Pakar Ulas Xi Jinping vs Hu Jintao dan Narasi Negatif Barat ke China

Mantan Sekjen Partai Komunis China Hu Jintao dikeluarkan dari arena Kongres ke-20 PKC di Beijing saat ia duduk di sebelah Xi Jinping.

Penulis: Krisna Sumarga | Editor: Krisna Sumarga
GREG BAKER / AFP
Presiden China Xi Jinping menyanyikan lagu kebangsaan saat resepsi di Aula Besar Rakyat pada malam Hari Nasional China di Beijing pada 30 September 2021. 

NEWS UPDATE

  • Mantan Presiden China Hu Jintao dikeluarkan dari arena Kongres ke-20 Partai Komunis China
  • Hu Jintao semula duduk di sebelah kiri Presiden China Xi Jinping, sebelum didatangi tiga petugas
  • Xi Jinping menyaksikan detik-detik adegan tersebut sembari tersenyum, saat Hu Jintao berusaha mencolek bahunya
  • Xi Jinping terpilih skembali menjadi Sekjen PKC , dan berpeluang besar melanjutkan kekuasaan di periode ketiga

TRIBUNJOGJA.COM, BEIJING – Pakar geopolitik dan kolumnis Timur Fomenko menyebut spekulasi buruk dikeluarkannya Hu Jintao dari arena Kongres Partai Komunis China didorong media barat.

Polemik dan berbagai tafsir buruk atas peristiwa itu jadi contoh terbaru media barat yang berusaha keras menyoroti semua keburukan tentang China.

Dalam artikel yang diterbitkan Russia Today, Senin 931/10/2022), Timur Fomenko menyatakan, spekulasi pembersihan secara cepat muncul ke publik.  

Sementara, tidak jelas mengapa Hu Jintao dikawal keluar dari arena kongres, dan tidak ada komentar resmi sesudah itu.

Baca juga: Terpilih Kembali Pimpin PKC, Xi Jinping Bertekad Bawa China Makin Kuat

Pada akhirnya spekulasi yang muncul, Hu Jintao sebenarnya telah dibersihkan oleh Xi Jinping. Ia lalu dibandingkan ihwal gaya kepemimpinannya yang lebih kolektif dibandingkan Xi Jinping yang sentralistik.

Gagasan seorang mantan pemimpin nasional, yang sekarang berusia 79 tahun, secara terbuka 'dibersihkan', memang bukanlah hal yang konyol.

Namun, di sinilah kita hari ini dalam hal liputan China kontemporer. Bahkan lebih dari seminggu setelah insiden, artikel media terus mengalir.

Berspekulasi nasib mantan Skjen PKC itu yang menimbulkan paranoia dan citra negatif terhadap China.

Peristiwa itu menepis penjelasan logis Hu Jintao meninggalkan acara tersebut karena kesehatannya yang buruk.

Budaya Gas Lighting Barat

Sikap yang ditunjukkan media barat terhadap 'insiden' Hu Jintao adalah perwakilan dari budaya “gas lighting’ sehubungan semua hal di Tiongkok.

Karena itu, dengan peluang apa pun yang dapat mereka temukan, korporasi media barat akan secara aktif meledakkan isu untuk menciptakan liputan negatif, spekulatif, dan sensasional.

Isu dipelihara dalam jangka panjang  guna mengobarkan perang 'opini publik' melawan Beijing.

Dalam apa yang disebut Timur Fomenko, atmosfer beracun ini, China menjadi sasaran detail kecil dan menjadi sasaran pengawasan yang tidak didapatkan negara lain.

Sejak AS mulai meningkatkan kampanyenya melawan China, perang opini publik telah menyertainya dengan tujuan memajukan tujuan politik AS dengan memanipulasi percakapan global di Beijing.

Baca juga: Xi Jinping Tegaskan Tak Ragu-ragu Kerahkan Militer untuk Paksa Taiwan Kembali ke China

Sekilas jajak pendapat publik di negara-negara barat menunjukkan betapa dahsyatnya dampak kampanye yang dipimpin Washington ini.

Sementara para jurnalis dan pemikir senang penurunan opini positif tentang China sebagai pembenaran pandangan mereka tentang negara itu.

China, dan tindakan Xi Jinping, “buruk”. Ini disengaja sebagai opini publik yang terkonsentrasi dan terorganisir terhadap China oleh jurnalis, politisi, dan pakar yang terkait AS.

Bagian kampanye ini melibatkan pengejaran tanpa henti untuk menyoroti setiap detail kecil menjadi kontroversi dan drama yang berkepanjangan.

Beberapa contoh baru-baru ini (tetapi tidak lengkap) termasuk bagaimana spekulasi tanpa akhir tentang asal-usul Covid-19 digunakan untuk mempersenjatai teori konspirasi mengenai dugaan kebocoran laboratorium di China.

Peran Kemenlu AS

Masalah ini didorong Departemen Luar Negeri AS. Lalu ada kabar hilangnya pemain tenis Peng Shuai di depan umum, perkelahian di luar Kedutaan Besar China di Manchester.

Perselisihan dengan Taiwan, dampak kebijakan nol Covid di China, puing-puing roket China jatuh dari luar angkasa, daftar isu negatifnya terus berlanjut.

Kesamaan dari semua cerita ini adalah bagaimana mereka tidak terjadi begitu saja dan kemudian mati.

Isu-isu ini terus didorong, sampai item berikutnya dalam siklus berita muncul.

Spekulasi apa pun yang menyatakan oposisi terhadap China dengan cara apa pun akan diberikan cakupan maksimum, dengan sengaja.

Hal yang sama tidak dapat dikatakan tentang negara lain. Mengapa, misalnya, beberapa aktivis hak asasi manusia, atau acara protes, diberi publisitas, tetapi tidak yang lain?

Mengapa beberapa penyebab dianggap lebih 'layak'?

Selain itu, peristiwa Hu Jintao juga membantu kita memahami bagaimana ketakutan diskursif dan 'imajinasi publik' komunisme juga digunakan sebagai alat jurnalistik untuk mengubah 'spekulasi' menjadi senjata politik.

Media memainkan asumsi publik tentang kerahasiaan, kebrutalan, dan paranoia China untuk memutarbalikkan situasi yang sangat normal untuk menyiratkan skenario terburuk.

Melalui inilah asumsi Covid-19 tidak mungkin memiliki 'penjelasan alami' mendapatkan begitu banyak legitimasi.

Dalam pola pikir seperti itu, setiap hal kecil dilihat dalam konteks teori konspirasi yang lebih luas dan jahat dengan agenda komunis yang tersembunyi di dalamnya.

Jenis wacana ini juga memungkinkan ketakutan dan paranoia terhadap 'pengaruh Cina' berkembang biak, menciptakan persetujuan untuk kebijakan terkait penahanan.

Salah satu contohnya adalah branding Huawei sebagai ancaman keamanan nasional sehingga bisa dikeluarkan dari jaringan 5G.

Meskipun Huawei berada di jaringan negara-negara barat selama lebih dari satu dekade, Anda mungkin memperhatikan itu bukan ancaman, sampai tiba-tiba datang isu membahayakan.

Begitulah cara kerja manipulasi. Oleh karena itu, “gas lighting” mengenai Hu Jintao tidak lebih dari manipulasi yang disengaja.

Tujuannya mendorong sentimen negatif terhadap China, karena mereka tak ingin Beijing membangun narasinya sendiri mengenai peristiwa itu.(Tribunjogja.com/RussiaToday/xna)

 

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved