Mutiara Ramadhan Tribun Jogja LDNU DIY
TAKBIR
Takbir secara bahasa berasal dari kata kabbara-yukabbiru-takbiran yang berarti membesarkan atau mengagungkan.
Oleh: HM Yazid Afandi, Ketua Tanfidziyah PCNU Kota Yogyakarta, Dosen FEBI UIN Sunan Kalijaga.
TRIBUNJOGJA.COM - Kalimat yang berkumandang di mana-mana begitu Ramadhan berakhir adalah kalimat Takbir.
Takbir secara bahasa berasal dari kata kabbara-yukabbiru-takbiran yang berarti membesarkan atau mengagungkan.
Tentu yang diagungkan adalah Dzat Yang Maha Besar, Allah subhanallah wata'ala. Takbir betul-betul mewarnai peralihan masa dari Ramadhan menuju Syawal.
Umat Islam di berbagai tempat menghidupkan malam hari raya dengan takbir. Ruas jalan di banyak daerah juga dipenuhi pawai takbir.
Dalam shalat id pun kita dianjurkan menambah takbir tujuh kali usai takbiratul ihram dan lima kali saat memasuki rakaat kedua. Prinsipnya seiring dengan berakhirnya bulan yang penuh dengan rahmat Allah itu, umat Islam disunnaahkan untuk terus menerus mengumandangkan seruan pengagungan Allah SWT.
Takbir tentu lebih dari sekadar ucapan dan kata-kata. Di balik anjuran menggemakan takbir ada perintah untuk menganggap kecil, rendah terhadap apapun yang ada di alam fana, karena yang Maha Besar hanya Allah SWT.
Dialah penguasa jagat raya ini. Tak ada satu urusan atau keberadaan pun yang luput dari genggaman-Nya. Ini pula makna dari rabbul 'alamin.
Allah bukan saja Tuhan bagi manusia melainkan Tuhan bagi seluruh eksistensi selain diri-Nya, termasuk hewan, tumbuhan, jin, malaikat, planet-planet, atmosfer, bumi, langit, surga, neraka, dan lain sebagainya.
Konsekuensi dari keyakinan semacam itu adalah timbulnya sikap rendah hati. Mengecilkan segalanya, tak terkecuali diri seseorang, kekayaan dan jabatan, untuk semata-mata mengagungkan-Nya.
Sikap ini sangat sulit dilakukan karena musuh terberatnya bukan saja setan, melainkan juga nafsu diri sendiri. Orang mungkin saja terbebas dari keraguan mengimani keberadaan Allah seyakin-yakinnya tapi belum tentu ia berhasil membesarkan-Nya seagung-agungnya.
Orang bisa saja sangat alim, rajin ibadah, mengklaim membela agama, namun apakah ia sudah benar-benar bersih dari menganggap lebih rendah kepada orang orang lain?
Kita tahu, Iblis terjerumus ke neraka bukan karena ia ingkar atas keberadaan Allah. Iblis tidak ateis.
Mungkin soal ini keimanan Iblis melebihi manusia biasa. Iblis terhempas ke neraka dan menjadi makhluk terkutuk selamanya sebab menolak menghormati Nabi Adam lantaran takabur QS al-Baqarah: 34.
Takabur atau kesombongan telah menggelapkan Iblis untuk mengakui Adam sebagai makhluk Allah yang juga harus dihormati.
Ketika Allah mengeluarkan perintah sujud penghormatan tersebut lalu Iblis menyambutnya dengan penolakan, maka saat itulah Iblis sedang mengingkari Kebesaran Allah.
Iblis membesarkan diri di hadapan Dzat Yang Mahabesar, karena kesombongannya kepada adam. Ia hanya melihat kepada siapa ia hormat tapi tidak mempertimbangkan dari siapa perintah hormat itu keluar.
Ia hanya melihat kepada diri seorang adam, yang menurut iblis tidak lebih baik penciptaannya dari dirinya, tidak melihat Allah SWT yang memerintahkan untuk sujud hormat kepada Adam.
Apa yang diperbuat Iblis bisa juga menimpa manusia meski dalam skala dan konteks yang berbeda. Allah, misalnya, telah memerintahkan manusia memuliakan manusia (QS al-Isra: 70) dan tidak merusak lingkungan (QS al-A'raf: 56).
Saat manusia berlaku sebaliknya maka sejatinya mereka sedang mengikuti jejak Iblis yang durhaka. mereka hanya percaya akan keberadaan Allah tapi "tidak percaya" akan kebesaran dan kekuasan-Nya.
Atau mungkin percaya namun berhenti di mulut atau dalam kadar angan-angan belaka. Mereka berhenti pada seseorang yang menurut mereka layak untuk dihina, tidak mencoba untuk melihat secara mendalam terhadap Dzat Yang memerintahkan untuk selalu menghormati orang lain, sehingga merasa tidak layak menghina orang lain.
Buah dari takbir adalah mengecilkan diri sendiri untuk semata-mata membesarkan Allah. Dampak lazim dari suasana batin ini adalah tidak menganggap orang lain remeh, hina, dungu, goblok dan sebuatan-sebutan rendah lainnya, bukan karena semata-mata melihat orang lain itu, akan tetapi karena menyadari akan kebesaran Dzat dibalik keberadaan orang lain itu.
Kita menyadari bahwa semua ini tak lain adalah hamba Allah rabbul 'alamin. Rasulullah pernah menegur sahabat yang mempermainkan anak burung hingga induknya merasa terganggu.
Sikap mengasihi binatang seperti ini hanya bisa dilakukan ketika seseorang tak lagi sibuk membandingkan dirinya dengan binatang tapi memandang lebih dalam: “siapa yang menciptakan binatang”. Itu pula yang menjadi alasan mengapa Nabi begitu pemaaf dan murah hati terhadap orang-orang kafir yang pernah memusuhinya, bahkan berupaya membunuh beliau.
Takbir Idul Fitri seyogyanya mengantarkan kita pada introspeksi diri tentang sejauh mana kita membesarkan Allah, sejauh mana pula kita mengenal-Nya. Sebuah takbir yang melunakkan hati untuk senantiasa berbuat baik kepada siapa saja atau apa saja. Memandang orang lain dengan kacamata kasih sayang, berhenti menghinakan pihak lain dan menolak perbuatan merusak di lingkungan kita.
Di Indonesia kita beruntung memiliki tradisi halal bihalal yang menjadi momen penguatan hubungan baik sesama manusia. Setelah tak hanya digembleng untuk memenuhi hak-hak Allah selama Ramadhan tapi juga menuntaskan berbagai persoalan hak-hak manusia (haq adami) dengan saling bermaaf-maafan.
Dengan demikian semoga takbir kita tidak hanya menggaung ke angkasa tapi juga membumi dalam wujud cinta kepada sesama. Mari kita buang jauh-jauh menyombongkan diri dan merendahkan orang lain, karena sombong dan merendahkan orang lain adalah sumber petaka bagi pergaulan kita ... Wallahu a'lam.