Si Kembar Candi Kedulan dan Candi Sambisari

Penulis: Setya Krisna Sumargo
Editor: Gaya Lufityanti
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pekerja BPCB DIY sedang melakukan pengecoran di lantai dasar posisi bangunan candi induk, Kamis (1/2/2018). di lokasi ini air tanpa henti, menimbulkan problem hidrologi yang cukup serius.

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Candi Kedulan ditemukan pertama kali pada 24 September 1993.

Cangkul para pencari pasir dari Boyolali suatu ketika membentur benda keras di kedalaman sekitar 3 meter.

Lokasi penggalian pasir adalah tanah pelungguh Kepala Dusun Kedulan.

Benda keras itu menyembul dan bukan batu biasa karena bentuknya persegi dan terlihat sengaja dibikin.

Para penggali atas izin perangkat desa kemudian memperdalam galian, dan ternyata makin banyak batu-batu serupa.

Bahkan beberapa terlihat ornamen khusus.

Temuan dilaporkan ke kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakla Yogyakarta (sekarang BPCB).

Ekskavasi dilakukan sistematis dan makin banyak temuan menarik didapatkan.

Petunjuk candi itu bangunan Hindu segera terpapar.

Keberadaan lingga dan yoni, arca Durga, Nandiswara, Mahakala, Ganesa, dan Agastya menjadi buktinya.

Kemudian diperkuat temuan dua prasasti bernahan batu andesit yang isinya sudah bisa dibaca dan menjadi petunjuk mengapa ada bangunan suci di lokasi itu.

Kedua prasasti itu diberi nama prasasti Sumundul dan Pananggaran, sesuai nama yang tertulis sebagai judul di prasasti beraksara Pallawa atau Jawa kuno itu.

Setelah keseluruhan bangunan candi yang berantakan ditampilkan, nyatalah komplek candi ini nyaris kembar dengan Candi Sambisari di sebelah barat daya Kedulan.

Baik tata letak dan komposisi bangunan nyaris sama.

Bedanya, Candi Sambisari menghadap barat, sedangkan Kedulan pintu masuknya dari sebelah timur.

Keduanya sama-sama terkubur tanah, pasir dan material lahar gunung Merapi di kedalaman lebih kurang 8 meter.

Setelah ratusan tahun "tidur" di dalam tanah, Kedulan tak lama lagi akan menyapa dunia.

Tentang apa mengapa candi ini dibangun, prasasti Sumundul dan Pananggaran memberikan petunjuk cukup penting.

Prasasti ketiga ditemukan lagi pada September 2015, dan belum bisa dibaca tuntas.

Isi kedua prasasti pertama yang sama persis ukuran dan bentuknya, berhasil diterjemahkan epigraf UGM, Prof Dr Riboet Darmosutopo dan Dr Tjahjono Prasodjo MA.

Intinya, menyebutkan keberadaan bangunan dam (bendungan) untuk pengairan lahan yang digunakan warga dua desa, Panangaran dan Parhyangan.

Dua nama kuno ini sekarang tidak dikenali lagi.

Namun di dekat Kedulan ada nama dusun Segaran, yang diduga ada kaitan dengan toponim Panangaran.

Letak dam atau bendungan yang disebut belum terdeteksi.

Namun diduga bendungan itu ada di aliran Kali Wareng di sebelah barat Kedulan.

Bangunan suci itu diperkirakan dibangun sebagai bagian ucapan syukur atas pembangunan dam, dampak baiknya untuk pertanian, dan meningkatnya kemakmuran warga setempat.

Kapan dibangun, belum ada keterangan pasti.

Namun intrepretasi dari prasasti Sumundul dan Panangaran yang berangka tahun 791 Saka (869 Masehi), diyakini bangunan ini didirikan pada masa-masa itu.

Prasasti itu juga menyebut keberadaan bangunan suci Tiwagaharyyang, yang oleh para arkeolog ditafsirkan merujuk Candi Kedulan yang sekarang.

Candi Kedulan berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 12,05x12,05 meter dengan tinggi 2,72 meter.

Penampil sebelah timur berfungsi sebagai pintu masuk.

Pipi tangganya berhias makara naga. Kaki candi memiliki selasar dengan pagar langkan.

Uniknya lantai selasar ini lebih tinggi dari lantai bilik di candi induk.

Di selasar tiap sudutnya ditemukan umpak tertutup.Tubuh candi induk berukuran 4x4 m tinggi 2,6 meter.

Di biliknya terdapat lingga dan yoni besar.

Di dinding kanan dan kiri pintu masuk sebelah timur terdapat relung berisi arca Nandiswara dan Mahakala.

Sedangkan di sisi selatan, barat dan utara, terdapat tangga naik sampai dasar relung.

Bagian atas relung berhiaskan kala makara tanpa rahang bawah.

Kanan kiri berhiaskan pilaster dengan motif dedaunan dan makara.

Dua candi perwara yang berada di sebelah timur candi induk sudah berhasil direkonstruksi.

Sedangkan satu candi perwara paling selatan, masih in situ.

Sisi barat candi perwara ketiga itu sudah tampak, sisanya masih terkubur tanah.

Air tampak mengucur deras dari sisi utara bangunan pelengkap candi ini.

Indung Pancaputra dari BPCB DIY mengemukakan, candi perwara itu belum diekskavasi karena masih berada di lahan warga yang belum terbebaskan.

Namun diharapkan seiring tahap pemugaran Candi Kedulan, problem lahan itu bisa dituntaskan, dengan bantuan penyelesaian oleh Pemkab Sleman.

Dari hasil audiensi Kepala BPCB DIY dengan Bupati Sleman beberapa waktu lalu, menurut Indung dicapai kesepahaman untuk merevisi rencana strategis penataan kawasan wisata di Kalasan.

Candi Kedulan yang 90 persen material bangunannya ditemukan masih asli, akan menjadi satu di antara pusat destinasi wisata candi yang lengkap.

Tak hanya edukasi sejarah arkeologis, namun dirancang bisa memberikan pengetahuan sejarah geologi kebencanaan.

Penataan lansekap secara keseluruhan akan disesuaikan lahan sekitar, termasuk rencana pembangunan lokasi perkemahan di dekat Candi Kedulan.

Terlebih tak jauh dari Kedulan sudah berdiri mentereng Candi Sambisari.

Menurut Indung, dari sisi konstruksi, bahan baku, dimensi, kedua candi ini mirip.

"Arah hadapnya saja yang beda. Leveling dasar atau kaki candi ya kurang lebih sama," kata Indung yang terlibat ekskavasi Candi Kedulan sejak awal ditemukan.

Setelah melalui proses panjang studi arkeologis, geologis dan aspek lain, BPCB DIY menyusun proyek pemugaran mulai Januari 2018.

"Pemugaran ini artinya mengembalikan candi ke posisi dan bentuk seperti aslinya. Target jangka panjang 2025, Candi Kedulan tampil utuh termasuk penataan lingkungannya," lanjut Kassubag TU BPCB DIY ini.(Tribunjogja.com)

Berita Terkini