Setelah Tolak Joe Biden, Arab Saudi Bersiap Sambut Xi Jinping di Riyadh

Presiden China Xi Jinping akan berkunjung ke Riyadh, Arab Saudi sebelum akhir tahun. China dan Arab Saudi mengembangkan hubungan makin mesra.

Penulis: Krisna Sumarga | Editor: Krisna Sumarga
SCMP / XINHUA
Presiden China Xi Jinping saat melakukan inspeksi pasukan sebelum digelarnya parade perayaan 70 tahun Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat, di Qingdao, Provinsi Shandong, Selasa (23/4/2019). 

TRIBUNJOGJA.COM, BEIJING – Presiden China Xi Jinping diperkirakan akan berkunjung secara resmi ke Arab Saudi sebelum akhir tahun ini.

Kunjungan Xi Jinping itu akan menandai babak baru makin mesranya hubungan China-Saudi dalam berbagai bidang. Kabar ini dipublikasikan situs berita Sputniknews, Selasa (8/11/2022).

Sambutan Saudi juga memperlihatkan perbedaan sikap mereka yang terkesan ogah-ogahan menyambut kehadiran Presiden AS Joe Biden.

Perdagangan Tiongkok-Saudi terus meningkat sejak mereka menjalin hubungan pada 1990, dengan China membeli 27 persen ekspor minyak Saudi tahun lalu.

Pada akhir 2021, perdagangan bilateral tahunan berjumlah $87,31 miliar. Antara Januari dan Agustus 2022, Saudi Aramco mengirimkan rata-rata 1,76 juta barel per hari minyak ke China.

Baca juga: Terpilih Kembali Pimpin PKC, Xi Jinping Bertekad Bawa China Makin Kuat

Baca juga: Lewat Sambungan Telepon Selama 17 Menit, Xi Jinping Minta AS Tak Bermain Api Soal Konflik Taiwan

Riyadh telah lama mendukung posisi China dalam isu-isu utama, termasuk kedaulatannya atas Taiwan dan kebijakan deradikalisasi di Xinjiang.

Berbicara pada pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Faisal Bin Farhan Al Saud dari Arab Saudi bulan lalu, Menlu China Wang Yi mengatakan Beijing sangat mementingkan pengembangan hubungan dengan Arab Saudi.

China menjadikan Arab Saudi sebagai prioritas dalam keseluruhan diplomasi, khususnya diplomasi di Timur Tengah.

“China juga menghargai upaya Arab Saudi atas kebijakan energi independen dan upaya aktifnya untuk menjaga stabilitas di pasar energi internasional,” kata Wang.

Ia menambahkan China mendukung Arab Saudi dalam memainkan peran yang lebih besar dalam urusan internasional dan regional.

CHina memperkuat komunikasi dan koordinasi dengan Arab Saudi pada isu-isu panas di Timur Tengah, untuk bersama-sama menegakkan perdamaian dan stabilitas regional.

Tujuan tersebut secara luas mencerminkan hasil pertemuan puncak antara China dan Dewan Kerjasama Teluk pada September.

Pertemuan secara khusus memperhatikan akses biji-bijian untuk negara-negara Arab yang terancam oleh hilangnya ekspor Ukraina pada khususnya.

Pengiriman tersebut sebagian telah dilanjutkan kembali, meskipun mereka berhenti baru-baru ini ketika pasukan Kiev menggunakan koridor ekspor itu untuk melancarkan serangan pesawat tak berawak ke kota Sevastopol di Rusia.

Perjalanan prospektif Xi Jinping ke Riyadh akan dilakukan setelah Xi hadir dalam KTT G-20 di Bali, Indonesia.

Ini akan menjadi perjalanan pertama Xi Jinping ke luar negeri sejak pandemi Covid-19 dimulai pada awal 2020.

Dia juga diharapkan menghadiri Ekonomi Asia-Pasifik KTT kerjasama di Bangkok, Thailand, segera setelah itu, dan untuk bertemu langsung Joe Biden di salah satu dari dua acara.

 

Jonathan Fulton, asisten profesor ilmu politik di Universitas Zayed yang berbasis di Abu Dhabi menilai Saudi tidak mencoba untuk mempermainkan Washington.

Tapi Beijing bereaksi terhadap kebijakan luar negeri biner Washington di mana suatu negara berada di pihak Amerika atau di pihak Cina-Rusia.

“Saudi tidak berusaha mempermainkan satu sama lain tetapi benar-benar berusaha memperdalam apa yang mereka dapatkan dari kedua belah pihak,” katanya.

“AS memiliki biner ini sekarang, di mana persaingan strategisnya: bekerja dengan kami atau bekerja dengan China. Tetapi sebagian besar aktor di Teluk tampaknya tidak melihatnya seperti itu,” lanjutnya.

Meskipun telah menjadi sekutu setia sejak akhir Perang Dunia II, hubungan Washington dengan Riyadh mulai berkurang sejak Presiden AS Joe Biden menjabat pada Januari 2021.

Sebagai seorang kritikus keras Putra Mahkota Saudi Mohammad bin Salman, Joe Biden bergerak untuk membatasi penjualan senjata ofensif ke kerajaan.

Washington menerbitkan dokumen CIA yang menuduhnya berada di balik pembunuhan 2018 terhadap Jamal Khashoggi.

Khasoggi ini seorang jurnalis Turki-Saudi yang dikabarkan terkait aktivitas Ikhwanul Muslimin. Riyadh membantah tuduhan itu.

Hubungan semakin memburuk ketika Biden mengumumkan boikot produk energi Rusia pada Maret 2022.

Saudi menolak permintaan AS untuk meningkatkan produksi minyak dan menurunkan harga minyak.

Baru-baru ini, kartel minyak OPEC bahkan mengumumkan akan memangkas produksi alih-alih memperluasnya.

Gedung Putih menggambarkan keputusan itu sebagai berpandangan sempit dan sesat, dan bahwa itu mungkin akan menarik pasukan AS dari Saudi.

Sehari setelah Biden mengumumkan boikot dan mendesak Riyadh untuk memperluas produksi, Saudi Aramco mengumumkan proyek baru kerjasama dengan China.

Perusahaan Grup Industri Kimia Huajin Utara China dan Grup Industri Panjin Xincheng akan membangun kompleks petrokimia baru yang besar di timur laut China.(Tribunjogja.com/Sputniknews/xna)

 

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved