Psikolog UII Soroti Proses Penanganan Massa di Tragedi Kanjuruhan: Suporter Bisa Alami Tekanan

Kejadian di Stadion Kanjuruhan juga dapat menimbulkan dampak psikologis tersendiri.

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Gaya Lufityanti
Surya Malang/Purwanto
Ilustrasi. Tragedi Kanjuruhan mempengaruhi para suporter dan orang-orang yang menjadi korban dari berbagai sisi, termasuk sisi psikologis. 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Kerusuhan yang terjadi pada 1 Oktober 2022 lalu di tengah Stadion Kanjuruhan , Malang masih menyisakan duka mendalam bagi insan sepak bola tanah air.

Kejadian itu mempengaruhi para suporter dan orang-orang yang menjadi korban dari berbagai sisi, termasuk sisi psikologis.

Berkaca pada tragedi tersebut, Dr. Phil. Qurotul Uyun, S.Psi., M.Si., Dosen Program Studi Psikologi Universitas Islam Indonesia ( UII ) mengatakan, upaya aparat menangani massa dengan komando minim dan tidak jelas bisa membuat massa panik.

“Tindakan penyemprotan gas air mata mampu membuat psikologis penonton mengalami tekanan,” ujarnya, Sabtu (8/10/2022).

Baca juga: Peduli Pemulihan Kesehatan Mental Tragedi Kanjuruhan, Dinkes Sleman Kirim Tenaga Psikologi ke Malang

Dalam ranah psikologi sosial, ia menilai ketika ada pihak yang menggunakan senjata dalam situasi massa, hal itu dapat membuat penonton bingung dan panik.

Ia kemudian menjelaskan, situasi yang ramai di dalam stadion cenderung membuat para suporter untuk lebih reaktif.

“Jadi, memang namanya kalau di kerumunan itu emosinya meningkat dan identitasnya berubah. Dari identitas individu menjadi identitas massa (kelompok),” ungkapnya.

Pola perilaku penonton yang reaktif itu timbul dari aspek yang beragam. Salah satunya mungkin seperti permasalahan yang ada di sekitar.

Apa yang dilakukan oleh segelintir penonton dapat menjadi pemicu penonton lain mengikutinya.

Qurotul melanjutkan, kejadian di Stadion Kanjuruhan juga dapat menimbulkan dampak psikologis tersendiri.

Dampak psikologis terbesar adalah pada keluarga korban yang ditinggalkan.

Dicontohkan oleh Qurotul, seorang Ibu misal yang harus kehilangan anaknya ketika menonton.

Hal itu akan menimbulkan trauma tersendiri bagi Ibu dan keluarganya.

“Yang ditinggalkan akan mengalami kehilangan tiba-tiba itu sangat berat,” tuturnya.

Selain itu, biasanya juga akan muncul perasaan self blaming atau menyalahkan diri sendiri atas peristiwa yang menimpa anggota keluarganya.

“Perasaan seperti ini pasti muncul. Mereka berandai-andai, seandainya dia bisa melarang anggota keluarganya untuk tidak menonton pertandingan, maka mungkin mereka masih selamat,” terangnya.

Dikatakan Qurotul, perasaan itu, jika tidak ditangani dengan baik akan berdampak buruk bagi pemulihan psikologis keluarga korban.

Untuk menangani hal tersebut, diperlukan usaha untuk melihat seberapa besar dampak psikologis yang ada.

Dampak dari trauma itu sendiri bisa berupa depresi, cemas, dan stress.

Sementara  jika depresi menjadi berkepanjangan,  orang dapat mengalami gangguan kejiwaan lebih berat.

Qurotul menganggap kesedihan akibat peristiwa ini tentu tidak dapat dihindarkan. Hal itu menurutnya menjadi sebuah kewajaran pada setiap manusia.

Akan tetapi yang perlu diperhatikan lebih dalam adalah seberapa cepat orang tersebut dapat bangkit.

“Sedih itu wajar, tetapi setiap orang akan ada yang cepat bangkit kembali, ada pula dalam jangka waktu tertentu,  dan ada yang  membutuhkan waktu lebih lama, ada pula yang berlanjut menjadi gangguan psikologis,” paparnya.

Penanganan psikologis menjadi penting ketika seseorang sulit untuk bangkit.

Dalam ranah psikologi terdapat istilah dukungan sosial yang dapat memberikan penyangga bagi orang yang mengalami tekanan.

Dukungan moral dari teman terdekat menjadi teramat penting di situasi yang segenting itu.

Baca juga: Ada Dugaan Pelanggaran HAM di Kanjuruhan, Komnas HAM Terjunkan Tim Pencari Fakta

“Mereka butuh support psikologis dari sahabat, saya kira itu baik untuk memberikan dukungan. Mereka butuh teman untuk bercerita,” jelas Qurotul.

Ketika dukungan moral telah dilakukan, tentu harapannya kesedihan dan trauma dapat perlahan dikurangi.

Orang yang mengalami musibah membutuhkan teman berbagi, kemudian didengarkan dan diberikan dukungan, biasanya akan berangsur-angsur  membaik.

Hal itu terjadi untuk orang-orang yang kena musibah pada umumnya.

“Tapi, mungkin pada orang tertentu, dukungan orang dekat tidak cukup membantu untuk bangkit, sehingga kemungkinan orang tersebut membutuhkan penanganan psikologis, berarti dia harus dirujuk ke psikolog,” tambah Qurotul.

Selain pendekatan psikologis, penanganan pendekatan religius bisa dilakukan.

Dia menilai, penting untuk setiap orang dapat merefleksikan peristiwa kehilangan.

“Dari peristiwa kehilangan, perlu disadari bahwa yang diharapkan oleh orang yang sudah meninggal itu hanyalah doa, bukan ratapan yang berkepanjangan,” lanjutnya. ( Tribunjogja.com )

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved