Kunci Jawaban

Penjabaran Jawaban Bahasa indonesia untuk SMA/SMK Kelas XI Bab 3 Halaman 75-82

Kunci Jawaban Bahasa indonesia untuk SMA/SMK Kelas XI Bab 3 Halaman 75-82 Kegiatan 1.2.3

Penulis: Tribun Jogja | Editor: Joko Widiyarso
buku bahasa indonesia xi
bg bi 3 

TRIBUNJOGJA.COM-Kunci Jawaban Bahasa indonesia untuk SMA/SMK Kelas XI Bab 3 Halaman 75-82

Kegiatan 1 

1. Temukan informasi tentang gedung atau tempat bernama Tjandra Naja! Mengapa tempat tersebut menjadi istimewa dalam cerpen tersebut? Berikan alasan dan bukti yang mendukung!

 Tjandra Naja adalah sebuah bangunan cagar budaya di Jalan Gajah Mada, Jakarta, Indonesia. Bangunan ini merupakan bekas kediaman keluarga Khouw van Tamboen, terutama Majoor der Chinezen Khouw Kim An, pemimpin bangsa Tionghoa di Batavia yang terakhir (1910–1918 dan diangkat kembali 1927–1942). Bangunan mempunyai luas 2.250 meter persegi dengan arsitektur Tionghoa yang khas. 

2. Apa yang kamu ketahui tentang peristiwa G30S/PKI 1965? Mengapa peritiwa itu terjadi dan mengapa ini disebut sejarah kelam bagi Indonesia? 

Peristiwa Gerakan 30 September 1965 selama ini oleh Pemerintah Orde Baru dikatakan bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) ingin melakukan perebutan kekuasaan terhadap pemerintah Soekarno. Hal itu dimulai dengan 
membunuh tujuh jenderal Angkatan Darat yang sekarang disebut sebagai Pahlawan Revolusi. Walaupun demikian, buku putih sejarah tentang peristiwa tersebut belum pernah dirilis oleh Pemerintah Indonesia sehingga bisa menjadi acuan kita belajar bersama.

3. Setelah peristiwa 30 September 1965, apa dampak yang harus ditanggung oleh orang-orang yang dituduh sebagai anggota PKI?

 Akibat dari peristiwa Gerakan 30 September dan terbunuhnya tujuh jenderal Angkatan Darat tersebut, akhirnya PKI kemudian dilarang ada di Indonesia dan akibatnya para anggota dan simpatisannya mengalami pembunuhan, pemenjaraan, pembuangan, serta jenis-jenis diskriminasi lain. 

4. Apa itu Revolusi Kebudayaan di Tiongkok/China? Apa latar belakang terjadinya gerakan tersebut dan mengapa peristiwa itu disebut sebagai peristiwa kelam di Tiongkok pada waktu itu?Setelah kalian menemukan informasi tersebut, presentasikan hasil 
temuan tersebut secara lisan di hadapan kelompok yang lain. 

Revolusi Kebudayaaan secara resmi disebut Revolusi Kebudayaan Proletarian Besar. Revolusi ini adalah sebuah gerakan sosiopolitik yang terjadi di Tiongkok dari 1966 sampai 1976. Gerakan ini dipelopori oleh Mao Zedong, Ketua Partai Komunis Tiongkok. Tujuan gerakan ini adalah menyajikan ideologi komunis yang yang dianggap benar di negara tersebut. Akibat gerakan ini adalah terjadinya pertumpahan darah di Tiongkok pada periode 1966–1976 karena orang-orang yang dianggap keluar dari ajaran Mao Zedong harus mengalami pembunuhan dengan pelanggaran hak asasi manusia yang luar biasa. 

 Kegiatan 2 

TANAH AIR
Martin Aleida
Hatiku teduh. Dia kelihatan tenang. Cuma matanya saja yang terus memandangiku dengan ganjil. Seakan aku ini siapa, bukan istrinya. Tadi, sambil duduk berdampingan menjuntaikan kaki di tubir tempat tidur, perlahan kupotongi kuku-kukunya yang panjang, hitam berdaki. Dari tangan sampai kaki. Gemertak pemotong kuku meningkahi angin pagi yang deras dan dingin memukuli jendela.

