Kata Sebagai Ruang Temu
Jagat maya kembali riuh setelah beredarnya video ajakan umrah ke Borobudur dan situs-situs budaya lainnya.
Oleh: Budhi Masthuri, Asisten Ombudsman RI, Berminat Terhadap Isu Komunikasi Sosial
TRIBUNJOGJA.COM - Jagat maya kembali riuh setelah beredarnya video ajakan umrah ke Borobudur dan situs-situs budaya lainnya.
Sontak menyulut perdebatan, tidak sedikit yang merasa bahwa ajakan tersebut sebagai bentuk penistaan.
Bagi mereka kata umrah, yang merujuk pada ibadah mahdhah di tanah suci, tak layak disematkan pada situs budaya seperti Candi Borobudur, dll.
Fenomena ini menunjukkan bagaimana kata bukan sekadar lambang bunyi, tetapi penanda identitas, kuasa, dan legitimasi.
Dalam masyarakat multikultural dan multikeyakinan, kata-kata tertentu bisa menjadi milik eksklusif komunitas tertentu, tidak boleh disentuh oleh yang lain.
Lalu, siapa sebenaranya yang memiliki otoritas memberikan hak atas penguasaan kata?
Tidak Pernah Netral
Studi semiotika mmposisikan kata sebagai tanda. Tetapi tanda tidak pernah netral.
Ia membawa makna yang dibentuk oleh sejarah, kuasa, dan komunitas pengguna.
Dalam KBBI kata umrah memiliki arti kunjungan (ziarah) ke tempat suci (sebagai bagian dari upacara naik haji, dilakukan setiba di Makkah) dengan cara berihram, tawaf, sai, dan bercukur, tanpa wukuf di Padang Arafah, yang pelaksanaannya dapat bersamaan dengan waktu haji atau di luar waktu haji; haji kecil (https://kbbi.kemdikbud.go.id).
Meski arti umumnya adalah kunjungan atau ziarah ketempat suci, merujuk pada KBBI tersebut kata umrah telah dipersempit untuk memaknai haji kecil bagi umat Islam.
Begitu penggunaan kata umrah keluar dari konteks keagamaannya, misalnya untuk menyebut ziarah ke Candi Borobudur, maka wajar jika memunculkan reaksi keras, sebab hal itu dianggap sebagai bentuk penyerobotan identitas.
Apalagi KBBI telah melekatkan kata umrah dengan makna milik privat umat muslim. Ini artinya kata umroh tidak boleh dikonsumsi atau didaur ulang oleh kelompok lain, meskipun dengan makna yang dimodifikasi.
Reaksi keras seperti ini bukan hal baru. Kita juga pernah menyaksikan polemik tentang rendang babi.
Sebagian kalangan menolak penyebutan itu karena merasa bahwa rendang hanya sah digunakan untuk daging sapi (halal), bukan babi (haram).
Meskipun secara kuliner, rendang adalah metode memasak yang berasal dari tradisi Minangkabau dan bahannya bisa beragam.
Namun ketika identitas agama melekat atau diekatkan pada sebuah resep, maka penyimpangan bahan akan dianggap bentuk penodaan.
Fenomena ini menunjukkan bagaimana identitas, agama, budaya, dan suku dapat melekat begitu kuat pada kata, sehingga memunculkan batas-batas simbolik yang kaku.
Kata bukan lagi alat komunikasi, tetapi menjadi semacam pagar eksklusif. Ini milik kami, jangan dipakai sembarangan, atau bahkan kamu tidak boleh menggunakannya.
Kuasa atas kepemilikan kata semakin kuat jika KBBI sebagai otoritas pemberi makna telah meneguhkan hak kepemilikan tersebut.
Politik Kata dan Hak Eksklusif
Setiap komunitas sosial memiliki politik kata. Kata-kata tertentu dianggap suci, luhur, atau milik kelompok tertentu, sehingga penggunaannya dibatasi hanya untuk mereka yang dianggap berhak. Bahasa menjadi medan kuasa, siapa boleh bicara apa, kepada siapa, dengan kata apa.
Istilah “umrah ke Borobudur” mengusik banyak orang karena telah melintasi batas itu.
Ia membajak istilah keagamaan, lalu menyematkannya pada objek yang bukan menjadi tempatnya.
Maka, kontroversinya bukan hanya soal makna kata, tapi juga soal ketegangan antara agama formal dan spiritualitas lokal, antara arus utama dan subkultur.
Menyebut ziarah atau kunjungan ke Borobudur sebagai umroh adalah tindakan yang provokatif.
Meskipun dalam sudut pandang berbeda-dan pasti sulit diterma-penyebutan tersebut bisa dibaca sebagai cara menghubungkan praktik lama dengan bahasa baru yang lebih familiar bagi masyarakat hari ini.
Sayangnya ini baru bisa diterima jika kata umroh ditarik pada area makna yang netral sebagai hanya kunjungan atau ziarah ke tempat suci, tanpa dilekati dengan penjelasan tentang identitas tertentu.
Meskipun rasanya tidak mungkin. Sebab kata memiliki beban sejarah dan identitas. Mengubah penggunaannya bisa dianggap sebagai ancaman terhadap kemurnian identitas itu sendiri.
Ruang Negosiasi Makna
Kita patut bertanya, apakah setiap kata harus dibakukan dan dikunci hanya untuk satu makna dan satu komunitas?
Apakah tidak mungkin ada ruang dialog antar kata, antar tradisi, antar makna?
Bukankah bahasa, sebagaimana budaya, sejatinya cair. Ia tumbuh dan menyesuaikan diri dengan zaman?
Kata-kata bisa bertransformasi, mengalami perluasan, penyempitan, bahkan pergeseran makna.
Tetapi masalah akan selalu muncul ketika kata dikunci pada satu identitas, lalu menolak penggunaannya oleh pihak lain.
Padahal bahasa dan kata itu sejatinya adalah milik bersama. Ia bekerja lintas batas.
Ketika kita melarang kata dipakai oleh komunitas lain, yang terjadi adalah kita sedang menjadikan kata dan bahasa bukan sebagai alat pemahaman, tapi senjata pembatasan.
Tentu perlu berhati-hati, tidak semua penggunaan kata lintas identitas dapat dibenarkan. Ada saat di mana pemakaian kata bisa melukai, melecehkan, atau menyalahgunakan makna sakral satu komunitas atau agama tertentu.
Tapi pada saat yang sama, kita juga perlu membuka ruang intepretasi baru untuk membangun jembatan, bukan sekadar pagar.
Di tengah masyarakat yang makin terpolarisasi, semua pihak perlu lebih arif dalam menyikapi kata.
Jangan sampai bahasa dan kata yang mestinya berfungsi sebagai jembatan antar identitas justru berubah menjadi objek yang diperebutkan.
Bukan hanya soal bunyi atau makna, tapi ini juga soal sikap, apakah kita ingin membangun percakapan atau memutus komunikasi?
Mari kita jaga agar setiap kata bisa jadi ruang temu, bukan medan konflik. (*)
Rekayasa Lalu Lintas Menuju Borobudur Magelang Ajang Drag Race |
![]() |
---|
3 Rekor Dunia Guinness World yang Tercatat di Yogyakarta, Terbaru Tahun 2012 |
![]() |
---|
Desa Sumberarum Magelang Jadi Percontohan Wisata Halal Penyangga Borobudur |
![]() |
---|
Kolaborasi AQUA–InJourney Dukung Pariwisata Sehat dan Berkelanjutan di Kawasan Candi |
![]() |
---|
Lukisan Candi Borobudur dan Prambanan Ini Cuma Muncul Saat Ada Sorot Cahaya |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.