terkuaknya misteri bendung kuno masa Raja Balitung di wilayah Ngalian sekarang. Tjahjono dan Susetyo masih kesulitan menemukan saluran- saluran irigasi pendukungnya.
Terlebih wilayah Ngalian sekarang terbentuk dari proses pengendapan material piroklastik yang terbawa melalui Kali Kuning, yang pernah mengubur Candi Sambisari hingga setebal 7 meter. Ketebalan kurang lebih sama mengubur Candi Kedulan.
"Karena itu masih diperlukan penelitian mendalam guna dibuat pemetaan mana saluran irigasi baru dan mana yang mengikuti jejak saluran irigasi lama. Pencitraan bawah tanah diperlukan untuk mengetahui saluran-saluran kuno air," kata Susetyo dan Tjahjono.(Tribunjogja.com/xna)