Kalangan Akademisi di Yogyakarta Pertanyakan Urgensi Pembatasan Pengajuan PK
Sejumlah akademisi angkat suara soal urgensi pembatasan Peninjauan Kembali (PK) , dalam diskusi "Perlukah Pengajuan Peninjauan Kembali Dibatasi
Penulis: Azka Ramadhan | Editor: Kurniatul Hidayah
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Sejumlah akademisi angkat suara soal urgensi pembatasan Peninjauan Kembali (PK) , dalam diskusi "Perlukah Pengajuan Peninjauan Kembali Dibatasi: Antara Pengebirian Hak Asasi Manusia versus Matinya Rasa Keadilan", di UGM, Yogyakarta, Sabtu (28/5/2022).
Dosen Fakultas Hukum UII, Arief Setiawan mempertanyakan masih adanya pembatasan PK walau Mahkamah Konstitusi telah memberikan ruang untuk lebih dari satu kali.
Artinya, dirinya pesimis para pencari keadilan bisa memperoleh keadilan yang hakiki di sistem hukum dewasa ini.
Baca juga: Daftar Harga HP Xiaomi Redmi Note Mei Terbaru 2022, Redmi Note 9, 10s, 11 Pro
"Banyak pencari keadilan gagal menggapai keadilan yang hakiki, sementara upaya untuk pengungkapan fakta baru kandas dengan aturan yang membelenggu," katanya.
Padahal, PK merupakan salah satu bagian dari upaya hukum luar biasa, di samping upaya kasasi, terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Disebut sebagai upaya hukum luar biasa karena PK hanya bisa dilakukan apabila seluruh upaya hukum biasa, yakni banding dan kasasi, telah dilakukan.
"Sehingga, pada esensinya PK merupakan sarana bagi terpidana atau ahli warisnya, untuk memperoleh keadilan dan melindungi kepentingan terpidana," tandasnya.
Sementara itu, pengajar hukum pidana dari Fakultas Hukum UGM, Sigid Riyanto, menyoroti masih lemahnya pemahaman para hakim pemutus keadilan.
Tak terkecuali, hakim agung dalam mengimplementasikan PK lebih dari satu kali pun turut disorotnya.
Padahal, mengingat pentingnya PK sebagai upaya mencari keadilan bagi terpidana, akhirnya Mahkamah Konstitusi melalui putusan No 34/PUU-XI/2013, mempertegas bahwa pengajuan peninjauan kembali pada perkara pidana tidak seharusnya dibatasi jumlah pengajuannya.
Melalui putusan ini, Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang menguraikan permintaan PK hanya dapat dilakukan satu kali saja, tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Baca juga: HP Realme C31 Dibekali Triple Kamera, RAM 4GB dan Baterai 5.000 mAh, Ternyata Segini Harganya
"Konsekuensi dari putusan ini, terpidana sekarang dapat mengajukan permohonan PK lebih dari satu kali, sepanjang memenuhi persyaratan yang diatur," ucapnya.
Mahkamah Konstitusi, imbuh ia, berkeyakinan, bahwa keadilan tidak dapat dibatasi oleh waktu atau ketentuan formalitas yang membatasi bahwa upaya hukum luar biasa berupa PK ini hanya dapat diajukan satu kali saja.
"Sebab, mungkin saja setelah diajukannya PK dan diputus, ada keadaan baru (novum) yang substansial ditemukan, yang pada saat PK sebelumnya belum ditemukan," katanya. (aka)