Tanpa menatapku barang sekejap pun, seperti berbisik pada dedaunan di luar, lagi-lagi dia mengulangi igauan yang saban pagi, 
menjelang matahari terbit, diucapkannya seperti merapal mantra. Atau pesan yang aku tak tahu kepada siapa. “Setengah jam lagi. Begitu matahari terbit, mereka akan datang membebaskan kita,” desisnya dengan mata yang tetap saja liar, dan sepertinya aku entah di mana, tidak berada di seberang bahunya. Siapa yang akan membebaskannya? Aku tak tahu. Dan aku tak pernah mau bertanya. Tetapi, yang jelas janji akan pembebasan selepas subuh itulah yang kelihatan membuat penderitaannya lebih dalam.

Aku sama sekali tak tahu bagaimana awal kesengsaraan yang kini membelenggunya, membuat dia tidak berada dalam tubuhnya sendiri, sebagaimana dia yang kukenal sejak lebih setengah abad lalu. Dari seorang wartawan olahraga koran sore yang terpandang. Yang katanya sering mengintipku dari gerbang Tjandra Naja, dekat Jakarta Kota, saat aku pulang sekolah naik sepeda. Laki-laki peranakan yang bermata tidak sesipit mataku, tapi hatinya sungguh lapang. Dan aku merasa tersanjung, juga bingung, ketika dalam surat pertama yang dia selipkan ke dalam tasku, memuji betisku setengah mati.

Sekarang, di tempat tidur ini, dari seorang manusia, kini dia tinggal menjalani sisa hidup hanya sebagai seonggok daging tak berjiwa. Hampa. Aku tak tahu apa yang menjadi pencetus penyakitnya ini. Yang membuat matanya terkadang garang. Teramat garang. Memerah. Seperti hendak pecah. Kalau sudah begini, dia menghindar dari tatapanku, bagaimana pun manisnya aku tersenyum, dan melemparkan pandang ke luar jendela. Yang tetap bertahan adalah pernyataan kasih sayangnya sejak dulu: kalau bangkit dia tak pernah lupa membelai lututku, persis di atas betis yang katanya membuat dia kesengsem, dulu.

Dari kawan-kawannya sesama pelarian, yang tak bisa pulang karena paspor mereka dirampas penguasa baru di tanah yang kutinggalkan, kudengar dia merasa sangat bersalah. Mengutuki dirinya sebagai seorang ayah yang keji, karena tidak membesarkan, apalagi menyekolahkan, anak tunggal kami. Tak sekali-dua-kali kawan-kawannya di Tiongkok, sebelum mereka mendamparkan diri ke Amsterdam sini, memergokinya sedang membisikkan nama anaknya berulang kali, dan membentur-benturkan kepalanya ke meja makan. Juga ke tembok. Kawannya sekamar sering mendengar desis sebuah nama dan gedebuk berulang-ulang di dinding batu sementara dia masih berada di toilet

Menurut cerita kawan-kawannya itu pula, ketika Revolusi Kebudayaan membanjir di seluruh daratan Tiongkok, dia acapkali 
termenung, tak percaya akan apa yang dia saksikan. Dia dengar di seluruh negeri itu seorang manusia sedang dipuja melebihi dewi Kwan Im. Suatu pagi dia terperanjat. Gemetar melihat puluhan pemuda dan tentara bertopi segi-lima, syal merah, yang sedang konferensi di satu hotel bertingkat, semuanya berdiri di beranda hotel di tingkat ke sekian, menghadap ke timur. Mereka bukannya memuja matahari, melainkan memuliakan sang penyelamat yang sedang duduk entah di mana. Lewat pengeras suara, mereka bersenandung, seperti hendak menggelontorkan matahari:

“di langit tiada dewa

di bumi tiada raja

 gunung-gunung menyingkirlah aku datang ...”

