Laporan Reporter Tribun Jogja, Dwi Nourma Handito
TRIBUNJOGJA.COM, SLEMAN – Mendung tebal berwarna abu abu kehitaman memayungi Dusun Brayut, Wukir Sari, Cangkringan, Sleman Jumat sore pekan kedua Februari 2017 kemarin.
Tanda-tanda datangnya hujan di daerah lereng gunung Merapi itu sudah sangat jelas terlihat.
Sebuah bangunan dengan bagian depan joglo sederhana yang terletak di belakang gedung barak evakuasi di dusun Brayut nampak masih sepi sore itu.
Seorang pria berbaju biru nampak duduk di kursi seng tua dengan menghadap ke sebuah panggung dengan dominiasi dekorasi warna hijau.
Sementara itu, dua orang tengah sibuk di atas panggung dan melakukan apa yang diarahkan oleh pria berbaju biru itu. Mereka sedang mempersiapkan panggung yang dibagian atas terutulis dengan huruf kapital Kelana Bhakti Budaya.
“Selamat datang di tobong kami. Ya beginilah kondisinya,” ujarnya pria berbaju biru itu menyambut kedatangan Tribun Jogja.
Pria berbaju biru itu adalah Dwi Tartiyasa, pengelola ketoprak tobong Kelana Bhakti Budaya. Bisa disebut, Kelana Bhakti Budaya adalah satu-satunya ketoprak tobong yang masih selamat atau masih ada di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Malam itu, ketoprak tobong Kelana Bhakti Budaya akan menggelar pertunjukan. Segala persiapan dilakukan untuk menyambut penonton. Kursi tua berwarna hijau sudah tertata rapi di depan panggung, seperangkat gamelan juga sudah siap.
Dwi lantas memamerkan juga dekorasi panggung yang dominasi warna hijau yang sebenarnya masih dalam proses finishing saat itu.
Menurutnya konsep dari tampilan panggung itu adalah benteng terakhir dari ketoprak tobong yang masih eksis, di memberi nama Benteng Pungkas Tak Lelah Berhias Menembus Batas.
Beberapa jam jelang pertunjukan hujan deras turun. Tobong tua dengan atap seng itu menahan gempuran air yang dihujamkan ke bumi.
Di beberapa bagian, seng yang sudah rapuh dan berlubang tidak kuasa menahan air, air menetes di berbagai titik dan membasahi beberapa bangunan penonton.
Meski hujan cukup deras saat itu, Romo Dwi panggilan akrab Dwi Tartiyasa mengatakan jadwal pertunjukan tidak akan berubah dan pentas tetap akan dilaksanakan.
Memasuki malam, hujan deras terus mengguyur, diikuti datangnya beberapa pemain ketoprak yang akan pentas.
Dari Kediri ke Yogyakarta
Bisa disebut, Kelana Bhakti Budaya sudah berada di tubir senjakalanya, namun semangat untuk tidak mati terus dijaga.
Kini, tobong Kelana Bhakti Budaya sudah tidak berpindah-pindah lagi seperti sejatinya ketoprak tobong itu sendiri, sudah dua tahun Kelana Bhakti Budaya berada di Wukir Sari, Cangkringan.
Kelana Bhakti Budaya awalnya berasal dari Kediri Jawa Timur, pada tahun 1998 grup ketoprak tobong ini bernama Candra Kirana yang bermukim di Desa Tinalan, Kediri.
Saat itu, Candra Kirana mengalami masa yang bisa disebut mati tidak hiduppun enggan.
Pengelola Candra Kirana lantas meminta bantuan Dwi Tartiyasa untuk menyelamatkan ketoprak tobong yang kini bernama Kelana Bhakti Budaya tersebut.
Kemudian pada 1999, ketoprak tobong Candra Kirana itu dikelola oleh Dwi Tartiyasa.
Nama Kelana Bhakti Budaya resmi menggantikan nama Candra Kirana pada tahun 2000.
Menurut Dwi, nama kelana bisa berarti berpindah pindah secara hurufiah dan secara filosofis berarti sebuah pengembaraan atau hidup dengan suatu pengembaraan.
Dwi Tartiyasa bukanlah seorang seniman dan juga bukan pengusaha, dia adalah seorang rohaniawan yang sering berpindah tempat bertugas.
Sejak berganti nama Kelana Bhakti Budaya, ketoprak tobong itu benar benar dibawa berkelana oleh Dwi, ke berbagai daerah.
