BKB Sebut Pembatasan Pengunjung untuk Meluruskan 'Missing Tourism' yang Terjadi di Candi Borobudur
alai Konservasi Borobudur (BKB) menilai pembatasan pengunjung ke struktur candi tidak hanya untuk konservasi cagar budaya melainkan turut sebagai
Penulis: Nanda Sagita Ginting | Editor: Kurniatul Hidayah
Laporan Reporter Tribun Jogja, Nanda Sagita Ginting
TRIBUNJOGJA.COM, MAGELANG - Balai Konservasi Borobudur (BKB) menilai pembatasan pengunjung ke struktur candi tidak hanya untuk konservasi cagar budaya melainkan turut sebagai upaya untuk meluruskan terjadinya 'missing tourism' di kawasan tersebut.
Missing tourism diartikan sebagai kehilangan makna berwisata ke tempat-tempat yang memiliki sisi edukasi seperti, bangunan bersejarah maupun situs warisan dunia.
Kepala Balai Konservasi Borobudur (BKB) Wiwit Kasiyati mengatakan, missing tourism di Candi Borobudur sudah berjalan sejak dulu.
Baca juga: Tarik Minat Pengunjung, Pengelola Wisata di Sleman Diperbolehkan Gelar Atraksi Wisata
"Selama ini, kebanyakan wisatawan ke candi itu hanya datang mengalir (jalan) menuju candi. Kalau bisa belok (menuju tempat lain), kalau tidak ya mengalir, cuma foto-foto ya sudah. Tidak memperoleh edukasi walaupun ada pemandu sulit untuk menjelaskannya," ujarnya pada Senin (06/06/2022).
Ia menambahkan, alasan lain ini pula yang menguatkan dibuat pembatasan pengunjung agar wisatawan yang ingin naik ke Candi Borobudur benar-benar ingin belajar.
"Kami akan merubah paradigma ini menjadi Quality Tourism. Pengunjung wajib mendapatkan edukasi berkualitas dari pemandu yang bersertifikat,"tuturnya.
Terjadinya missing tourism pun diperkuat dari data survei monitoring yang dilakukan terjadap 300 respoenden wisatawan oleh BKB pada 2018 lalu.
Hasilnya menakjubkan, kunjungan wisata ke situs warisan dunia tersebut didominasi untuk keperluan hiburan saja.
"Hiburan itu sekitar 60 persen, lalu 20 persen untuk rekreasi, 8 persen untuk edukasi dan pendidikan, sisanya untuk keluarga. Tak hanya itu, kunjungan ke museum juga minim hanya 0,5 persen dari kunjungan total per tahunnya,"terang Koordinator Publikasi dan Dokumentasi BKB, Isni Wahyuningsih.
Isni menambahkan, pola kunjungan yang seperti itu, membuat pihaknya turut mendapatkan teguran dari UNESCO.
Akibat, minimnya pengalaman yang didapatkan wisatawan setelah berkunjung ke Candi Borobudur.
"Benar kami dapat teguran dua kali dari UNESCO terkait hal tersebut. Mereka (UNESCO) lakukan survei sebanyak 70 persen pengunjung yang telah mengunjungi candi tidak mengetahui sejarahnya. Bahkan, di atas 50 persen pengunjung tidak mengetahui kalau Candi Borobudur merupakan warisan dunia atau tempat ibadah bagi umat Buddha," ujarnya.
Baca juga: Turnamen Pramusim Resmi Bernama Piala Presiden 2022, PSS Sleman Siap Jadikan Ajang Evaluasi
Di sisi lain, pelanggaran yang dilakukan wisatawan terhadap aturan berwisata di candi kerap terjadi.
Di antaranya, menempelkan permen karet pada bebatuan candi, menduduki stupa candi, memasukkan koin pada stupa candi, merokok, parkour, hingga vandalisme.
"Aturan sering dilanggar oleh beberapa wisatawan, bahkan pada 2017 lalu sebanyak 5000 permen karet berhasil dikumpulkan dari candi. Tak hanya itu, bahkan beberapa stupa dilakukan tindakan vandalisme dengan dicoret-coret," tuturnya. (ndg)