Laporan Reporter Tribun Jogja, Agung Ismiyanto
TRIBUNJOGJA.COM, BANTUL - Di sejumlah wilayah Yogyakarta, keberadaan prajurit Keraton Ngayogyakarta atau yang disebut bregada menjadi sebuah simbol kewibawaan dan kedaulatan.
Para bregada ini tak lepas dari sejarah perjuangan dari penjajahan. Untuk tetap melestarikan nilai itu, pihak Pemerintah Provinsi DIY rutin menggelar Festival Bregada Rakyat.
Jalanan di Kabupaten Bantul penuh sesak dengan warga, Minggu (30/10/2016) siang.
Ratusan pasang mata nampak tertuju pada ratusan bregada yang berjalan dengan rapi, diiringi musik khas yang kerap dijumpai pada acara-acara grebeg maupun merti dusun.
Barisan bregada ini, memang menarik warga yang sudah menunggu dari garis start di Masjid Agung Bantul. Mereka tak sabar melihat penampilan bregada yang unik dengan kostum, gerakan, maupun filosofi nama dan urutan yang ditampilkan.
Siang itu, ada sebanyak 36 bregada yang tampil untuk meraih thropy dan uang pembinaan sebesar Rp 20 juta dari Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paduka Paku Alam X.
Mereka mengemas barisan mereka dengan keunikan masing-masing.
Dari beberapa sumber, jika menilik sejarahnya kesatuan-kesatuan prajurit itu dibentuk pada masa pemerintahan Hamengkubuwono I sekitar abad abad 17, tepatnya pada tahun 1755 Masehi.
Selama kurang lebih setengah abad pasukan Ngayogyakarta terkenal cukup kuat, pada masa Pemerintahan Hamengkubuwono II mengadakan perlawanan bersenjata menghadapi serbuan dari pasukan Inggris dibawah pimpinan Jenderal Gillespie pada bulan Juni 1812.
Namun semenjak masa Pemerintahan Hamengkubuwono III kompeni Inggris membubarkan angkatan perang Kasultanan Yogyakarta.
Dalam perjanjian 2 Oktober 1813 yang ditandatangani oleh Sultan Hamengkubuwono III dan Raffles, dituliskan bahwa Kesultanan Yogyakarta tidak dibenarkan memiliki angkatan bersenjata yang kuat.
Bregada Egrang
Hingga saat ini, bregada tidak difungsikan untuk perlawanan, namun biasanya untuk mengawal acara grebeg.
Satu diantaranya adalah bregada egrang yang diasuh oleh seniman Tejo Badut. Penampilan bregada yang menggunakan kostum warna-warni ini, sukses mencuri perhatian pengunjung.
Para prajurit bregada egrang yang berasal dari Kasongan, Kasihan, Bantul tak henti-hentinya menjadi objek berfoto selfie warga.
Keunikan dari bregada ini adalah penggunaan kostum yang menarik, lengkap dengan egrang berupa kaki besi panjang dan tongkat bambu.
Mereka berjalan dan berbaris dengan rapi, meski harus menempuh perjalanan hingga hampir 1,5 kilometer menuju lapangan Paseban, Bantul.
Tejo Badut, salah satu penggagas bregada egrang mengatakan, seni keprajuritan yang ditampilkannya dalam festival kali ini memang lebih out of the box dibandingkan dengan prajurit lainnya.
Pihaknya berupaya untuk menghibur, sekaligus mengingatkan warga akan pelestarian permainan tradisional, yakni egrang.
“Kami memaknai filosofi bregada, sebagai prajurit, artinya siap untuk bertempur dan melawan. Sedangkan, kami menggunakan egrang, untuk mengangkat permainan egrang agar tidak punah karena serbuan budaya asing. Jadi kami prajurit yang siap untuk terus melestarikan permainan tradisional ini,” katanya.
Menurut Tejo, meski tidak menggunakan egrang tradisional, yang berasal dari bambu, nilai perjuangan dari kelompoknya disampaikan dengan egrang besi yang memudahkan penggunanya untuk kirab.
Dia pun berharap, permainan egrang tetap bisa dilestarikan di masyarakat.
Tejo pun menggarap kostum para bregada egrang sedemikian rupa agar pesan dan maksud bisa tersampaikan secara mudah. Topi dari bregada egrang pun dibuat dengan unik, namun tetap ada unsur-unsur yang sama dengan bregada pada umumnya.
Adapun untuk senjata yang biasa digunakan, yakni berupa tombak, Tejo menggantinya dengan bambu.
Bambu itu diberi hiasan bendera berwarna-warni, dan digunakan para bregada layaknya tombak.
“Di sini, kami juga menggunakan unsur tradisional berupa bambu sebagai salah satu senjata kami. Egrang tradisional dibuat dari bambu, dan itulah yang menjadi senjata kami,” katanya. (*)