“Kemudian saya pindah ke Yogya. Kethoprak pindah ke Yogya pada 2005, pasca gempa, kami boyong,” ceritanya.
Di Yogya, Kelana Bhakti Budaya berkelana dan pentas di beberapa tempat. Seperti pertama kali di Banyuraden selama enam bulan, lantas pindah ke Cebongan, Sidomulyo, Bangunjiwo dan beberapa tempat lain di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sebelum di Brayut, selama empat tahun Kelana Bhakti Budaya berada di Bayen, Kalasan.
Menempati tanah yang diberikan untuk digunakan secara cuma-cuma oleh seorang donatur, termasuk tanah yang digunakan saat ini di Brayut adalah milik donatur tersebut juga.
Pentas Rutin
Jam menunjukan hampir pukul 20.00, Jumat pekan kedua Februari 2017, deretan kursi di depan panggung di tobong Kelana Bhakti Budaya masih kosong, hanya sebagian kecil yang terisi.
Para pemain sudah bersiap di belakang panggung dengan dandanan dan pakaian sesuai dengan karakternya.
“Banyak atau sedikit yang nonton, kami tetap main,” kata Dwi Tartiyasa saat itu. Malam itu lakon yang akan dimainkan adalah Seboyo Urip Seboyo Pati.
Malam itu, tobong tidak didatangi oleh banyak penonton, jika dibandingkan pemain dan pendukung acara, penonton yang datang jauh lebih sedikit.
Tiga diantara penonton yang datang adalah warga negara asing atau WNA.
Sedikitnya penonton adalah salah satu faktor utama penyebab kenapa ketoprak tobong kini berada di tubir senja, meski dulu memiliki masa kejayaan.
Dwi mengatakan bahwa saat di Bayen, Kalasan selama empat tahun penonton di sana cukup bagus, dan tidak diikuti dengan tempat yang saat ini.
Selain itu saat ini tobongnya tidak berpindah lagi, seperti idealnya kethoprak tobong , karena kendala finansial.
Untuk mengandalkan pemasukan dari tiket penonton pun rasanya sulit dan tidak dapat menutupi biaya operasional, karena penonton tak lagi memenuhi kursi kursi di depan panggung tobong Kelana Bhakti Budaya.
Bahkan untuk menutupi semua pemasukan, menurut Dwi itu tertolong oleh bantuan donatur.
“Jaman jaya-jayanya, seperti ketoprak Ringin Dahono, Siswo Budoyo dan lain lain itu tiga bulan (sekali) pindah. Tapi tampaknya masa kejayaan ketoprak tobong sudah berlalu, dan kini tinggal mempertahankan yang ada, “ katanya.
Ketoprak tobong Kelana Bhakti Budaya pernah menggelar pamit mati di Alun-alun kidul Keraton Yogyakarta.
Menurut Dwi itu dilakukan karena kondisi yang tidak memungkinkan untuk tetap survive. Dan diharapkan mendapat perhatian dari pihak terkait.
Berkat pamit mati itu pula, ada donatur yang kini menyediakan tempat untuk Kelana Bhakti Budaya hingga saat ini.
Ditanya apakah ketoprak tobongnya akan berpindah lagi, Dwi mengisyaratkan itu tidak akan terjadi lagi, terlebih semakin sulit untuk mendapatkan lahan dan biaya operasional yang tinggi.
Namun ia tetap akan berusaha mempertahankan keberadaan kethoprak tobongnya meski tidak menghasilkan secara finansial.
Ia percaya ketoprak tobong yang merupakan budaya daerah meski sedikit peminatnya akan kembali digemari suatu saat nanti.
Untuk itu tobong dicoba untuk diperbaiki, diberi lighting dan juga dalam mengemas penampilannya dengan lebih menarik.
Selain juga dengan membuat jadwal rutin pentas tiap Jumat malam dengan waktu pertunjukan mulai pukul 20.00 malam sehingga penonton dapat kembali membanjir seperti dulu.
“Harapan saya kalau hidup berkembang itu di Yogyakarta, oleh karena Yogyakartalah kota budaya, tetapi andaikata mau mati bersama dengan ketoprak tobong yang lain, biarlah Yogyakarta menjadi kuburan daripada ketoprak kami, ketoprak tobong Kelana Bhakti Budaya,” ujarnya.
“Tetapi itu tidak kami harapkan dan meminta dukungan pada semua pihak supaya ini bisa eksis berkembang dan berjalan dengan baik," lanjutnya. (*)