Fakta Sound Horeg, Sistem Audio Bervolume Ekstrem yang Dilarang MUI

Sound horeg, tren musik bass ekstrem di Indonesia, kini diharamkan MUI Jatim. Simak asal-usul, ciri khas, dampak, dan aturan terbaru 2025 di sini.

Penulis: Tribun Jogja | Editor: Joko Widiyarso
Tribunnews.com/Rahmat Fajar Nugraha
Truk Sound Horeg (Tribunnews.com/Rahmat Fajar Nugraha) 

TRIBUNJOGJA.COM- Sound horeg belakangan menjadi istilah yang viral dan populer di Indonesia, khususnya di wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan sekitarnya.

Istilah ini merujuk pada penggunaan sound system berdaya tinggi untuk memutar musik remix dengan volume ekstrem dan dentuman bas yang menggelegar.

Sound horeg umumnya sering hadir di berbagai acara komunitas, seperti hajatan, konvoi, arak-arakan, pesta rakyat, hingga karnaval keliling.

Ciri khas sound horeg adalah musik dangdut koplo remix, EDM, atau lagu-lagu viral di aplikasi media sosial yang dibalut dentuman bas luar biasa keras.

Sistem audio ini umumnya dipasang di atas truk atau pickup, lengkap dengan lampu LED warna-warni yang mencolok, dan sering diiringi orang-orang yang menari mengiringinya.

Meskipun dianggap sebagai hiburan "merakyat" dan menjadi favorit bagi komunitas lokal, fenomena sound horeg memicu pro-kontra yang signifikan.

Sebagian masyarakat menganggapnya sebagai ekspresi seni dan hiburan rakyat yang penuh semangat.

Namun banyak pula yang menilainya sebagai sumber polusi suara yang mengganggu, berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan, bahkan memicu konflik sosial.

Asal-Usul dan Ciri Khas Sound Horeg yang Viral

Kata "horeg" berasal dari bahasa Jawa kuno yang berarti "bergerak" atau "berguncang."

Penggunaan kata ini untuk menyebut sound system besar sangatlah relevan, karena getaran bas yang dihasilkan memang terasa hingga jarak jauh dan mampu mengguncang benda-benda di sekitarnya.

Awalnya, sound horeg hanya digunakan untuk memeriahkan acara-acara besar, seperti pentas panggung, menyampaikan pengumuman, hingga kegiatan keagamaan dan kampanye.

Namun, seiring waktu, tren ini berkembang menjadi ajang adu sound sebuah kompetisi antara pemilik sound system untuk adu keras suara dan kualitas audio.

Fenomena ini mulai populer di wilayah-wilayah seperti Banyuwangi, Malang, Sidoarjo, Surabaya, Blitar, dan Kediri, sebelum menyebar ke daerah lain di Pulau Jawa.

Baca juga: Parade Sound Horeg Turut Meriahkan Pelantikan Prabowo - Gibran

Dampak Negatif Sound Horeg: Kesehatan, Sosial, dan Lingkungan

Meskipun menawarkan hiburan, sound horeg memiliki sejumlah dampak buruk yang diakui banyak pihak:

  • Polusi Suara. Volume suara yang ekstrem dapat mengganggu kenyamanan warga, terutama lansia, anak-anak, atau orang sakit. Polusi suara juga mengganggu ketenangan bagi mereka yang sedang beristirahat atau beribadah.
  • Bahaya Kesehatan. Paparan suara dengan intensitas tinggi secara terus-menerus dapat menyebabkan gangguan pendengaran permanen (tinnitus), kecemasan, stres, bahkan memicu masalah jantung pada orang yang rentan.
  • Kerusakan Infrastruktur. Getaran bass yang sangat kuat berpotensi merusak struktur bangunan, kaca jendela, dan fasilitas umum lainnya yang berada di dekat lokasi acara.
  • Konflik Sosial. Perbedaan pandangan antara penggemar sound horeg dan warga yang merasa terganggu sering memicu perselisihan, bahkan konflik yang lebih besar.

Fatwa MUI Jatim 2025: Sound Horeg Diharamkan?

Kontroversi ini akhirnya direspons serius oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur.

Melalui Fatwa Nomor 1 Tahun 2025 yang diterbitkan pada 13 Juli 2025, MUI Jawa Timur secara resmi mengulas hukum sound horeg dari sudut pandang syariat.

Inti dari fatwa tersebut adalah haram mutlak menggunakan sound horeg jika terbukti menimbulkan kemudaratan atau dampak buruk, seperti gangguan kesehatan, keresahan sosial, atau kerusakan fasilitas umum.

Jika aktivitas sound horeg disertai dengan maksiat lain, seperti joget campur pria-wanita, pakaian yang tidak menutup aurat, atau pelanggaran syariat lainnya, status haramnya menjadi lebih tegas.

Aktivitas adu sound dikategorikan sebagai pemborosan (tabdzir) dan menyia-nyiakan harta (idhā’atul māl), yang secara mutlak diharamkan dalam Islam.

Selain menetapkan fatwa, MUI Jatim juga mengeluarkan rekomendasi bagi pemerintah dan masyarakat. 

Pemerintah daerah disarankan untuk membuat regulasi yang jelas mengenai penggunaan sound system.

MUI merekomendasikan penundaan pendaftaran Hak Kekayaan Intelektual (HKI) untuk istilah "sound horeg" demi menghindari legalitasnya.

Masyarakat diminta untuk menjauhi aktivitas yang menimbulkan kemudaratan dan mengutamakan maslahat bersama.

Bagi para pendukungnya, sound horeg adalah bagian dari kreativitas lokal dan simbol kebersamaan. 

Banyak komunitas menganggapnya sebagai ajang silaturahmi, tempat unjuk kemampuan meracik musik, dan wahana mengekspresikan diri. 

Namun, tanpa batasan yang jelas, fenomena ini dapat berubah menjadi masalah sosial yang serius.

Di beberapa daerah, aparat sudah mulai membatasi jam penggunaan, tingkat volume, bahkan menyita peralatan yang digunakan tanpa izin resmi.

Keputusan MUI Jatim ini menambah tekanan bagi para pelaku industri untuk beradaptasi dengan aturan yang lebih ketat.

Ke depan, para pemilik sound horeg mungkin harus mencari solusi kreatif, seperti penggunaan alat peredam suara, pembatasan waktu, atau modifikasi sistem agar tetap memuaskan penggemar tetapi ramah lingkungan.

Fenomena sound horeg ini menjadi pelajaran penting bahwa budaya populer yang lahir dari masyarakat perlu diatur agar tidak menimbulkan dampak negatif yang lebih besar.

Hiburan memnag diperbolehkan, tapi keselamatan, kesehatan, dan kenyamanan bersama tetap harus menjadi prioritas utama. (MG/Sabbih Fadhillah)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved