Advertorial

Wayang Wong 'Krama' dan Pameran Parama Iswari, Merayakan Keberagaman Peran Perempuan

Wayang wong "Krama" menyajikan kisah yang menarik dan sarat makna. Pertunjukan ini berhasil memukau penonton dengan keindahan tarian dan musiknya.

Penulis: R.Hanif Suryo Nugroho | Editor: Gaya Lufityanti
Istimewa
Pertunjukan wayang wong "Lampahan Darmadewa Darmadewi" episode 4 dengan judul "Krama" turut menandai dibukanya rangkaian pembukaan pameran seni "Parama Iswari Mahasakti" di Kraton Yogyakarta, Sabtu (5/10/2024) kemarin. 

Wayang purwa pun, memberikan gambaran serupa melalui berbagai lakon cerita, dan terutama melalui representasi tokoh-tokohnya.​

Drupadi yang digambarkan sebagai perempuan utama, nasibnya tak lebih dari sebuah barang.

Ia dipertaruhkan suaminya Yudhistira, dalam perhelatan judi dadu dengan trah Kurawa. 

Sembadra, istri pertama Arjuna adalah perempuan yang lemah lembut, setia, penuh pengertian terhadap suami, meski suaminya lebih banyak “tugas luar” mengembara. 

Bahkan Sembadra digambarkan sebagai wanitâ-tâmâ karena menerima Srikandi dan Larasati, madunya, dalam satu atap. 

Srikandi, namanya sering kita jadikan simbol julukan insan perempuan berprestasi di bidangnya.

Ada Srikandi Bulutangkis, Srikandi Birokrasi, dan banyak lagi, untuk memberi penghargaan atas jasa-jasanya kepada masyarakat atau negara. 

"Dalam gambaran kita, Srikandi kemudian menjadi simbol keberartian perempuan, kepahlawanan, dan persamaan gender karena prestasi dan kegesitannya," ujar Sultan.

Lebih lanjut Sultan memaparkan, dalam ranah sejarah Keraton Yogyakarta, gelar "srikandi", disematkan kepada Raden Ayu Djajaningrat dan para prajurit perempuan, yang mengabdi di Keraton.

Peter Carey, menggambarkan mereka sebagai srikandi kedaton, prajurit yang setia berada di sekitar Sultan di Prabayeksa, ketika Yogyakarta runtuh karena serangan Inggris. 

Di tengah kekacauan itu, justru para perempuan ini, yang menunjukkan keberanian luar biasa. Sementara, para pangeran memilih bersembunyi, dan mencari perlindungan, dengan melarikan diri ke desa-desa terdekat. 

Fenomena ini, sebagaimana tercatat dalam Babad Bedhahing Ngayogyakarta, menguak ironi konsep "perkasa" yang selama ini disematkan pada laki-laki Jawa.

Pada saat genting tersebut, perempuan mampu menggantikan peran maskulinitas, mengubah pandangan masyarakat Jawa, terhadap kedudukan mereka, terutama pasca-Perang Jawa tahun 1825-1830. 

"Oleh karenanya, melalui momentum Pameran Temporer Akhir Tahun dengan tajuk "Parama Iswari" Mahasakti Kraton Yogyakarta, yang kian berwarna dengan pementasan “Wayang Wong Darmadewa Darmadewi” pada malam ini, saya mengingatkan kembali esensi kesetaraan perempuan," kata Sultan.

Selain untuk mewariskan semangat juang, juga bertujuan untuk meningkatkan keluhuran kodrat, harkat dan martabat, serta kedudukan dan peranan perempuan Indonesia. 

Sumber: Tribun Jogja
Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    Komentar

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved