Mutiara Ramadhan Tribun Jogja LDNU DIY
Bahaya Sikap Takfiri
Tuduhan-tuduhan tersebut bahkan mengarah kepada orang-orang yang kualitas keilmuannya jauh lebih baik daripada yang menuduh.
Oleh: HM Yazid Afandi, Ketua Tanfidziyah PCNU Kota Yogyakarta, Dosen UIN Sunan Kalijaga
TRIBUNJOGJA.COM - Takfiri adalah sikap seseseorang yang mudah menuduh orang lain keluar dari Islam (kafir). Sikap ini tumbuh dari seseorang yang merasa dialah yang paling benar dan paling sesuai dengan Islam.
Seolah dia telah mengapling surga untuk dirinya sendiri dengan memberikan kapling neraka untuk orang lain.
Tuduhan-tuduhan tersebut bahkan mengarah kepada orang-orang yang kualitas keilmuannya jauh lebih baik daripada yang menuduh.
Sejarah telah bercerita kepada kita, bahwa sikap yang mudah menuduh orang lain kafir inilah yang pada giliran selanjutnya akan menjadikan seseorang nekat untuk melakukan lebih dari sekedar menuduh orang lain kafir.
Sahabat Ali RA, meninggal karena dibunuh oleh Abduraahman Ibn Muljam yang sangat getol menuduh Ali telah keluar dari Islam (kafir).
Padahal Abdurahman Ibn Muljam adalah orang yang memiliki amaliah-amaliah ritual bagus. Dia ahli puasa, ahli shalat lail, hafal Alquran dan lain-lain.
Bagusnya amaliah Ibnu Muljam tidak cukup mampu mengendalikan prilaku brutalnya bagi orang lain.
Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali at-Thusi asy-Syafi’i atau yang biasa disapa Imam al-Ghazali adalah salah satu pemikir Muslim yang telah merespons paham takfiri ini secara serius.
Ulama kelahiran Thus tahun 450 H, wafat 14 Jumadil Akhir 505 H, ini merupakan seorang filsuf dan teolog Muslim yang andal.
Gelar "hujjatul Islam" beliau dapatkan sebab kegigihannya dalam melawan keyakinan-keyakinan syubhat dalam masalah aqidah, dan sikap telatennya dalam membantah kerancuan cara berpikir hingga sikap pengkafiran kepada orang lain.
Di antara kitab Imam al-Ghazali yang sering dijadikan referensi oleh umat Islam, adalah Faishalut Tafriqah bainal Islam waz Zindiqah.
Dalam kitab tersebut al-Ghazali menjelaskan secara panjang lebar terkait kesalahan-kesalahan dalam tuduhan kafir terhadap suatu golongan.
Kitab ini ditulis setelah karya monumentalnya, Ihya Ulumiddin, dan sebelum menulis kitab ragam cara berpikir tentang aqidah, yaitu al-Munqid minadl Dlalal. Lahirnya kitab Faishalut Tafriqah bainal Islam waz Zindiqah bermula ketika teman al-Ghazali melapor bahwa lawan al-Ghazali dalam diskusi ilmu kalam telah mengeluarkan vonis kafir dan sesat terhadap sang Imam Al-Ghazali sang hujjatul Islam.
Imam al-Ghazali merespons dengan rasa prihatin, serta merasa bertanggung jawab untuk meluruskan kesalahan-kesalahan dalam gampangnya vonis kafir kepada orang lain yang tidak sepaham dengannya. Oleh sebab itulah, Imam al-Ghazali menulis kitab Faishalu al-Tafriqah baina al-Islam wa al-Zindiqah. Dalam pengantar kitab tersebut, Al-Ghazali mengungkap keresahannya perihal tuduhan kafir pada umat Islam.
Cendekiawan Muslim saat itu dipandang salah dalam mengategorikan mana masalah pokok keyakinan (aqidah), dan mana cabang dari keyakinan. Menurutnya, betapa banyak perdebatan antara tokoh Muslim namun minim dalam memberikan kontribusi untuk meyakinkan umat Islam pada kebenaran.
Sedangkan umat Islam dilanda berbagai fitnah tentang aqidah. Dan banyaknya para pendakwah yang menganggap dirinya ada pada kebenaran, namun nyatanya ada dalam kesalahan, bahkan orang-orang yang mengajak terhadap persatuan dalam bingkai keislaman acap kali diacuhkan dan dijauhkan.
Melalui kitab Faishalu al-tafriqah baina al-Islam wa al-zindiqah beliau menyampaikan, menjadi tokoh Islam itu berarti menjadi penunjuk umat dalam meraih hidayah, baik di suatu desa ataupun kota. Ia mesti menyampaikan dengan kata yang lemah-lembut penuh hikmah, merapatkan barisan, serta berpegang teguh pada agama Allah yang kokoh.
Dalam kitab tersebut ia juga memberikan standar agar tidak mudah menjustifikasi orang lain keluar dari Islam, selama masih mengimani Allah SWT dan Muhammad Rasulullah SAW. Karena bagaimanapun, orang-orang yang masih iman terhadap kenabian Rasulullah, dan mengakui setiap kepastian dalam agama yang sudah menjadi aturan Islam secara pasti, tetap dihukumi sebagai orang Islam yang wajib dijaga darahnya, jiwanya, dan hartanya.
Sikap takfiri adalah sikap yang berbahaya bagi masyarakat yang beragam paham, keyakinan dan madzhab. Untuk menghindari sikap tersebut adalah dengan memperbanyak literasi, memperdalam ilmu. (*)