Lembaga Analis yang Berbasis di Jogja Sampaikan Persepsi Netizen atas Pemilu 2024

Pembicaraan terkait pemilihan umum (pemilu) 2024 terus berkembang pasca pencoblosan dan pembicaraan tersebar tidak hanya di pemberitaan,

Penulis: Almurfi Syofyan | Editor: Kurniatul Hidayah
TRIBUNJOGJA.COM/Almurfi Syofyan
Suasana rilis analisis sebulan pasca pemilu yang dilaksanakan oleh Pares Indonesia di Tetra Coffee, Yogyakarta, Senin (1/4/2024). 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Pembicaraan terkait pemilihan umum (pemilu) 2024 terus berkembang pasca pencoblosan dan pembicaraan tersebar tidak hanya di pemberitaan, namun juga di media sosial salah satunya X (dulu twitter).

Pares Indonesia sebagai lembaga analis yang berbasis di Yogyakarta memotret berbagai wacana yang menjadi perbincangan sebulan terakhir pasca pencoblosan di media sosial X.

Hasil pemotretan tersebut disampaikan oleh Pares Indonesia melalui rilis analisis yang disampaikan di hadapan awak media di Tetra Coffee, Yogyakarta, Senin (1/4/2024) sore.

Baca juga: Masyarakat Antusias Sambut Gerakan Pangan Murah di Kemantren Umbulharjo Kota Yogyakarta

Pada kesempatan itu, hadir pula Ahli Tata Kelola Pemilu yang juga akademisi UGM, Mada Sukmajati dan Head of Research Department Pares Indonesia yang juga Akademisi UGM, Arga Pribadi Imawan sebagai narasumber.

Rilis analisis tersebut dimoderatori oleh Devy Dhian Cahyati yang juga tercatat sebagai Koordinator Research Department Pares Indonesia.

Peneliti Pares, Fandy Arrifqi, memberikan pengantar bahwa di media sosial X pada rentang waktu 14 Februari 2024 hingga 20 Maret 2024, kata kunci Prabowo dan Gibran banyak mendapat perhatian dari netizen.

Dalam paparannya, sentimen negatif mendominasi percakapan di X.

Percakapan bersentimen negatif ini terdiri dari pembahasan dugaan kecurangan pemilu, dugaan keterlibatan Jokowi hingga sentimen politik dinasti.

Sementara, percakapan positif, terdiri dari cuitan ucapan selamat dan pencapaian Gibran sebagai Wali Kota Solo.

Ia juga menyinggung jika apa yang diperbincangkan oleh netizen lebih banyak muncul nama Prabowo ketimbang Gibran.

"Artinya, Prabowo lebih banyak mendapat spotlight dari netizen," ucapnya saat menyampaikan analisis.

Head of Research Department Pares Indonesia, Arga Pribadi Imawan mengatakan, dua poin utama yang bisa ditarik dari data yang disampaikan bahwa person Prabowo dan Gibran menarik perhatian.

"Narasi atau bahasa yang muncul dalam tweet netizen untuk Prabowo dan Gibran itu sebetulnya negatif, tapi engagementnya tinggi dan melahirkan premis bagi saya, walau narasi yang diungkapkan negatif selama engagement tinggi maka berpeluang untuk memenangkan kontestasi," ucapnya.

Menurutnya, konsep politik yang mencuat akhir-akhir ini bisa disebut dengan konsep political drama yaitu konsep politik yang membangun rasa kedekatan pada audiens.

"Ini terkonfirmasi ketika kita melihat nuansa negatif yang muncul ke Prabowo dan Gibran justru secara efek itu membangkitkan kedekatan netizen dengan paslon Prabowo-Gibran," tukasnya.

Sementara itu, Ahli Tata Kelola Pemilu yang juga Akademisi UGM, Mada Sukmajati menyampaikan pada Pemilu 2024 ini, polarisasi tidak sekuat pada dua gelaran pemilu sebelumnya.

"Polarisasi di pemilu ini tidak setajam di pemilu sebelumnya, yang berbeda dari pemilu 2024 ini dengan dua pemilu sebelumnya adalah polarisasi. Di dua pemilu sebelumnya polarisasi kuat dan pemilu 2024 tidak terlalu," ujarnya.

Kemudian, dia berpendapat bahwa kemenangan pasangan Prabowo-Gibran di Pilpres 2024 terlihat tidak terlalu semarak.

"Saya melihat pemilu 2024 cenderung tenang. Kesan saya, euforia kemenangan Prabowo-Gibran tidak besar," katanya.
 
Menurutnya, kebanyakan masyarakat dari berbagai elemen masih menunggu karena ada gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK) dan isu bergulirnya hak angket di DPR-RI

"Ini menarik untuk didiskusikan kenapa euforia ini tidak berkembang padahal menang satu putaran," jelasnya.

Sekadar pemantik, lanjutnya, dia melihat ada dua kemungkinan euforia kemenangan Prabowo-Gibran tak terlalu meriah.

"Pertama masyarakat menganggap terpilihnya Prabowo-Gibran adalah keberlanjutan jadi tak ada perubahan yang signifikan," ucapnya.

Kedua, adanya anggapan ketidakpastian di kalangan masyarakat karena faktor perekonomian yang mendapat tekanan dari luar. (Mur)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved