Berita Wonosobo
Ini Kisah-kisah Suka Duka Relawan Kabupaten Wonosobo
Kabupaten Wonosobo merupakan daerah rawan akan bencana. Karenanya, kabupaten penghasil produk khas Carica ini memiliki ribuan relawan.
TRIBUNJOGJA.COM, WONOSOBO - Kabupaten Wonosobo merupakan daerah rawan akan bencana. Karenanya, kabupaten penghasil produk khas Carica ini memiliki ribuan relawan yang siap mengamankan bencana yang terjadi.
Sekitar pertengahan tahun ini, tepatnya 8 Juni 2022 silam, Bupati Wonosobo Afif Nurhidayat telah mengukuhkan 3.500 sukarelawan tangguh dan tanggap bencana alam di 265 desa.
Menjadi seorang relawan tidaklah mudah. Di saat orang keluar menghindari bencana seorang relawan justru masuk ke dalam wilayah bencana.
Setiap relawan memiliki kisah tersendiri dalam mengemban tugas kemanusiaan yang muncul atas keinginan dari dalam hatinya.
Habib, misalnya, sebagai Ketua RPB Kecamatan Kaliwiro mengaku, sudah menjadi relawan sejak 2014 silam.
Awal mulai menapaki dunia kerelawanan bermula keikutsertaannya dalam Saka Wira Kartika Kodim 0704/Banjarnegara, dan aktif pramuka semasa sekolah.
"Pertama kali terjun masih banyak penasaran dan ketakutan tersendiri. Dulu, takut ketemu korban apalagi meninggal. Apalagi di dunia bencana, ketika yang lain mengamankan diri tapi kita masuk untuk mengamankan mereka. Alhamdulillah sekarang bertahan sampai sekarang," ucapnya.
Suatu kebanggaan tersendiri ketika seorang relawan dapat menemukan korban bencana dalam keadaan selamat.
"Kalaupun meninggal, setidaknya kita berhasil memberikan kepada keluarga untuk dimakamkan sebagaimana mestinya. Ikut merasa sedih juga apabila korban tidak ditemukan," ungkapnya.
Rasa lelah menjadi seorang relawan sudah menjadi hal biasa atau bahkan karena ketulusan dari lubuk hatinya rasa itu begitu saja hilang.
Relawan lain bernama Rofiq punya cerita juga, saat mengevakuasi pohon beringin yang tumbang di makam Dusun Banjargede, Desa Banjar, Kecamatan Kertek.
Setiap proses evakuasi bencana menjadikan sesuatu kisah tersendiri bagi seorang relawan, dan menjadi sebuah pembelajaran hidup baginya.
"Setiap kejadian bencana yang terjadi tidak pernah bisa diprediksi. Kapasitas bencana besar minimal 1 minggu satu lokasi saja. Kalau bencana kecil pernah 1 hari 3 tempat," ujarnya.
Tidak terkait bencana alam saja, seorang relawan juga ikut berpartisipasi dalam membantu korban Pandemi Covid 19 yang sempat memuncak beberapa tahun lalu.
Keterbatasan dan ketidaksiapan sebagain wilayah di Wonosobo dalam menghadapi pandemi tidak terduga ini, relawan menjadi terdepan dalam keikutsertaan dalam memakamkan para korban Covid-19.
"Kita diberi tugas menjadi tim pemakaman Covid 19 sesuai dengan Prokes. Satu hari 3 kali kita pernah. Meskipun kita ada bayaran, tapi kita melaksanakan tugas dengan sungguh-sungguh," ungkapnya.
“Sejak 2009 atau 13 tahun yang lalu, saya sudah berkecimpung dalam tugas kemanusiaan ini.
Muncul dalam diri sendiri untuk ingin berbuat baik, memperbaiki diri, dan jangan pernah malu untuk berbuat baik, menjadi motivasinya dapat bertahan hingga saat ini,” ucap Ketua RPB Desa Tambi, dan Sub Bidang Emergency di Kecamatan Kejajar.
Tak hanya di Wonosobo saja, Rofiq sudah pernah terjun untuk mengevakuasi korban bencana gempa bumi di Lombok, serta gempa bumi dan tsunami di Palu.
Menjadi seorang relawan mengajarkannya banyak hal, salah satunya menjadi manusia yang senantiasa menghargai sesama.
"Seberapa kuat manusia, seberapa sombong manusia, kalau menghadapi bencana otomatis sama tidak ada perbedaan satu dengan yang lainnya. Dalam situasi bencana tak ada perbedaan kasta, ataupun kekayaan," ungkapnya.
Menurutnya, ada 3 batu loncatan untuk dapat menjadi seorang relawan yang tangguh niat, semangat, dan berangkat.
"Sudah ada niat tidak mau berangkat kan percuma. Sudah semangat hanya menggunakan atribut tidak berangkat kan percuma. Begitu juga sudah berangkat, tapi tidak dilandasi dengan niat ataupun semangat percuma juga," ujarnya.
Meski terlihat tangguh, seorang relawan juga hanyalah manusia biasa. Ada hal-hal yang cukup terkadang membuatnya rapuh.
"Yang membuat relawan rapuh banyak. Salah satunya faktor ekonomi jadi faktor utama, karena kita bekerja tidak untuk mencari bayaran. Kedua ketika kita sudah semangat namun istri tidak mendukung itu jadi titik lemah kita," ucapnya.
Sebuah support sangatlah dibutuhkan seorang relawan. Selama keluarga mendukung, Rofiq mengaku tidak dapat bertugas melebihi totalitas.
"Pernah saat itu saya baru nikah, otomatis istri tidak tahu relawan tugasnya seperti apa. Ditambah ada yang bilang kok mau jadi relawan jauh-jauh dari Wonosobo ke Palu gajinya berapa," ungkapnya.
Namun dengan memberikan pengertian, istrinya dapat memahaminya dan bahkan mendukungnya setiap akan melaksanakan tugas kemanusiaan.
Rofiq berharap, masyarakat Wonosobo untuk selalu waspada dengan situasi bencana yang bisa kapan saja terjadi.
"Untuk relawan lebih banyak ketemu masyarakat, beri sosialisasi, mitigasi bencana, dan penanganan bencana," imbuhnya. (*)