Malam 1 Suro di Jogja
Apa Itu Tradisi Mubeng Beteng? Begini Sejarahnya : Intropeksi Diri Menuju Warsa Anyar
Tradisi atau ritual Mubeng Beteng dilakukan sebagai bentuk tirakat atau pengendalian diri dan memohon keselamatan kepada Tuhan YME.
Penulis: Bunga Kartikasari | Editor: Bunga Kartikasari
TRIBUNJOGJA.COM - Setelah dua tahun ditiadakan karena pandemi Covid-19, tradisi Tapa Bisu Lampah Mubeng Beteng di Keraton Yogyakarta kembali digelar pada Rabu 19 Juli 2023.
Dilansir Tribunjogja.com dari Instagram @kratonjogja, Hajad Kawula Dalem Mubeng Beteng Keraton Yogyakarta dilaksanakan pada Rabu (19/7/2023) pukul 21.00 WIB di Kagungan Dalem Bangsal Ponconiti.
Tapa Bisu Lampah Mubeng Beteng ini menjadi tradisi yang sudah berlangsung sejak abad ke-6 sebelum Mataram-Hindu.
Tradisi turun temurun ini, masih dilestarikan hingga sekarang.
Tradisi atau ritual ini dilakukan sebagai bentuk tirakat atau pengendalian diri dan memohon keselamatan kepada Tuhan YME.
Pada malam itu, mubeng benteng dilakukan dengan berjalan kaki mulai dari Keraton Yogyakarta, alun-alun utara, ke daerah barat (Kauman), ke selatan (Beteng Kulon), ke timur (Pojok Beteng Wetan), sampai ke utara lagi dan kembali ke Keraton.
Dalam tradisi ini, peserta ritual akan berjalan kaki mengelilingi benteng Keraton Yogyakarta.
Baca juga: INFO Acara Mubeng Beteng 2023 Kraton Jogja: Jadwal, Titik Start, Rute, Aturan Busana
Siapa saja yang boleh ikut Mubeng Beteng?

Sejauh ini, tradisi Mubeng Beteng bisa diikuti oleh masyarakat.
Saat menjalani ritual, peserta tidak diperbolehkan berbicara atau tapa bisu.
Tapa bisu mubeng beteng dilakukan pada tengah malam hingga dini hari.
Ritual ini dimulai saat lonceng Kyai Brajanala di regol Keben dibunyikan sebanyak 12 kali.
Selanjutnya, abdi dalem dan warga berjalan kaki sejauh kurang lebih lima kilometer mengelilingi benteng Keraton Yogyakarta.
Bagian terdepan rombongan ritual mubeng beteng merupakan abdi dalem yang mengenakan pakaian Jawa tanpa keris dan alas kaki.
Mereka berjalan sambil membawa bendera Indonesia dan panji-panji Keraton Yogyakara. Di belakang abdi dalem terdapat warga.
Selanjutnya, abdi dalem dan warga peserta kiran berjalan kaki sejauh kurang lebih lima kilometer mengelilingi benteng Keraton Yogyakarta.
Rute Mubeng Beteng berlawanan dengan arah jarum jam. Dimulai dari Plataran Keben, kemudian peserta ritual melewati Jalan Rotowijayan, Jalan Kauman, Jalan Agus Salim, Jalan Wahid Hasyim, dan Jalan Suryowijayan.
Kemudian melintasi pojok Beteng Kulon, Jalan MT Haryono, Jalan Mayjen Sutoyo, pojok Beteng Wetan, Jalan Brigjen Katamso, Jalan Ibu Ruswo, dan Alun-alun Utara.
Dari Alun-alun Utara, peserta ritual kembali ke Plataran Keben.
Sebelum mubeng beteng dimulai, terlebih dulu dibacakan tembang-tembang Macapat dari Bangsal Srimanganti Keraton Yogyakarta, yang menggambarkan doa-doa.
Baca juga: Mengenal Pantangan Malam Satu Suro atau 1 Suro yang Dipercaya Terbukanya Gerbang Gaib
Sejarah Tradisi Mubeng Beteng

Dari laman Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, tradisi Mubeng Beteng merupakan upacara resmi Keraton Yogyakarta sejak pada pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono.
Awalnya, Mubeng Beteng dilaksanakan oleh para abdi dalem.
Namun, seiring waktu, masyarakat juga bisa turut serta dalam ritual ini.
Sumber lain menyatakan bahwa Mubeng Beteng merupakan tradisi asli Jawa yang berkembang pada abad ke-6 sebelum Kerajaan Mataram Hindu.
Tradisi Jawa ini disebut muser yang berarti mengelilingi pusat, seperti sentra desa tertentu.
Sumber sejarah lain mengatakan, Mubeng Beteng merupakan tradisi Jawa-Islam yang dimulai ketika Kerajaan Mataram membangun benteng mengelilingi kerajaan atau keraton yang kemudian selesai pada tanggal 1 Suro 1580.
Tradisi Mubeng Beteng dikenal ritual Tapa Bisu, lantaran selama mengelilingi keraton, peserta kirab dilarang berbicara satu sama lain, alias membisu.
Mereka juga dilarang makan dan minum selama ritual berlangsung.
Tapa Bisu merupakan simbol keprihatinan serta instropeksi masyarakat Yogyakarta dalam menyambut tahun baru.
Dalam Tapa Bisu, peserta melakukan intropeksi diri atas apa yang telah diperbuat selama setahun yang lalu.
Kemudian, menjadi pengingat untuk memperbaiki diri di tahun yang akan datang.
Apa Makna tradisi Mubeng Beteng?

Prosesi Mubeng Beteng terinspirasi oleh perjalanan hijrah Nabi Muhammad SAW dan sahabat, dari Mekkah ke Madinah, seperti dikutip dari laman Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta.
Perjalanan hijrah Nabi Muhammad SAW dan para sahabat tersebut penuh keprihatinan dan perjuangan di tengah gurun pasir yang panas.
Peristiwa bersejarah dalam Islam tersebut menjadi pengingat masyarakat dalam menyambut tahun baru yang jauh dari hingar bingar.
Mubeng Beteng dilakukan secara hikmat, hening, dan senyap untuk momentum instropeksi dan refleksi diri selama satu tahun sebelumnya.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, pihak Keraton Yogyakarta meniadakan tradisi Mubeng Beteng karena pandemi Covid-19.
Tapa bisu dalam Mubeng Beteng

Dilansir dari laman Kompas.com, tradisi Mubeng Beteng dikenal ritual Tapa Bisu, lantaran selama mengelilingi keraton, peserta kirab dilarang berbicara satu sama lain, alias membisu.
Mereka juga dilarang makan dan minum selama ritual berlangsung.
Tapa Bisu merupakan simbol keprihatinan serta instropeksi masyarakat Yogyakarta dalam menyambut tahun baru.
Dalam Tapa Bisu, peserta melakukan intropeksi diri atas apa yang telah diperbuat selama setahun yang lalu. Kemudian, menjadi pengingat untuk memperbaiki diri di tahun yang akan datang.
Kenapa tradisi Mubeng Beteng tidak dilaksanakan di Malam Satu Suro?

Melansir dari wisatabudayaku.sv.ugm.ac.id, secara adat tradisi, masyarakat Jawa khususnya di lingkungan keraton masih menggunakan kalender tersebut sebagai patokan.
Kalender Jawa sendiri memiliki sistem yang hampir mirip dengan Kalender Hijriah. Pembedanya adalah perhitungan matematisnya.
Secara kebetulan, 1 (satu) Suro sering bersamaan dengan 1 Muharram pada kalender Hijriah.
1 Suro atau Tahun Baru Islam 1 Muharram 1441 jatuh pada hari Minggu, 1 September 2019.
Bagi orang Jawa, Malam 1 Suro dinilai memiliki makna mistis yang lebih dibandingkan hari-hari atau malam-malam biasanya.
Di malam 1 Suro, bagi para penganut Kejawen (kepercayaan tradisional masyarakat Jawa) merupakan malam yang cocok untuk melakukan ritual yang bisa digunakan untuk menginstropeksi diri, ada beberapa kegiatan yang biasanya dilakukan di waktu malam 1 Suro.
Keraton Surakarta misalnya, pada malam 1 Suro biasanya akan menjamas (memandikan) pusaka-pusaka keraton termasuk mengirab kerbau bule, Kiai Slamet.
Sementara di Yogyakarta, ada tradisi jamasan dan tradisi mubeng beteng Keraton Yogyakarta.
Tradisi mubeng beteng juga disebut dengan tradisi topo (tapa atau bertapa) bisu atau puasa berbicara.
( Tribunjogja.com / Bunga Kartikasari )
Mubeng Beteng
Tapa Bisu
Sejarah Mubeng Beteng
Makna Mubeng Beteng
Tapa Bisu Lampah Mubeng Beteng
Keraton Yogyakarta
tradisi Jawa
ritual
Malam Satu Suro
Satu Suro
Kirab Malam 1 Suro
ritual malam 1 suro
Malam 1 Suro
Jadwal dan Rute Kirab 1 Suro 2025 di Solo: Tradisi Pusaka Mangkunegaran dan Keraton Kasunanan |
![]() |
---|
JADWAL Malam 1 Suro di Jogja Hari Ini Kamis 26 Juni 2025: Mubeng Beteng Lampah Ratri Jenang Suran |
![]() |
---|
5 RANGKAIAN RITUAL Malam 1 Suro di Jogja: Ada Tapa Bisu, Jamasan Pusaka, Lampah Ratri, Jenang Suran |
![]() |
---|
INFO Lampah Budaya Mubeng Beteng Malam 1 Suro Kraton Jogja 26 Juni 2025 Tepat Malam Jumat Kliwon |
![]() |
---|
INFO Acara Ritual Mubeng Beteng Malam 1 Suro Besok Kamis 26 Juni 2025 di Jogja, Cek Jadwalnya |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.