Dia bersama ratusan kawan senasib disingkirkan ke sebuah kota kecil, jauh dari Peking. Alasannya demi keamanan. Supaya tak jadi sasaran mereka yang datang dengan senjata “Buku Merah”. Dia merasa benar-benar dikucilkan, disingkirkan, dari dunia yang wajar. Dilarang keluar dari kompleks perumahan. Dari seorang yang terlatih menulis, dia menjadi pengangkut kotoran manusia untuk pupuk tanaman. Perasaannya tambah tertekan. Apalagi muncul perpecahan di kalangan mereka yang tak bisa pulang ke tanah air itu. Ratusan jumlahnya. Mereka bertengkar, seperti hendak berbunuh-bunuhan, 
karena beda pilihan keyakinan politik, antara Moskow dan Peking.

Beberapa tahun kemudian, aku menerima sepucuk surat. Melihat titimangsanya, surat itu terlambat empat bulan. Melalui perbatasan sejumlah negara Eropa, diposkan di Amsterdam. Hanya secarik kertas. Dia membujukku menjual apa saja untuk ongkos dan bertolak dari Jakarta supaya bisa berjumpa di Macao atau Kanton. Waktu itu, pekerjaan sebagai tukang jahit dan pembuat kue sudah kutinggalkan. Aku sudah memiliki beberapa bajaj dan berangan-angan menjadi pengusaha taksi supaya bisa memilih perguruan yang baik untuk anakku.

Di stasiun kereta api Kanton aku menjumpainya sedang duduk di sebuah bangku panjang. Duduk berpangku tangan. Dari rona matanya, sepertinya dia kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Aku memanggil namanya. “Ini aku…,” sapaku. Dia berdiri, memelukku 
erat-erat seperti hendak meremukkan tulang rusukku. Orang hilirmudik tak dia hiraukan.

“Malam pertama, dia bercerita tentang rencananya berangkat ke Belgia, yang tak lama lagi akan membuka hubungan diplomatik 
dengan Tiongkok. Sehingga visa tinggal di negara itu diperkirakan akan mudah diperoleh. Dari negara itu, katanya, dia akan melompat ke Belanda, di mana beberapa orang temannya senasib sudah siap menampung. Aku hanya meletakkan kupingku dengan baik-baik di bahunya. Mengiyakan apa saja yang dia rencanakan. Malam kedua, ulu hatiku terasa seperti dia tonjok, ketika dia katakan ada kabar yang sampai ke kupingnya, bahwa aku sering pergi dengan lelaki lain. Lantas dia keluarkan sebuah buntalan kecil dari saku celananya. Dibalut kain putih, di dalamnya segumpal tanah merah yang kering.

“Ciumlah … Ini tanah Indonesia. Apa pun yang akan terjadi dia akan mempertautkan kita,” katanya lamat-lamat seraya memegangi tanganku,merebahkan kepala di bahuku. Semacam permintaan maaf atas tuduhan yang baru saja dia timpakan padaku. Katanya, tanah itu dia bawa ketika meninggalkan Jakarta menuju Kairo dan kandas di Peking.

Tak sampai lima tahun setelah pertemuan di Kanton itu. Begitulah, kalau tak salah ingatanku. Bajajku sudah selusin dan taksiku lima. Dengan bantuan pengarahan dari gereja, aku bisa menyekolahkan anakku di Australia. Dia studi teknologi informasi, keinginannya satu-satunya.

Setelah beberapa lama bermukim di Belanda, suamiku berkirim surat. Layaknya pecandu sepak bola yang ingin lawannya kalah 
habis-habisan, dia berteriak melalui baris-baris suratnya: “Juallah semuanya, jangan tinggalkan sepeser pun di negeri yang dikuasai fasis itu. Terbanglah kemari! Tanahmu. Tanahku, walau segenggam, menunggu di sini!”

Tak terlalu sulit untuk memenuhi keinginannya. Ada orangorang gereja yang siap membantu mencarikan pembeli. Juga sanaksaudara, sekalipun mereka harus mendekatiku dengan hati-hati. Cecunguk di mana-mana. Tiba-tiba, datang lagi surat dari dia. Singkat. Memerintah: jangan berangkat dulu! Keadaan tidak aman. Maksudnya apa, aku tak tahu. Tunggu kabar selanjutnya, katanya. 
Padahal rumah sudah terjual. Terpaksa aku mengontrak rumah selama setahun. Kabar susulan dari dia belum juga muncul selama setahun.

Aku berniat baik, ingin berbuat kebajikan kepada suami yang kucintai. Orang yang sayangnya pada anakku membuat dia dikungkung ketegangan karena merasa bersalah tidak ikut membesarkannya. Tetangga, sanak-famili boleh acuh-tak-acuh, karena takut, namun gereja membukakan pintu untukku. Walau hanya bubungan gereja 
kecil. Di situlah aku tinggal sambil menunggu aba-aba keberangkatan yang akan datang dari daratan impian

Derita tak usah berpanjang-panjang. Sementara keteguhan tak boleh padam. Singkat cerita, aku mendarat di Schiphol. Dia menyambutku di 
pintu ke luar. Dada sesak oleh kebahagiaan. Aku dirangkulnya berlamalama. Lantas mendorong barang bawaanku menuju kereta api.

Rumahnya agak di tepi Amsterdam. Masyarakatnya terdiri dari berbagai ras. Orang Suriname yang paling banyak. Ruang tamunya cukup lega, dua kamar tidur, lengkap dengan dapur dan kamar mandi yang memadai. Terletak di lantai delapan. Dari kawan-kawan terdekatnya, terutama peranakan, kuperoleh keterangan bahwa kesengsaraan, berupa stres yang dia tanggungkan, bertambah buruk. Apa pun aku akan dan harus menemaninya. Sebagaimana aku harus membesarkan 
anakku, maka aku juga harus mendampinginya walau ajal menanti.

Dia sering merenung. Matanya acap kali menerawang kosong ke luar jendela. Jarang sekali dia memulai percakapan. Hatiku melambung bahagia ketika anakku liburan dan mengunjungi kami. Ketika dia masih duduk di sekolah dasar, dengan susah-payah aku melerai kemarahannya terhadap ayah yang dia tuduh tidak 
bertanggung jawab, meninggalkannya. Menyia-nyiakan ibunya. Bersenang-senang di luar negeri sana.

Di meja makan. Menjelang tidur. Terkadang saat sedang belajar, kalau momennya kena, kukatakan bahwa ayahnya tidak bersalah. Tak bisa pulang membesarkan dan menyekolahkannya bukan pilihannya. Susah-payah aku menjelaskan kepadanya, bahwa ada kekuasaan yang 
begitu buruk rupanya, sehingga sampai hati memisahkan seorang anak tunggal dari ayahnya.Han, sekarang sudah terbebas dari siksa di masa kecilnya.Selain penjelasan berulang-ulang yang kusampaikan, dia juga menjadi matang dengan jalan yang dia temukan sendiri. Terutama oleh dunia yang bisa dia arungi lewat Google. Bagaimana pun kekuasaan mencoba berbohong dan menutupi kejahatannya, terbongkar juga di dunia maya.

Han membuat dadaku mongkok. Setelah dewasa, dia berubah 
dalam bersikap terhadap papinya. Suamiku yang tetap tumpul. Terkungkung dalam jiwa yang remuk. Setelah putra tunggal kami itu kembali ke Australia, ketegangan yang dialami suamiku bukannya mengendur. Bercakap-cakap di taman, di meja makan, di tempat tidur, dia tak habis-habisnya mengutuk dirinya sendiri. Karena ucapan anaknya yang masih kecil, bahwa dia bukan seorang ayah yang bertanggung jawab

Sudahlah. Dengarlah baik-baik. Tuduhan anakmu itu ‘kan kau dengar dari kawan-kawanmu di Tiongkok ‘kan? Sama seperti kau 
juga dengar bahwa aku menjual diri kepada lelaki lain. Aku tak memedulikan omong-kosong orang. Kalau kumasukkan ke dalam 
hati, aku bisa gila. Dengarlah baik-baik. Selama Han bersama kita di sini, dia memanggilmu Papi. Papi…! Kau ingat ‘kan? Tidakkah kau bisa menafsirkan sebutannya padamu itu sebagai tanda permintaan maaf. Bahwa kau adalah ayahnya yang baik. Bahwa kau tak pulang-pulang bukan lantaran kehendakmu.

”Tapi, dia cuma membatu. Tak bergetar. Apa yang berkecamuk di dalam hatinya, aku tak tahu. Matanya tetap nanar menatapku.
***
Hatiku terasa teduh. Dan dia kelihatan lebih tenang. Cuma matanya yang terus memandangiku dengan ganjil. Seakan-akan aku 
bukan istrinya. Sebentar-sebentar dia melongok ke jendela.

“Sudah potong kuku. Sudah mandi. Sudah sarapan. Kita tinggal 
tunggu. Nanti dokter akan datang,” bujukku. Saya pamit mau membuang sampah, menyiram tanaman di beranda, mencuci piring, dan merapikan ruang tamu.

Di beranda aku merawat taman kami yang mungil, sekitar setengah kali dua meter. Di situ kutanam ros, juga dua pohon pisang, agar Indonesia tidak terlalu jauh dari kami.

Telepon berdering. “Saya psikiater yang akan mengunjungi suami Nyonya. Apakah dia baik-baik saja?” kata yang menelepon.

“Dia baik. Baik, Dokter,” sahutku.“Tunggu ya.”

Aku membersihkan kamar mandi. Menggosok toilet. Ketika menjinjing vacuum cleaner ke kamar tidur, aku disentak gordin yang 
berkibar sejadi-jadinya disapu angin. Jendela ternganga. Tempat tidur melompong. Aku berteriak memanggilinya. Tak ada jawaban. Aku lari ke kamar mandi. Dia tak ada di situ. Toilet kosong. Secepat petir pikiranku terbang. Suara orang yang menelepon, yang mengaku psikiater, tadi kayaknya mirip suaranya. Kudorongkan kepalaku keluar jendela. Memanggil-manggil namanya ke samping, ke bawah. “Di mana kau… Di mana…?!”

Kukunci seluruh ruangan. Cepat aku melangkah ke lift. Kupencet angka nol di panel. Begitu keluar dari lift, kudengar jeritan 
ambulans yang merapat di ujung apartemen. Beberapa orang terlihat mengerubung di sekitar jasad yang ditutup selimut. Aku tak tahu sekuat apa aku menjerit. Sebesar apa mulutku terkuak menyerukan namanya: “Ang …! Aaaang …!” Aku terjerembab di sampingnya. Jarijemarinya masih mengepal tanah merah berbalut kain putih. Di dekatnya ada secarik kertas yang berkata: Tanah Air Indonesia. Kalau terjadi apa-apa tolong hubungi istriku, An Sui. Ini nomor teleponnya.

Kegiatan 3

jawablah pertanyaan di 
bawah ini.
1. Temukan arti kosakata di bawah ini dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

a. teduh-=tenang; aman

b. ganjil=lain daripada yang lain; tidak sebagaimana biasa; aneh; ajaib

c. tubir=tepi sesuatu

d. igauan=perkataan yang bukan-bukan; omong kosong; ocehan

e. membelenggu=ikatan (sehingga tidak bebas lagi)

f. kesengsem= menyukai

g. titimangsa= tanggal

h. buntalan=bungkusan

i. acuh tak acuh= takpeduli

j. terkungkung=terbelenggu, terkurung

2. Jawablah pertanyaan- pertanyaan di bawah ini untuk menggali unsurunur ekstrinsik berupa nilai-nilai yang terkandung dalam cerpen “Tanah Air” karya Martin Aleida! 

a. Nilai moral biasa disebut juga dengan etika, yaitu penilaian baik buruknya perilaku seseorang. contohnya ada manusia yang jujur, rendah hati, punya integritas, punya kepedulian kepada sesama. Tunjukkan salah satu nilai moral yang terkandung dalam cerpen “Tanah Air” kemudian berikan bukti pendukungnya!

b. Nilai sosial berkaitan dengan bagaimana seorang manusia menjalin hubungan dengan manusia lain dalam suatu masyarakat. Interaksi yang terjalin dalam masyarakat tersebut kadang memunculkan nilai­nilai kebaikan, kemanusiaan, sikap saling tolong, kadang juga konflik. Tunjukkan salah satu bentuk nilai sosial yang terdapat dalam cerpen “Tanah Air” kemudian berikan bukti secukupnya!

c. Nilai budaya berkaitan dengan kebiasaan atau tradisi yang berlangsung di suatu masyarakat yang mungkin tidak berlaku di masyarakat lain. Budaya tersebut mengikat masyarakat yang ada di dalamnya dan seharusnya dihormati oleh masyarakat yang tidak ada dalam lingkaran budaya tersebut. Contoh nilai budaya seperti suku Badui yang sangat memegang teguh ajaran pada sukunya seperti menggunakan pakaian hitam atau putih. Adakah nilai budaya pada cerpen “Tanah Air” karya Martin Aleida? Jika ada maka tunjukkanlah dan berikan bukti secukupnya!

d. Nilai politik berkaitan dengan bagaimana suatu masyarakat hidup dalam aturan dan ketentuan suatu negara dan pemerintahannya. Tunjukkan bagian dari cerpen “Tanah Air”yang merupakan nilai politik! Sertakan dengan buktinya!

e. Nilai agama berkaitan dengan aturan dan ketentuan dari agamaagama yang ada yang nilainya berbeda antara masing­masing agama. Ketentuan atau aturan tersebut harus dipatuhi oleh para pemeluknya. Adakah nilai agama yang terdapat dalam cerpen “Tanah Air” karya Martin Aleida? Jika ada tunjukkan bukti kutipannya!

a)Nilai moral yang terkandung dalam cerpen “Tanah Air” seperti pentingnya permintaan maaf saat kita berbuat salah. Bukti: Tidakkah kau bisa menafsirkan sebutannya padamu itu sebagai tanda permintaan maaf. Bahwa kau adalah ayahnya yang baik. Bahwa kau tak pulangpulang bukan lantaran kehendakmu.” Penjelasan: Bahwa ketika kita 
berbuat salah harus ada permintaan maaf. Han secara tidak langsung sudah meminta maaf kepada ayahnya karena dulu dia menuduh ayahnya sebagai seorang ayah yang tdak bertanggung jawab.

b) Nilai sosial yang terkandung dalam cerpen “Tanah Air” seperti ketidakpedulian tetangga dan keluarga terhadap kondisi dan permasalahan orang lain. 
Bukti: Tetangga, sanak-famili boleh acuh-takacuh, karena takut, namun gereja membukakan pintu untukku. Walau 
hanya bubungan gereja kecil. Di situlah aku tinggal sambil menunggu abaaba keberangkatan yang akan datang dari daratan impian. Penjelasan:rasa saling membantu yang dilakukan oleh gereja kepada An Sui ketika dia telah menjual rumah dan hartanya tetapi suaminya menyuruhnya menunda keberangkatan ke Belanda.

c) Nilai budaya yang terkandung dalam cerpen “Tanah Air” adalah tokoh menggunakan nama-nama keturunan Tionghoa seperti Ang Sui. 
Bukti:Tanah Air Indonesia. Kalau terjadi apa-apa tolong hubungi istriku, An Sui. Ini nomor teleponnya. Penjelasan: penggunaan nama yang khusus menunjukkan suatu keturunan dari ras tertentu adalah bagian dari nilai budaya. 

d) Nilai politik yang terkandung dalam cerpen “Tanah Air” adalah adanya konflik politik di Tiongkok pada saat pemimpin Tiongkok Mao Zedong ingin meluruskan ajaran komunisme. 
Bukti: Menurut cerita kawankawannya itu pula, ketika Revolusi Kebudayaan membanjir di seluruh daratan Tiongkok, dia acapkali termenung, tak percaya akan apa yang dia saksikan. Penjelasan: terjadi pergolakan politik di Tiongkok ketika Mao Zedong ingin meluruskan ajaran komunis sosialisme di Tiongkok yang berakibat pergolakan politik di sana.

e) Nilai agama yang terkandung dalam cerpen “Tanah Air” adalah adanya agama tertentu yang dianut oleh tokoh yaitu agama Katolik atau Kristen.
Bukti: Walau hanya bubungan gereja kecil. Di situlah aku
tinggal sambil menunggu aba-aba keberangkatan yang akan datang dari daratan impian. Penjelasan: keberadaan agama adalah bukti bahwa ada nilai agama dalam cerpen tersebut. 

Sebagai Referensi ( MG Tiara Ning Tyas )

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved